Lulus tepat waktu, IPK tinggi dan
diterima di tempat kerja idaman menjadi suatu keinginan mahasiswa dimanapun
universitas yang selama ini mereka jadikan sebagai tempat untuk menuntut ilmu.
Listiyowati, et.al (2012: 10) IPK kadang menjadi penilaian dasar atau pintu
masuk dalam memasuki jenjang pendidikan selanjutnya atau untuk memasuki dunia
kerja. Oleh karena itu, keinginan mahasiswa untuk mendapatkan IPK yang tinggi cukup
beralasan. Namun yang sampai saat ini masih diperdebatkan adalah berkaitan
dengan keinginan mahasiswa untuk mendapatkan IPK tinggi dengan menghalalkan
segala cara.
Setiap manusia pastinya memiliki keinginan.
Tapi tergantung bagaimana manusia itu mengolah keinginannya. Di dalam keinginan
ada dua unsur yaitu akal dan budi. Dan manusia sebagai makhluk Tuhan yang
memiliki kelebihan diharapkan mampu menggunakan kedua unsur itu untuk
mewujudkan keinginan tersebut. Dan ketika manusia hanya menggunakan akalnya
saja maka akan cenderung bersifat curang, menghalalkan segala cara, dan
merugikan orang lain. Sedangkan seseorang yang menyikapi keinginannya hanya
mengandalkan budi akan cenderung bersifat lebih baik, tetapi orang itu terlihat
lemah dan kurang berkembang.
Mengaitkan keinginan manusia dengan
ambisi biasanya tidak bersifat positif, walaupun ada juga ambisi yang bersifat
baik. Ambisi di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia memilki arti gairah; nafsu
ingin mendapatkan pangkat, (kedudukan dsb). Sedangkan ambisius adalah berambisi;
mempunyai ambisi. Sebagai contoh seorang mahasiswa yang berambisi untuk
mendapatkan IPK tertinggi seangkatannya. Sejak ditumbuhi ambisi tersebut, ia sangat
tekun belajar. Ia mengurangi waktu jalan – jalan dengan teman - temannya dan
mengisi waktu luangnya untuk belajar. Hingga setelah pembagian KHS, tercapailah
keinginannya itu. Lain halnya dengan contoh yang satu ini, seorang mahasiswa A
melihat temannya mendapatkan IPK yang lebih tinggi darinya. Mengetahui hal itu
mahasiswa A berambisi untuk mendapatkan IPK lebih tinggi dari temannya itu dan
disadari ataupun tidak mahasiswa itu mewujudkan impiannya dengan cara “menjilat”
dosen dan curang ketika ujian dilaksanakan.
Dari contoh yang kedua ini bisa
terjadi karena tidak adanya keseimbangan antara akal dan budi dari mahasiswa
tersebut. Biasanya mereka tidak mementingkan akibatnya nanti tapi lebih mengacu
pada ketercapaian keinginannya.
Akal dan budi erat kaitannya dengan
moral. Manusia yang bermoral pasti mampu mengendalikan dan menyeimbangkan akal
dan budinya agar tindakan-tindakan yang diperbuat dapat diterima di dalam
masyarakat.
Perspektif
Tentang Mahasiswa Berprestasi
Pada umumnya seseorang memasuki
dunia perkuliahan pada usia 18 tahun. Rahardjo (2009) mengemukakan bahwa masa
remaja (adolescence) adalah periode peralihan perkembangan dari kanak – kanak
ke masa dewasa awal, memasuki masa ini sekitar usia 10 hingga 12 tahun dan
berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun memasuki masa dewasa. Itu artinya ketika
seseorang memasuki bangku kuliah mengalami masa transisi dari remaja (masa pra
dewasa) ke kehidupan dewasa. Pada usia ini juga seseorang memasuki bangku
kuliah sebagai jalur penting menuju kedewasaan. Kondisi ini membawa seseorang
pada transisi yang harus dijalankan dalam satu waktu yaitu dari remaja ke
dewasa dan dari seorang senior di sekolah menengah atas menjadi mahasiswa baru
di perguruan tinggi.
Mahasiswa dalam kaitannya dengan
dunia pendidikan, merupakan salah satu substansi yang perlu diperhatikan,
karena mahasiswa merupakan penerjemah terhadap dinamika ilmu pengetahuan, dan
melaksanakan tugas mendalami ilmu pengetahuan, dan melaksanakan tugas mendalami
ilmu pengetahuan tersebut (Harahap, 2006). Mahasiswa secara umum merupakan subjek
yang memiliki potensi untuk mengembangkan pola kehidupannya, dan sekaligus
menjadi objek dalam keseluruhan bentuk aktifitas dan kreatifitasnya. Sehingga
diharapkan mampu menunjukkan kualitas daya yang dimilikinya (Baharuddin &
Makin, 2004).
Kualitas mahasiswa dapat dilihat
dari prestasi akademik yang diraihnya. Prestasi akademik merupakan perubahan
dalam hal kecakapan tingkah laku ataupun kemampuan yang dapat bertambah selama
beberapa waktu yang tidak disebabkan proses pertumbuhan, tetapi adanya situasi
belajar. Sehingga dipandang sebagai bukti usaha yang diperoleh mahasiswa
(Sobur, 2006).
Berkaitan dengan prestasi akademik dan
tingkah laku mahasiswa, ada beberapa faktor yang mempengaruhinya menurut Soemanto (2006):
a. Konsep
Diri
Pikiran
atau persepsi individu tentang dirinya sendiri, merupakan faktor yang penting
mempengaruhi prestasi dan tingkah laku individu.
b.
Locus
of Control
Dimana
individu merasa melihat hubungan antara tingkah laku dan akibatnya, apakah
dapat menerima tanggung jawab atau tidak atas tindakannya. Locus of control mempunyai dua dimensi, yakni dimensi eksternal
dan internal. Dimensi eksternal akan menganggap bahwa tanggung jawab segala
perbuatan berada diluar diri prlaku. Sedangkan dimensi internal melihar bahwa tanggung
jawab segala perbuatan berada pada diri si pelaku. Individu yang memiliki locus of control eksternal memiliki
kegelisahan, kecurigaan dan rasa permusuhan. Sedangkan individu yang memiliki locus of control internal suka bekerja
sendiri dan efektif.
c. Kecemasan
yang Dialami
Kecemasan
merupakan gambaran emosional yang berkaitan dengan ketakutan. Dimana dalam
proses belajar mengajar, individu memiliki derajat dan jenis kegelisahan yang
berbeda.
d. Motivasi
Hasil Belajar
Jika
motivasi individu untuk berhasil lebih kuat dari pada motivasi untuk tidak
gagal, maka individu akan segera merinci kesulitan- kesulitan yang dihadapinya.
Sebaliknya, jika motivasi individu untuk tidak gagal lebih kuat, individu akan
mencari soal yang lebih mudah atau lebih sukar.
Setiap individu yang telah
terpenuhi kebutuhan pokoknya pastilah sedikit banyak memiliki keinginan
berprestasi. Namun yang membedakan antara individu yang memiliki keiniginan
berprestasi tinggi dan rendah adalah keiniginan dirinya untuk dapat
menyelesaikan sesuatu dengan baik (Rola, 2006).
Sobur (2006) menyatakan bahwa ciri
individu yang memiliki keinginan berprestasi lebih tinggi adalah, berprestasi dihubungkan
dengan seperangkat standar. Seperangkat standar tersebut dihubungkan dengan
prestasi orang lain, prestasi sendiri yang lampau, serta tugas yang harus
dilakukan. Memiliki tanggung jawab pribadi terhadap kegiatan – kegiatan yang
dilakukan. Adanya kebutuhan untuk mendapatkan umpan balik atas pekerjaaan yang
dilakukan sehingga dapat diketahui dengan cepat hasil yang diperoleh dari
kegiatannya, lebih baik atau lebih buruk. Menghindari tugas – tugas yang sulit
atau terlalu mudah, akan tetapi memilih tugas yang tingkat kesulitannya sedang.
Inovatif, yaitu dalam melakukan suatu pekerjaan dilakukan dengan cara yang
berbeda, efisien dan lebih baik dari pada sebelumnya. Hal ini dilakukan agar
individu mendapatkan cara yang lebih baik dan menguntungkan dalam pencapaian
tujuan. Tidak menyukai keberhasilan yang bersifat kebetulan atau karena
tindakan orang lain, dan ingin merasakan kesuksesan atau kegagalan disebabkan
oleh tindakan individu sendiri.
Untuk meraih prestasi akademik yang
baik, banyak orang berpendapat perlunya memiliki intelegensia yang tinggi
sebagai bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar, dan pada akhirnya
mengahasilkan prestasi yang optimal (Kamaluddin, 2005). Dalam situasi belajar
yang sifatnya kompleks dan menyeluruh serta melibatkan interaksi beberapa
komponen, sering ditemukan mahasiswa yang tidak dapat meraih prestasi akademik
yang setara dengan kemampuan intelegensianya. Karena apada dasarnya prestasi
akademik merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor yang berbeda antara
satu individu dengan individu lainnya (Baiquni, 2007).
Namun, pada kenyataannya di
lapangan ada dua kelompok mahasiswa berprestasi, yaitu mahasiswa yang benar –
benar berprestasi dan mahasiswa yang berprestasi dengan menghalalkan segala
cara. Dan untuk kelompok yang kedua tidak kalah jumlahnya dengan mahasiswa yang
berprestasi dan populer dengan sebutan penjilat.
Menjilat dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia mengulurkan lidah untuk merasai. Kedua, mulai merembet tentang api. Yang
kita maksud disini adalah arti yang ketiga, menjilat itu merupakan berbuat
sesuatu supaya mendapat pujian dari orang lain alias mencari muka. Dikehidupan
pendidikan kita di kampus banyak sekali terjadi yang seperti ini, dan akibatnya
terjadi persaingan yang sengit antar mahasiswa. Bahkan persaingan ini terjadi
secara sembunyi – sembunyi.
Keterkaitan
Antara Konsep Diri, IQ dan EQ
Terjadinya sebuah persaingan di
dalam kalangan mahasiswa merupakan sesuatu hal yang biasa karena sebuah
persaingan merupakan salah satu akibat dari interaksi antara satu individu
dengan individu lainnya.
Persaingan berasal dari kata saing, dengan imbuhan berupa awalan per-
dan akhiran –an. Dan di dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia, persaingan memiliki arti
perlawanan (konkurensi).
Persaingan bisa terjadi antar
mahasiswa dapat terjadi bisa dikarenakan karena adanya ketidaksesuaian antara
keinginan dan kenyataan dari mahasiswa itu sendiri. Dalam hal ini dapat
dikaitkan dengan adanya hubungan konsep diri mahasiswa, serta keseimbangan
antara IQ dan EQ.
Konsep diri merupakan semua ide,
pikiran, keprcayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan
mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sudeen,
1998).
Konsep diri adalah semua perasaan,
kepercayaan dan nilai yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi
individu dalam berhubungan dengan orang lain (Tarwoto & Wartonah, 2003).
Menurut Potter (2005) konsep diri
merupakan kerangka acuan yang mempengaruhi manajemen kita terhadap situasi dan
hubungan kita dengan orang lain. Ketidaksesuaian antara aspek tertentu dari
kepribadian dan konsep diri dapat menjadi sumber stress atau konflik.
Konsep diri terbentuk melalui
proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia dari kecil hingga dewasa.
Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk (Rini, 2002). Konsep diri
memainkan peranan yang sangat besar dalam menentukan keberhasilan hidup. Konsep
diri ada yang sifatnya positif dan negatif. Individu dikatakan mempunyai konsep
diri negatif jika meyakini dan memandang dirinya lemah, tidak dapat berbuat,
tidak kompeten, gagal, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik
terhadap hidup. Individu yang konsep dirinya negatif akan cenderung bersikap
pesimistis terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Sebaliknya
individu dengan konsep diri positif akan mampu menghargai dirinya dan melihat
hal – hal positif yang dapat dilakukannya demi keberhasilan dan prestasinya
(Wahyuni, 2007).
Dalam proses belajar mengajar
dibutuhkan konsep diri yang positif untuk mencapai prestasi akademik yang
tinggi, karena konsep diri berkolerasi dengan prestasi, motivasi dan tujuan
pribadi. Hasil literatur yang dilakukan beberapa ahli menunjukkan bahwa dari
berbagai karakteristik mahasiswa yang tidak mampu mencapai prestasi akademik
yang tinggi erat hubungannya dengan masalah rendahnya konsep diri. Area yang
paling konsisten sehubungan dengan rendahnya konsep diri dalam berprestasi
adalah rendahnya self image, dan buruknya self esteem yang berpengaruh terhadap
perilaku (Tarmidi, 2006). Kemudian Rola (2006) juga menyatakan bahwa salah satu
faktor yang mempengaruhi prestasi individu, adalah konsep diri yang
dimilikinya. Jika individu menganggap dirinya mampu melakukan sesuatu maka
individu tersebut akan berusaha untuk
mencapai apa yang ia inginkannya, sehingga terdapat hubungan yang positif
antara konsep diri terhadap prestasi akademik yang dimiliki mahasiswa.
Berbeda apabila membahas antara IQ
dan EQ. Selama ini banyak orang menganggap bahwa jika seseorang memiliki
tingkat kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, maka orang tersebut memiliki
peluang untuk meraih kesuksesan yang lebih besar di banding orang lain. Pada
kenyataannya, ada banyak kasus di mana seseorang yang memiliki tingkat
kecerdasan intelektual yang tinggi tersisih dari orang lain yang tingkat
kecerdasan intelektualnya lebih rendah. Ternyata IQ (Intelligence Quotient)
yang tinggi tidak menjamin seseorang akan meraih kesuksesan.
Daniel Goleman, seorang profesor
dari Universitas Harvard menjelaskan bahwa ada ukuran/patokan lain yang
menentukan tingkat kesuksesan seseorang. Dalam bukunya yang terkenal, Emotional
Intelligence, membuktikan bahwa tingkat emosional manusia lebih mampu
memperlihatkan kesuksesan seseorang.
Intelligence Quotient (IQ) tidak
dapat berkembang. Jika seseorang terlahir dengan kondisi IQ sedang, maka IQ-nya
tidak pernah bisa bertambah maupun berkurang. Artinya, jika seseorang terlahir
dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cukup, percuma saja dia mencoba dengan
segala cara untuk mendapatkan IQ yang superior (jenius), begitu pula
sebaliknya. Tetapi, Emotional Quotient(EQ) dapat dikembangkan seumur hidup
dengan belajar.
Menurut Ashary, IQ (Intelligence
Quotient) adalah istilah kecerdasan manusia dalam kemampuan untuk menalar,
perencanaan sesuatu, kemampuan memecahkan masalah, belajar, memahaman gagasan,
berfikir, penggunaan bahasa dan lainnya. Anggapan awal bahwa IQ adalah
kemampuan bawaan lahir yang mutlak dan tak dapat berubah adalah salah, karena
penelitian modern membuktikan bahwa kemampuan IQ dapat meningkat dari proses
belajar.
Kecerdasan ini pun tidaklah baku
untuk satu hal saja, tetapi untuk banyak hal, contohnya ; seseorang dengan
kemampuan mahir dalam bermusik, dan yang lainnya dalam hal olahraga. Jadi
kecerdasan ini dari tiap - tiap orang tidaklah sama, tetapi berbeda satu sama
lainnya.
Sedangkan EQ atau kecerdasan
emosional tumbuh seiring pertumbuhan seseorang sejak lahir hingga meninggal dunia.
Pertumbuhan EQ dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga, dan contoh-contoh yang
didapat seseorang sejak lahir dari orang tuanya. Kecerdasan Emosi menyangkut
banyak aspek penting, yang agaknya semakin sulit didapatkan pada manusia
modern, yaitu:
1.
empati (memahami orang lain secara mendalam)
2.
mengungkapkan dan memahami perasaan
3.
mengendalikan amarah
4.
kemandirian
5.
kemampuan menyesuaikan diri
6.
disukai
7.
kemampuan memecahkan masalah antar pribadi
ketekunan
8.
kesetiakawanan
9.
keramahan
10. sikap
hormat
Orang tua adalah seseorang yang
pertama kali harus mengajarkan kecerdasan emosi kepada anaknya dengan
memberikan teladan dan contoh yang baik. Agar anak memiliki kecerdasan emosi
yang tinggi, orang tua harus mengajar anaknya untuk :
1.
membina hubungan persahabatan yang hangat dan
harmonis
2.
bekerja dalam kelompok secara harmonis
3.
berbicara dan mendengarkan secara efektif
4.
mencapai prestasi yang lebih tinggi sesuai
aturan yang ada (sportif)
5.
mengatasi masalah dengan teman yang nakal
6.
berempati pada sesama
7.
memecahkan masalah
8.
mengatasi konflik
9.
membangkitkan rasa humor
10. memotivasi
diri bila menghadapi saat-saat yang sulit
11. menghadapi
situasi yang sulit dengan percaya diri
12. menjalin
keakraban
Ashary mengartikan EQ atau kecerdasan
emosional adalah kemampuan pengendalian diri sendiri, semangat, dan ketekunan,
serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi
frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak
melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban
stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam
orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan
sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin
diri dan lingkungan sekitarnya.
Jika seseorang memiliki IQ yang
tinggi, ditambah dengan EQ yang tinggi pula, orang tersebut akan lebih mampu
menguasai keadaan, dan merebut setiap peluang yang ada tanpa membuat masalah
yang baru. Sama halnya dengan mahasiswa yang sering menghalakan cara untuk
mendapatkan IPK tinggi harus mulai membenahi atau mengintrospeksi diri bahwa
ada cara lain yang lebih baik tanpa merugikan dirinya sendiri dan lingkungan.
Membangkitkan
Potensi Diri Menuju Kesuksesan.
Mendapat Indeks Prestasi Kumulatif
(IPK) 3.00 mungkin impian bagi setiap mahasiswa. Harapan saat lulus kuliah
mendapat IPK tinggi dengan masa kuliah yang pendek sangat menjadi idaman. Itu
dari sisi jika kita berada pada posisi sebagai mahasiswa. Apa yang terjadi jika
impian itu kandas ditengah semester berjalan. Mahasiswa, dosen, juga manusia
biasa. Ada batas dan kemampuan untuk bisa mencapai semua impian tersebut.
Dan menurut Rumijanti (2009) yang
bisa dilakukan oleh mahasiswa dengan bantuan dosen/ dosen wali dalam
meningktkan potensi yang dimilikinya adalah:
1.
Tingkat
aspirasi mahasiswa harus dikembangkan. Mahasiswa artinya siswa dewasa,
mereka memiliki aspirasi sendiri untuk bisa belajar dengan caranya sendiri.
Dosen hanya mendukung saat mahasiswa sudah mulai keluar jalur. Membiarkan pola
belajar dikembangkan oleh mahasiswa sendiri. Tidak sedikit juga dosen merasa
dirinya lebih pintar kemudian menularkan pola belajarnya saat masih menjadi
mahasiswa kepada mahasiswa bimbingannya. Kalau ilmu yang diturunkan tidak
masalah, akan tetapi pola belajar biarkan mahasiswa yang menentukan. Tekankan
pada mahasiswa untuk tanggung jawab terhadap kuliahnya sendiri dan
mengembangkan potensi-potensi akademiknya. Artinya jika dia salah di semester
awal, maka akan berakibat buruk di akhir semester bahkan akan berdampak
mendapat gelar MA. (Mahasiswa Abadi).
2.
Hilangkan
keraguan, kegelisahan atau keraguan mencerminkan pola perilaku dan persepsi
yang terkait dengan ketidakstabilan emosional, kurangnya objektivitas dan
meng-hiperbolik kesulitan tentang tes dan menjaga harga diri dalam kaitannya
dengan prestasi akademis. Dosen wajib menekankan bahwa semua mata kuliah itu
mudah dan bisa ditempuh dengan dengan baik. Mahasiswa harus pula berpikir
sanggup menyelesaikan mata kuliah yang diambil dengan nilai baik. Intinya
kesulitan bisa diatasi, mata kuliah susah buat jadi mudah, dosen “killer” tidak
masalah lagipula dosen juga manusia biasa bukan dewa.
3.
Mengarahkan
sesuai minat bidang kajian dan kepuasan diri, hal ini akan menunjukkan
tingkat motivasi internal dalam diri mahasiswa, melibatkan cinta belajar demi
dirinya sendiri, yang diperoleh oleh para mahasiswa melakukan pekerjaan
akademik dan dalam mempelajari mata kuliah baru. Tidak sedikit mahasiswa merasa
minder bahkan tidak percaya diri saat masuk dalam dunia kerja tidak bisa
apa-apa. Hal ini disebabkan dosen kurang mengarahkan kemana minat mahasiswa dan
mahasiswapun kurang mau mengembakan dirinya.
4.
Latih kepemimpinan
dan inisiatif, hal ini akan tercermin ketika seorang mahasiswa menunjukkan
penguasaan pengetahuan, kemauan, dan kemampuan untuk membantu dan memberikan bimbingan
kepada orang lain, dan bangga tanpa layar atau tameng kesombongan dalam
kemampuan melakukan pekerjaan dengan cepat dan baik. Hal sederhana adalah
arahkan mahasiswa untuk bertanggung jawab terhadap rencana studinya. Tanamkan
bahwa jika dia gagal, maka tidak sedikit orang-orang yang dikecewakan jika dia
tidak konsekuen menjalankan rencana studinya. Orang tua, adik, kakak, saudara,
teman, atau mungkin saja kekasihnya akan kecewa jika dia gagal dalam studi.
5.
Alienasi,
adalah sejauh mana mahasiswa merasa diterima oleh civitas akademik dan
dihormati oleh para dosen serta rekan-rekan untuk pribadinya sendiri nilai dan
integritas sebagai lawan dari perasaan terisolasi atau ditolak oleh lingkungan
civitas akademik. Artinya pengakuan dari lingkungan sekitar kehidupan mahasiswa
sehari-hari, maka bagi para dosen berusahalah bersikap adil. Jangan menganggap
remeh kemampuan mahasiswa yang biasa-biasa prestasi akademiknya. Dibalik
kekurangan prestasi akademik mahasiswa pasti masih memiliki potensi besar yang
melekat dalam dirinya. Kalau mahasiswa pandai sudah pasti akan lebih mudah
mendapat pengakuan dari para dosen dan teman-temannya. Kalau begitu bagaimana
nasib MaSaKom? Mahasiswa Satu Koma (mahasiswa dengan IPK Satu Koma
Alhamdulillah) apakah tidak punya potensi? belum tentu, kadang dosen harus
bertindak ekstra untuk bisa membuat mahasiswa MaSaKom menjadi MaDu KomPas
(Mahasiswa Dua Koma Pas untuk lulus) dan meningkatkan menjadi mahasiswa Tiga
Koma.
Penutup
Manusia dilahirkan dan dikodratkan
memiliki keinginan, namun tidak semua keinginan itu bisa tercapai karena semua
tergantung dengan usaha apa yang dilakukan oleh manusia itu sendiri.
Sama halnya dengan seorang
mahasiswa yang menuntut ilmu bukan menuntut nilai di perguruan tinggi. Apabila
seorang mahasiswa hanya berorientasi pada nilai maka yang ada mahasiswa itu
akan cenderung bertindak ke arah negatif. Karena sesungguhnya apabila kita
memiliki konsep diri, IQ dan EQ yang seimbang dan menuntut ilmu dengan niatan
ilmu, maka nilai akan mengikuti kita.
Daftar
Pustaka
Ashary, Fadhly. 2012. IQ,
EQ, SQ dan ESQ. Dapat dibuka pada situs www.republika.co.id
Baharuddin & Makin, M. 2004. Pendidikan Humanistik. Jakarta: AR – RUZZ Media.
Baiquni. 2007. Intelegensia
Bukan Satu – Satunya. Dapat dibuka pada situs http://www.e-psikologi.com/intelegensia/ma30/html.
Harahap, S. 2006. Penegakan
Moral Akademik Didalam dan Luar Kampus. Jakarta: Raja Grafindo.
Kamaluddin, R. 2005. Intelegensia
Berprestasi. Dapat dibuka pada situs http://www.e-psikologi.com/intelegensia/ma30/html.
Listiyowati, Dwi Anik, et.al.
2012. Analisa Minat Mahasiswa PGSD
Universitas Muria Kudus Angkatan 2010 Untuk Melanjutkan Studi S2. Hasil
Observasi. Tidak Dipublikasikan.
Poerwadarminta,
W. J. S. 1982. Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Diolah kembali oleh: Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Dan
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Jakarta:
PT. Balai Pustaka.
Potter &
Perry. 2005. Fundamental Keperawatan.
Jakarta: EGC.
Rahardjo,
Susilo. 2009. Perkembangan Peserta Didik.
Kudus: Universitas Muria Kudus.
Rumijati, Aniek.
2009. Dimensi Pengembangan Diri Bagi Mahasiswa. Dapat dibuka pada situs http://onlinebuku.com/2009/12/04/dimensi-pengembangan-diri-bagi-mahasiswa/#more-2473.
Tarwoto &
Wartonah. 2003. Kebutuhan Dasar Manusia
dan Proses Keperawatan, edisi 3. Jakarta: Salemba Medika.
Rini, F. 2002. Konsep
Diri Terhadap Prestasi. Dapat dibuka pada situs http://www.e-psikologi/team.com
Rola, F. 2006. Hubungan Konsep Diri Dengan Motivasi Berprestasi
Pada Remaja. Dapat dibuka pada http://www.Digitizedlibrary.usu.ac.id/psikologi/html
Sobur, A. 2006. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Soemanto, W. 2006. Psikologi
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Stuart, W & Sundeen, J. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa, edisi 3. Jakarta: EGC.
Tarmidi. 2006. Konsep
Diri Siswa Underachiever. Dapat dibuka pada situs http://www.ui.ac.id/f-psikologi/html.
Wahyuni, A. 2007. Kegiatan Belajar Terhadap Prestasi Yang
Dicapai. Dapat dibuka pada situs http://www.achievement.com/90mn/mnh/98er/html.
*Artikel ini adalah tugas UAS semester 4 saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar