Dari google nih gambar :( |
Basi memang
ketika aku harus bercerita tentang cerita cintaku yang berawal dari sebuah
jejaring sosial. Tapi tahukah kamu? Ada beban tersendiri di pundakku ketika aku
teringat kenyataan bahwa laki-laki yang selalu ku damba selama ini, dulunya
tertarik dengan teman SMA ku. Teman sekelasku malah.
Aku malu ketika
ditanya awal cerita bertemu dengan dia. Ditanya teman. Yaa setidaknya ini
mengisahkan kalau aku ini mungkin adalah pelarian dia yang terlantar karena
perempuan yang dia pilih sudah mempunyai pasangan. Sudahlah lupakan saja cerita
itu. Karena kini aku tidak mempermasalahkannya. Belajar cuek dan mempercayai
bahwa ini bagian dari cerita yang sudah di ukir Sang Khalik untukku.
***
Aku berbaring
di samping ibuku. Sudah biasa. Karena aku sangat dekat dengannya. Alasan
tepatnya karena aku adalah putri semata wayangnya. Kedekatan kami sering kali
membuat orang lain iri. Terutama keluarga besarku sendiri. Ya, inilah kami.
Tidak pernah dibuat-buat. Natural saja. Senatural tangisan ibu yang seringkali
membuatku kelimpungan.
Siang ini, “Ibu
tidak pernah rela anak ibu dipermainkan oleh laki-laki seperti dia. Mulai
sekarang cobalah membuka diri untuk laki-laki lain! Dua tahun itu bukan waktu
yang sebentar. Kalau dia memang serius
denganmu, pasti dia akan menepati janjinya. Tidak seperti ini!” suara ibu
mengeras. Tapi aku tahu, ibu menahan airmatanya yang mengintip di ujung mata.
Ibu. . . .
“Kalaupun
materi yang menjadi masalah, itu bukan masalah! Tapi akan menjadi masalah vital
ketika berbicara sebuah rumah tangga. Bukankah dia masih menjadi tanggungjawab
orangtuanya. Jadi kalau masalah melamarmu, itu urusan orangtuanya. Kalaupun dia
ingin menggunakan uangnya sendiri, sampai kapan? Dia kerja saja saat ini belum
punya. Sudah sekali dia mengingkari janjinya. Sekarang?” Ibu kembali
meledak-ledak bak petasan di malam pergantian tahun baru. Tapi ini? Melebihi
semua itu. Dadaku terasa sesak. Aku tak sanggup menahan rasaku. Betapa bodonya
aku. Kenapa aku dibodohkan perasaan yang berasal dari hambamu, Ya Allah.
Astagfirullah..... aku hanya diam. Sesekali menjawab pertanyaan ibu. Bukan membela
dia, tapi menyadari betapa aku ini teralu lugu dengan masalah cinta seperti
ini.
Dia. Bukan
hanya dia saja yang kini berhasil merapuhkan jiwaku. Dulu, dulu dan dulu aku
juga sering kali merasakan hal yang sama. Tersakiti oleh laki-laki lain. Apa
karena aku terlalu setia? Tapi ini lebih.
Aku berusia 20
tahun. 21 tahun 2013 ini. Di luar sana teman-temanku sudah menggendong buah
cintanya, bahkan ada yang kini justru aku yang menjadi guru dari anak-anak
mereka.
Bukankah aku
berhak juga menikah? Tapi tidak sekarang juga aku ingin menikah. Egoiskah aku
seperti Bara pada cerita film Radio Galau FM? Selama ini aku sudah berusaha
setia. Bahkan ibu bilang aku terlalu setia dan terlalu menutup diri bagi
laki-laki yang ingin mendekat. Oh Gusti, aku sungguh tak sanggup. Sebegitukah
aku?
Dari google juga, pas banget! |
Ku pandangi
layar HP ku. Tidak berbeda. Sejak tadi siang, dia tidak SMS lagi. Yaa, biasanya
juga seperti itu, kerja di bengkel las. Apalagi saat ini aku ingin dia tidak
hubungi aku lagi sebelum ada kepastian kapan dia akan datang ke rumah membawa
kedua orangtuanya. Terlalu egoiskah aku? Terlalu jahatkah aku?
Menikah.
Mimpiku? Aku sudah pernah membicarakan ini dengannya. Banyak rencana. Dan dia
menyetujuinya. Meskipun sebenarnya aku pun masih merasa kalau aku terjebak
dengan usia dia. Ya, dia sekarang sudah 30 tahun. Aku pernah berpikir kalau aku
tidak akan bisa bergerak bebas dengan usia dia.
Ah...ku serahkan semua dengan-Nya. Oke, calm down, aku tidak ingin
menikah sekarang!
Tapi kini
masalahnya adalah, aku hanya ingin dia konsisten dengan apa yang dia ucapkan.
Kutelaah mendalam lagi, dia memang terlalu banyak perhitungan. Sangat. Apalagi
dengan urusan janji dia ingin melamarku. Selalu itu. Selalu itu yang menjadi
topik pertengkaran. Bukan, bukan, ini bukan pertengkaran. Karena hanya aku yang
selalu tidak nyaman setiap kali kita membicarakan pernikahan ataupun lamaran.
Karena selalu ada perbedaan prinsip diantara kita.
***
Pagi tadi
(02-03-2013), nama dia muncul di layar HP ku. Kelap-kelip.
“Assalamualaikum...”
Aku mendengar
balasan salam darinya. Renyah.
Sepertinya dia sangat bahagia pagi ini. Begitu juga aku. Tapi dia memang
selalu bahagia ketika menyapaku lewat telepon (mungkin ini positifnya dia). Bergulir
pembicaraan kearah acara lamaran, mulai muncul keegoisan masing-masing. Huh!
Hingga akhirnya
telepon putus karena aku harus berangkat mengajar. Berada di tengah anak-anak
adalah kegiatan yang sangat menyenangkan bagiku. Tapi entah kenapa pagi ini aku
merasa tidak sedang berada di lingkaran anak-anak. Pikiranku hanya penuh dengan
dia. Sampai-sampai aku tidak sadar ketika aku hampir saja lepas kontrol
menangis di depan anak-anak. Ya Allah...kuasailah hatiku. Aku mohon.....
Aku mencintai
dia. Tapi kenapa dia sampai membuat ibuku menangis? Ya Allah...sudah salahkah
hubunganku ini? Sudah benarkah jalan yang aku ambil? Ku beri dia kesempatan untuk berpikir apakah dia akan menepati janjinya atau tidak.
“Kalau sampai
Agustus dia tidak datang sesuai jadwal yang dia ucapkan. Ini sudah menjadi
jawaban bahwa dia memang tidak serius denganmu.” kata ibu. Kata itu yang sampai
detik ini begitu membuatku berteriak sekeras-kerasnya. Meluluhlantahkan akal sehatku. Sebegitu
dahsyatnya rasa yang dimiliki ibu sampai kata-kata itu kelaur dari mulut ibuku,
ibu yang selalu mencintaiku. Padahal selama ini dia yang selalu mendukungku
bersama dia.
Aku memang
belum pernah menjadi seorang ibu. Tapi aku tahu dari air mata yang ibu
tumpahkan itu. Memilukan. Ibu tersakiti ketika tahu dia seakan mempermainkan
anak semata mayang ini bu, maafkan aku.
Bu, aku akan
menuruti semua kata-kata ibu kalau sampai memang nantinya yang terjadi tidak
sesuai dengan komitmen antara aku dengan dia. Yang penting aku tidak ingin ibu
menangis lagi karena melihat anakmu dipermainkan oleh laki-laki yang menjadi
pilihan hatinya.
Tuntun hamba Ya
Allah.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar