Jawa Pos edisi Sabtu, 11 Mei
2013 ada rubrik Gagasan yang memuat tentang bullying
yang dialami oleh seorang mahasiswi (selanjutnya aku sebut A) di waktu SD. Diceritakan
bahwa dulu A mengalami bully yang tak
lain dan tak bukan dilakukan oleh temannya sendiri yang sok menjadi jagoan. Hal
tersebut mengakibatkan tak satupun siswa di sekolah berani berteman dengan A.
Karena kalau berani berteman dengan A, maka temannya yang sok jagoan itu akan
bertindak. Ini dikarenakan A memiliki masalah dengan teman sok jagoan itu.
sumber gambar dari
|
Dari membaca artikel tersebut,
aku menjadi teringat kejadian 15 tahun (usiaku dulu 6 tahun dan duduk di kelas
1 madrasah diniyah) yang lalu. Waktu itu aku masih duduk di bangku taman
kanak-kanak. Karena ibuku menginginkan aku juga paham betul tentang agama, ibu
menyekolahkanku juga di madrasah diniyah. Kalau orang-orang di tempatku sering
menyebutnya dengan sekolah arab. Sekolah ini berangkat setelah dzuhur tepatnya
pukul 14.00 WIB dan selesai habis ashar.
Di madrasah diniyah inilah, di
tempatku menimba ilmu agama aku menjadi korban bully oleh temanku sendiri (selanjutnya akan aku sebut P). Berbeda
dengan cerita di koran Jawa Pos di atas, bully
yang aku alami ini tak terbayangkan oleh orang dewasa. Karena P itu bertindak
layaknya preman yang suka malakkin teman-temannya, termasuk aku. Lebih kerennya
lagi P tidak hanya malakkin anak perempuan, laki-laki pun dijamah.
Pemalakan itu dilakukan setiap
hari, aku masih ingat betul setiap anak dipalak uang sakunya sebesar Rp 50. P
adalah anak salah satu guru di madrasah diniyah, dia selalu berangkat lebih
awal. Hal ini digunakannya untuk memperlancar aksinya. P selalu menunggu di
depan pintu dan menghadang anak satu perstu. Bully yang P lakukan sangat beragam. Mulai dari cubitan yang
rasanya ampuuun deh, jambakan, dorongan, dan tampang sinis. Satu yang pasti,
dia selalu mengancam kalau ada yang berani melawan dan mengadu kepada guru maka
akan dijatuhi hukuman olehnya.
Hingga suatu hari akhirnya ada teman
yang melaporkan tingkah P tersebut kepada bapaknya P. Kemudian, datanglah bapak
P bersama guruku, Bu Aisyah namanya. Bapaknya marah besar. Tidak menyangka
kalau anaknya berbuat seperti itu. P menangis. Cukup lama bapak P marah di
kelas. Semua yang ada di dalam kelas jadi diam. Sedangkan Bu Aisyah mencoba menenangkan
P yang menangis terus. Bapak P berusaha meminta maaf kepada semua siswa atas
nama P dan mengganti uang yang selama ini dipalak oleh anaknya itu. Semenjak
kejadian itu, P itu tidak pernah mengulanginya lagi.
Itu cerita bully yang pernah aku alami tapi tak ku sadari. Apakah pembaca juga
pernah mengalami hal yang semacam ini? Pesanku, jangan pernah takut untuk
melaporkan kepada pihak terkait. Terlebih kepada orangtua dahulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar