BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR
BELAKANG
Menggambar yang dalam bahasa Inggris
di kenal dengan kata drawing memiliki
arti kegiatan-kegiatan membentuk imaji,
dengan menggunakan banyak pilihan teknik dan alat. Bisa pula berarti membuat
tanda-tanda tertentu di atas permukaan dengan mengolah goresan dari alat gambar
(wikipedia.org).
Menggambar adalah kegiatan yang
digemari oleh siswa-siswa. Melalui menggambar, mereka bisa menuangkan
imajinasinya. Selain itu, dari karya mereka dapat diketahui pula bagaimana
perkembangan kecerdasan dan ketrampilan sang siswa. Kegiatan menggambar bisa
dilakukan di mana saja, di rumah, di taman bermain, ataupun sekolah.
Di sekolah, misalnya, guru sering
memberikan tugas menggambar kepada siswa. Dengan dalih memberikan kebebasan
berekspresi kepada siswa dalam menggambar, guru memberikan tugas tersebut tanpa
memberikan stimulus kepada siswa sebelum menggambar.
Menggambar merupakan salah satu
kegiatan untuk menuangkan suatu ide atau cerita dalam bentuk dua dimensi. Dibutuhkan
sebuah stimulus untuk menciptakan suatu ide. Banyak cara untuk memberikan
stimulus kepada siswa sebelum melakukan kegiatan menggambar. Salah satunya
adalah dengan kegiatan mendongeng yang dilakukan oleh guru.
Mendongeng adalah suatu kegiatan
membacakan cerita untuk siswa. Mendongeng juga dipercaya memiliki banyak sekali
manfaat bagi perkembangan siswa. Salah satunya adalah dapat meningkatkan daya
imajinasi siswa. Oleh karena itu, dengan kegiatan mendongeng yang digunakan guru
sebagai stimulus dapat menciptakan daya imajinasi siswa yang selanjutnya bisa
dituangkan dalam bentuk gambar.
Pada tulisan ini akan membahas
tentang implementasi kegunaan kegiatan mendongeng sebagai stimulus yang
membentuk imajinasi pada siswa dalam mempermudah ketrampilan menggambar pada
siswa.
1.2
IDENTIFIKASI
MASALAH
Berdasarkan uraian pada latar
belakang di atas dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
1. Ketidaksadaran
guru tentang pentingnya stimulus sebelum pemberian tugas menggambar.
2. Ketidakpahaman
guru akan pentingnya mendongeng bagi perkembangan kecerdasan siswa.
3. Kurangnya
kreatifitas guru dalam pembuatan media yang menunjang proses mendongeng.
1.3
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah
disajikan, disusunlah rumusan sebagai berikut:
1.
Mengapa ketrampilan menggambar dibutuhkan oleh siswa
SD?
2.
Apakah dampak dari kegiatan mendongeng bagi perkembanagn
kecerdasan siswa?
3.
Bagaimanakah peranan kegiatan mendongeng sebagai
stimulus ketrampilan menggambar pada siswa SD?
1.4
TUJUAN
PENELITIAN
Tujuan penelitian ini secara umum
adalah untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menggambarkan imajinasi dari
hasil stimulus guru pada siswa kelas 1 di SD Negeri 1 Kebonagung, Demak.
Sedangkan tujuan penelitian secara
khusus adalah sebagai berikut:
1.
Mengetahui hasil gambar dari siswa.
2.
Memahami peran penting dari kegiatan mendongeng
sebagai stimulus.
3.
Mengetahui cara guru dalam proses pembelajaran.
4.
Mengetahui manfaat menggambar bagi siswa.
5.
Mengetahui manfaat dari kegiatan menggambar bagi
siswa ke depannya.
1.5
PENEGASAN
ISTILAH
Untuk mempermudah memahami isi dari
tulisan ini, maka alangkah lebih baiknya pembaca mengetahui beberapa istilah
seperti di bawah ini:
1.
Imajinasi :
daya pikir untuk membayangkan
2.
Menggambar :
membuat gambar
3.
Mendongeng :
menceritakan dongeng
4. Stimulus : merangsang organisme bagian tubuh untuk menjadi
aktif
5.
Respon :
tanggapan; reaksi; jawaban
1.6
MANFAAT
PENELITIAN
a. Manfaat
Praktis
1. Bagi
siswa, diharapkan hasil penelitian ini
dapat menjadi strategi yang memudahkan siswa dalam menggambar.
2. Bagi
guru, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan dalam pembelajaran
menggambar kepada murid-muridnya.
3. Bagi
orang tua dan masyarakat pada umumnya, diharapkan melalui hasil penelitian ini
dapat menambah pemahaman terhadap dunia siswa dan selalu menjadikan kegiatan
menggambar sama pentingnya dan bahkan dapat saling mempengaruhi antara bidang
satu dengan bidang yang lainnya.
b. Manfaat Teoritis
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan
untuk khasanah ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang pendidikan seni yang
berkenaan dengan kolaborasi keterampilan bahasa dengan keterampilan menggambar
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Ketrampilan
Menggambar pada Siswa SD
2.1.1
Karakteristik
Siswa SD
Siswa usia sekolah dasar pada
umumnya ada pada usia 6 sampai dengan 12 tahun. Pada rentang usia tersebut siswa
mengalami fase tertentu, yaitu masa usia sekolah dasar sering disebut juga
sebagai masa intelektual atau masa keserasian bersekolah. Ditinjau dari sudut
pandang psikologis masuk dalam kategori childhood,
di mana siswa mengalami masa peralihan dari masa siswa menuju awal remaja.
Menurut Piaget (1950: 45-49) ”pada
masa itu adalah siswa mengalami yang disebut dengan tahap operasi konkret (concrete operations)” dicirikan dengan
perkembangan sistem pemikiran yang didasarkan pada aturan-aturan tertentu yang
logis. Siswa sudah dapat berpikir lebih menyeluruh dengan melihat banyak unsur
dalam waktu yang bersamaan. Pemikiran siswa dalam banyak hal sudah lebih
teratur dan terarah karena sudah dapat berpikir seriasi, klasifikasi dengan
lebih baik, bahkan mengambil kesimpulan secara probabilitas.
Secara umum pada usia sekolah dasar
ini, dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap I pada usia 6-7 tahun, tahap ke II
usia 8-9 tahun, dan tahap III pada usia 10-12 tahun. Berikut ini karakteristik siswa
usia sekolah dasar pada setiap tahapnya, namun demikian perlu diketahui adanya
perbedaan tingkat kecepatan kematangan siswa sangat dipengaruhi oleh kehidupan
lingkungan sosial budaya masyarakatnya.
Menurut Brandy (1991: 35-37) yang
didukung beberapa ahli yang lain, mengemukakan ciri-ciri siswa pada siswa pada
usia 6 dan 7 tahun sebagai berikut:
a. siswa
beralih dari daya pikir siswa yang bersifat imajinatif, ke cara berpikir tahap
operasional konkret, hal ini juga didukung oleh Piaget yang mengemukakan, bahwa
siswa mulai berpikir tentang perbedaan bahkan menentang dan bersikap hati-hati;
b. siswa
mulai mempunyai pengalaman pada tahap kepandaian dan perasaan rendah diri;
c. menerima
konsep secara benar (baik) berdasarkan hadiah dan persetujuan;
d. melanjutkan
perkembangan pemerolehan bahasa;
e. sudah
mulai memisahkan antara fantasi dari realitas;
f. belajar
berangkat dari persepsi dan pengalaman langsung;
g. mulai
berpikir abstrak, namun belajar lebih banyak terjadi berdasarkan pengalaman
konkretnya;
h. lebih
membutuhkan suatu pujian dan persetujuan dari orang dewasa;
i. menunjukkan
sensitivitas rasa dan sikap terhadap siswa disekitarnya dan orang dewasa;
j. belajar
berpartisipasi dalam suatu kelompok sebagai anggota;
k. mulai menumbuhkan rasa keadilan dan
menginginkan perasaan yang bebas dari orang dewasa;
l. menunjukkan
perilaku yang egosentris bahkan sering menuntut apa yang menjadi keinginannya.
Selanjutnya dikemukakan lagi oleh Brandy
(1991: 35) bahwa siswa usia 8 dan 9 tahun:
a. pemfungsian
tahap berpikir operasional konkret menurut Piaget, bahwa siswa sudah mulai
berpikir lebih fleksibel dan hati-hati;
b. Erickson
berpendapat bahwa siswa mempunyai pengalaman pada tahap kepandaian dan perasaan
rendah diri;
c. mulai
menerima konsep yang benar berdasarkan aturan;
d. memiliki
perhatian dan penghormatan dari kelompok kini lebih penting;
e. mulai
melihat sesuatu dengan sudut pandang orang lain bahkan sifat egosentris sudah
semakin berkurang;
f. mulai
mengembangkan konsep dan hubungan spasial;
g. menghargai
petualangan imaginatif;
h. mulai
menunjukkan minat dan keterampilan yang berbeda dengan kelompoknya;
i. mempunyai
ketertarikan pada hobi bahkan koleksi yang lebih bervariasi;
j. adanya
peningkatan kemampuan mengutarakan sebuah ide ke dalam kata-kata; dan
k. sudah
mulai membentuk persahabatan yang khusus dengan temannya.
Perkembangan siswa pada usia 10
sampai 12 tahun:
a. pemfungsian
tahap operasional konkret menurut Piaget, bahwa siswa sudah dapat melihat
hubungan yang lebih abstrak;
b. siswa
mulai berpengalaman pada tahap kepandaian dan perasaan rendah diri;
c. dapat
menerima masalah yang benar berdasarkan ke-fairan;
d. sudah
mempunyai ketertarikan yang kuat dalam sebuah aktivitas sosial,
e. minat
pada kelompok sudah lebih meningkat bahkan mencari kekariban dalam sebuah
kelompok;
f. mengadopsi
orang lain menjadi model daripada orang tua;
g. mulai
menunjukkan minat pada aktivitas yang khusus;
h. mulai
mencari persetujuan dan ingin mengesankan;
i. ingin
menunjukkan kemampuan serta kemauan untuk melihat sudut pandang orang lain;
j. mencari
nilai-nilai;
k. menunjukkan
adanya perbedaan di antara individu;
l. mempunyai
cita rasa keadilan bahkan kepedulian terhadap orang lain; dan
m. memahami
dan menerima adanya aturan berdasarkan perbedaan jenis kelamin.
2.1.2 Pengertian Menggambar
Menggambar merupakan bagian dari
bidang seni rupa murni yang berwujud dua dimensi, sehingga menggambar merupakan
karya yang terlepas dari unsur-unsur kegunaan praktis. Lebih jelas lagi menggambar
merupakan suatu pengucapan pengalaman artistik seseorang yang dicurahkan ke
dalam bidang dua dimensi dengan menggunakan garis, warna, bidang, dan tekstur (Retnowati,
2010: 52).
Menggambar yang dalam bahasa Inggris
di kenal dengan kata drawing memiliki arti kegiatan-kegiatan membentuk imaji,
dengan menggunakan banyak pilihan teknik dan alat. Bisa pula berarti membuat
tanda-tanda tertentu di atas permukaan dengan mengolah goresan dari alat gambar
(wikipedia.org).
Sedangkan menurut Sudjono yang
dilansir melalui carapedia.com mengungkapkan menggambar adalah proses jiwa kita
dan bukan gambar jiplakan karya orang lain.
Di dalam menggambar ada beberapa hal
yang harus diperhatikan menurut Retnowati (2010: 52-58), diantaranya adalah
sebagai berikut:
a. Garis
Pada dasarnya garis merupakan elemen
utama dalam seni lukis, karena garis yang pertama menentukan bentuk suatu karya
lukis secara keseluruhannya.
Garis merupakan hasil suatu goresan
yang diakibatkan oleh sebuah titik bergerak lurus sehingga membentuk jejak.
Garis adalah batas limit suatu benda, massa, ruang, warna, dan susunan dari
objek-objek. Wujud garis dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Garis
nyata, garis ini dihasilkan dan terjadi karena suatu goresan, sehingga meninggalkan
bekas yang nyata,
2. Garis
semu, yaitu garis yang terjadi karena kesan yang dapat ditangkap oleh mata yang
sesungguhnya merupakan batas limit suatu benda, massa, ruang, warna, dan
susunan objek.
Selanjutnya Ruta (2005: 22)
mengatakan bahwa garis dapat menyatakan bentuk, gerak, irama, tekstur, gelap
terang, suasana, dan kontur.
Apabila dilihat dari bentuk garis,
Djelantik (1999: 19) mengemukakan bahwa garis sebagai bentuk mengandung arti
lebih daripada titik karena dengan bentuknya sendiri garis menimbulkan kesan
tertentu pada pengamat. Garis yang kencang memberikan perasaan yang berbeda dari
garis yang berbelok atau melengkung. Yang satu memberi kesan yang kaku, keras,
dan yang lain memberikan kesan luwes dan lemah lembut. Kesan yang diciptakan
juga tergantung dari ukuran, tebal-tipisnya, dan dari letaknya terhadap
garis-garis yang lain, sedangkan warnanya berfungsi sebagai penunjang dan
menambahkan kualitas tersendiri.
Sesuai dengan pendapat di atas,
garis merupakan sebuah goresan, kumpulan dari beberapa titik dan sebuah bentuk
yang mengandung arti yang melebihi daripada titik, karena bentuknya yang
menimbulkan perasaan tertentu kepada si pengamat.
b. Bidang
Bidang merupakan suatu area yang
dibatasi oleh garis, baik garis nyata maupun garis semu. Dengan demikian, titik
dapat berupa bidang, namun bidang belum tentu titik. Demikian juga dengan garis,
bahwa garis dapat berupa bidang, namun bidang belum tentu berwujud garis. Jenis
bidang dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu:
1. Bidang
geometris, dibuat secara terukur
2. Bidang
organik, dibatasi oleh garis lengkung bebas yang mengesankan keceriaan dan pertumbuhan
3. Bidang
bersudut, dibatasi oleh beberapa garis lurus yang secara matematis tidak
bertalian.
4. Bidang
tak beraturan, dibatasi oleh garis lurus dan lengkung yang secara matematis
tidak bertalian.
c. Ruang
Ruang dapat diartikan sebagai
keluasan yang dibatasi oleh limit baik keluasan positif maupun keluasan
negatif. Keluasan positif yaitu ruang yang sering menggambarkan objek sedangkan
keluasan negatif yaitu keluasan dalam bentuk dua dimensi ruang negatif ini
sering menjadi background.
Beberapa teknik dalam pencapaian
ruang dalam karya dua dimensi yaitu:
1. Penumpangan,
satu bentuk menumpang pada bentuk lain. Bentuk yang nampak berada di depan atau
di atas bentuk lain.
2. Pergantian
warna, semakin jauh suatu benda warnanya semakin memudar atau warna panas akan
berkesan mendekat, sedangkan warna dingin berkesan menjauh.
3. Pergantian
bentuk dan ukuran, yaitu semakin jauh suatu bentuk akan terlihat semakin kecil.
4. Pergantian
tekstur, tekstur yang kasar akan tampak lebih dekat dibandingkan dengan tekstur
halus.
5. Pelengkungan
atau pelekukan, hal in terjadi dengan menukarkan kedudukan bentuk untuk
membangkitkan ruang maya.
6. Penambahan
bayangan pada bentuk, yaitu penambahan dapat dilakukan di belakang atau di
depan.
7. Manipulasi
dengan teknik gelap terang atau dengan perbedaan/perubahan tekstur.
d. Tekstur
Tekstur merupakan nilai raba suatu
permukaan benda. Nilai raba suatu permukaan benda tersebut dapat berbeda-beda,
ada yang kasar, halus, keras, lunak, kasap, dan licin. Jenis tekstur ada dua
macam, yaitu: tekstur nyata dan tekstur semu. Tekstur nyata yang dimaksud
disini adalah nilai raba suatu permukaan benda secara fisik dapat dirasakan
oleh indra raba, misalnya tekstur batu. Sedangkan tekstur semu adalah nilai
raba suatu permukaan benda hanya dapat dinilai secara visual, tetapi tidak
dapat dinilai atau dirasakan oleh alat indra raba.
e. Warna
Warna yang sering kita lihat atau
gunakan dalam kehidupan sehari-hari dapat dibedakan menjadi tiga dimensi,
yaitu:
1. Hue, yaitu istilah yang sering digunakan
untuk menunjukkan nama dari suatu warna, seperti merah, oranye, kuning, hijau,
biru, dan lain-lain.
2. Value, yaitu istilah yang digunakan
untuk menunjukkan terang gelapnya warna. Terangnya seluruh warna adalah putih
dan gelapnya seluruh warna adalah hitam. Oleh karena itu putih dan hitam tidak
termasuk dalam lingkaran warna. Merubah value
menjadi terang dapat dengan cara menambah warna putih secara bertingkat disebut
tint, sebaliknya merubah value menjadi gelap dengan cara menambah
warna hitam secara bertingkat disebut shade.
3. Intensity, berkaitan tentang cerah dan
suramnya warna, yaitu kualitas dari suatu warna yang menunjukkan suatu hue. Hue
yang murni adalah cemerlang dan kuat. Hue
dalam intensitasnya yang lebih rendah adalah lebih lembut. Mengurangi intensitas
suatu warna dapat dicapai dengan mencampur atau menambah hue yang murni dengan warna-warna netral seperti putih, hitam, dan
abu-abu atau mencampur dengan warna komplemennya atau dapat juga dengan
warna-warna yang ada di sebelahnya.
2.1.3
Tipologi
Gambar pada Siswa SD Kelas Rendah
Siswa dalam usia 6 sampai 12 tahun
memiliki karya seni rupa yang bersifat khas sebagai cerminan dari tingkat
kemampuan dan kesenangannya. Pertumbuhan dan perkembangan realitasnya tidak
dapat dipisahkan. Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan kuantitatif yaitu
peningkatan ukuran struktur yang mempengaruhi perkembangan intelektual dan
mental siswa.
Dalam In Education Through Art, Read (1958: 140) mengklasifikasikan
gambar siswa-siswa menjadi 12, yaitu: Organic,
Lyrical, Impresionist, Rhytmical Pattern, Structur Form, Shematic, Haptic,
Expresionist, enumeratif, Decorative, Romantic, dan Literary.
a. Organic
Berkaitan serta bersimpati dengan objek-objek nyata, siswa-siswa
lebih suka objek dalam kelompok daripada yang sendiri. Tipe ini juga mengenal
proporsi yang wajar dan hubungan organis yang wajar pula, misalnya pohon yang
menjulang di atas tanah, gambar manusia dan hewan bergerak sesuai dengan bentuk
aslinya
b. Lyrical
Penggambaran objek bersifat realistis, tetapi tidak
bergerak seperti organic. Objek yang
digambarkan statis dengan warna-warna yang tidak mencolok. Biasanya digambarkan
oleh siswa perempuan.
c. Impresionist
Lebih mementingkan detail/kesan suasana yang digambarkan
daripada konsep keseluruhan
d. Rhytmical Pattern
Gambar memperlihatkan benda-benda yang dilihat,
Contohnya gambar siswa yang melempar bola, kemudian mengulang gambar tersebut
sampai bidang gambar terisi seluruhnya. Sifatnya bisa organis atau lyris.
e. Structur Form
Tipe ini jarang ditemui pada gambar siswa. Objeknya
mengikuti rumus ilmu bangunan yang diperkecil menjadi satu rumusan geometris
dimana rumus yang aslinya diambil dari pengamatan.
f. Shematic
Penggambar menggunakan rumus ilmu bangunan tanpa ada
hubungan yang jelas dengan susunan organis. Skema dari objek semula
disempurnakan menjadi satu desain yang ada hubungan dengan objek secara
simbolis.
g. Haptic
Gambar yang dibuat mewakili image-image hasil rabaan dan sensasi fisik dari dalam.
Gambar-gambar yang dibuat tidak berdasarkan pengamatan visual suatu objek, tapi
bukan skematik.
h. Expresionist
Berhubungan dengan dunia dalam dirinya. Tidak hanya
mengekspresikan sensasi egosentrik tetapi juga objek dunia dari luar seperti
hutan, gerombolan orang, dan lain-lain.
i. Enumeratif
Penggambar pada tipe ini dikuasai oleh objek dan tidak
dapat menghubungkan dengan sensasi keutuhan sehingga semua bagian-bagian kecil
yang dapat dilihatnya pada bidang gambar tanpa ada yang dilebih-lebihkan. Persepsi
gambar bukan merupakan persepsi seniman melainkan persepsi arsitek.
j. Decorative
Menampilkan bentuk-bentuk dua dimensi dengan pola-pola warna-warni
dan mengusahakannya menjadi pola yang menggembirakan. Bentuk-bentuk natural
diekspresikan sehingga timbul perasaan senang, melankolis, dan sebagainya.
Dengan demikian siswa yang menggambar dapat menghasilkan gambar dan
memanfaatkan warna untuk menghasilkan pola-pola yang riang.
k. Romantic
Pada tipe ini tema diambil dari kehidupan yang
dipertajam dengan fantasi. Gambar merupakan gabungan antara ingatan dengan image eidetic sehingga menyangkut
sesuatu yang baru.
l. Literary
Tema yang ditampilkan semata-mata khayal yang berasal
dari raasa yang disarankan gurunya atau imajinasi sendiri. Tema ini merupakan
gabungan antara ingatan dan imajinasi untuk disampaikan kepada orang lain.
Sedangkan Victor Lowenfeld dalam Sobandi
(2013: 4) mengkategorikan karya gambar siswa menjadi:
a. Tipe
visual
Tipe visual adalah gambar siswa yang
menunjukkan kecenderungan bentuk yang lebih visual-realistis (memperlihatkan
kemiripan bentuk gambar sesuai obyek yang dilihatnya, atau obyektif). Gambar
yang diungkapkan mementingkan kesamaannya karya dengan bentuk yang dihayatinya
serta memperhitungkan proporsinya secara tepat. Penguasaan ruang telah terasa
dengan cara membuat kecil objek gambar bagi benda yang jauh. Begitu pula
penguasaan warna, pemakaian warna sesuai dengan warna-warna pada bendanya.
Batas-batas tertentu gambar atau lukisan siswa yang tergolong tipe visual dapat
dipersamakan dengan lukisan karya pelukis naturalistis, yang membuat lukisannya
sangat teliti, karena ingin menggambarkan keadaan sebagaimana kelihatannya
(dari pengalaman visual)
Gambar 2.1 tipe visual |
b. Tipe
haptik
Gambar siswa yang memiliki tipe haptik
menunjukkan kecenderungan ke arah kebentukan yang lebih visual-emosional atau
upaya penggambaran secara subyektif yang berisi tentang ekspresi pribadi dalam
merespon lingkungannya. Benda yang digambarkam merupakan reaksi emosional
melalui perabaan dan penghayatannya di luar pengamatan visual. Biasanya benda
yang dianggap penting digambarkan lebih penting dibuat dengan ukuran lebih
besar dibandingkan dengan benda yang kurang penting. Dalam gaya lukisan, gambar
siswa yang bertipe haptik dapat disamakan dengan lukisan bergaya
ekspresionisme. Lukisan ekspresionisme adalah karya lukis yang memperlihatkan
ungkapan rasa secara spontan, dan sebagai pernyataan obyektif dari dalam diri
pelukisnya (inner states). Lukisan
yang bersifat ekspresionistis nampak berkesan sangat subyektif dari kebebasan
pribadi masing-masing pelukisnya.
2.1.1
Manfaat
Menggambar bagi Siswa SD Kelas Rendah
Menggambar adalah salah satu
aktivitas yang melibatkan serangkaian kercerdasan yang dimiliki oleh seseorang.
Karena untuk menggambar dengan baik umumnya seseorang harus memilki imajinasi
dan kreativitas (intelegensi), selain itu seseorang juga harus memilki
kesebaran (emosi) dan kecakapan tangan yang baik (psikomotor).
Oleh karena itu, menggambar adalah
salah satu kegiatan yang dapat dimasukkan dalam proses pembelajaran. Menggambar
adalah salah satu kegiatan yang mampu melatih berbagai kemampuan siswa, diantaranya:
a. Melatih
kepekaan siswa
Binham mengungkapkan, (2012: 1) bahwa dewasa ini gambar
sering digunakan sebagai alat peraga di berbagai sekolah dari semua tingkatan.
Hal ini menunjukkan bahwa menggambar adalah hal yang sangat positif untuk
melatih kepekaan berbagai kecerdasan pada diri seseorang dan hal ini paling
efektif diterapkan sejak usia dini.
b. Melatih
motorik halus siswa
Menurut Tubagus Amin Fa, psikolog dari Aminfa Institute
bahwa untuk mengembangkan saraf motorik
halus siswa dengan baik, dapat ditempuh cara dengan melatihnya melalui kegiatan
dan rangsangan yang kontinu secara rutin sedari dini. Kegiatan tersebut dapat
dilakukan dengan kegiatan menulis dan menggambar atau mewarnai.
Sedangkan sumber lain (dilansir dari
mommygadget.com/2009/07/07/manfaat-mewarnai-bagi-si-kecil/) mengungkapkan bahwa
menggambar dan mewarnai memiliki manfaat bagi siswa sebagai berikut:
a. Sebagai
media berekspresi
Seperti halnya orang dewasa, aktifitas mewarnai terutama
mewarnai bidang kosong merupakan cara bagi siswa untuk mengungkapkan perasaaan
dirinya. Melalui gambar yang dibuatnya dapat terlihat apa yang sedang
dirasakannya, apakah itu perasaan gembira atau perasaan sedih.
b. Membantu
mengenal perbedaan warna
Membiasakan siswa untuk melakukan aktifitas mewarnai
baik dengan krayon, pensil warna maupun spidol warna sejak dini dapat membantu
mereka mengenal warna, sehingga mereka dapat membedakan antara warna yang satu
dengan warna lainnya. Hal ini juga dapat mempermudah mereka dalam mencampur dan
memadukan warna. Kemampuan inilah yang akan membantu siswa dalam berkreasi
seiring dengan perkembangan usia mereka.
c. Warna
merupakan media terapi
Warna merupakan sebuah media terapi bagi banyak orang,
bahkan warna kerapkali digunakan sebagai bahasa global untuk membaca emosi
seseorang. Seorang siswa yang mewarnai matahari dengan warna-warna gelap
seperti hitam atau abu-abu bisa jadi menandakan kemarahan mereka saat itu.
Selain itu cara siswa menorehkan warna juga dapat mengekspresikan sifat dasar
mereka, sebagai contoh, jika siswa mewarnai dengan cara menorehkan garis-garis
teratur pada gambar menunjukkan bahwa siswa memiliki kecenderungan gaya hidup
teratur. Terlepas dari itu warna sendiri menjadi alat terapi untuk meringankan
stres pada siswa setelah lelah seharian beraktifitas.
d. Melatih
siswa menggenggam pensil
Bagi sebagaian siswa, krayon adalah benda pertama yang
digenggamnya sebelum mereka menggenggam pensil. Saat mewarnai dengan krayon
itulah pertama kali siswa belajar menggengam dan mengontrol pensil di
tangannya. Kemampuan tersebut yang nantinya akan membantunya dalam.
e. Melatih
kemampuan koordinasi
Kemampuan berkoordinasi merupakan manfaat lain yang bisa
diperoleh dari aktifitas mewarnai. Dalam mewarnai diperlukan koordinasi yang
bagus antara mata dan tangan, mulai dari bagaimana cara yang tepat menggenggam
krayon, hingga memilih warna dan menajamkan krayon. Kemampuan dasar berkoordinasi
inilah yang dapat mengembangkan kemampuan dasar siswa hingga mereka besar
nanti.
f. Mengembangkan
kemampuan motorik
Aktifitas mewarnai merupakan aktifitas yang dapat
membantu meningkatkan kinerja otot tangan sekaligus mengembangkan kemampuan
motorik siswa. Kemampuan tersebut sangat penting dalam perkembangan
aktifitasnya kelak, seperti dalam mengetik, mengangkat benda dan aktifitas
lainnya dimana dibutuhkan kinerja otot lengan dan tangan dalam prosesnya.
g. Mewarnai
meningkatkan konsentrasi
Aktifitas mewarnai dapat melatih konsentrasi siswa untuk
tetap fokus pada pekerjaan yang dilakukannya meskipun banyak aktifitas lain
yang terjadi di sekelilingnya. Seorang siswa yang sedang menyelesaikan tugas
mewarnai akan fokus pada lembar gambar yang sedang diwarnainya, sehingga
sekalipun di sekelilingnya ribut dengan aktifitas siswa-siswa lain, ia akan
tetap fokus menyelesaikan tugas mewarnainya. Kemampuan berkonsentrasi inilah
yang kelak berguna bagi siswa dalam menyelesaikan soal matematika atau
pelajaran lainnya yang membutuhkan konsentrasi tinggi.
h. Mewarnai
melatih siswa mengenal garis batas bidang
Mengenal batas bidang gambar merupakan manfaat lain dari
aktifitas mewarnai. Di masa awal siswa memulai aktifitas mewarnai, mereka tidak
akan peduli dengan garis batas gambar di hadapannya, hal tersebut wajar-wajar
saja, biarkan si kecil merasa nyaman dan exited
terlebih dahulu dengan aktifitas mewarnainya. Seiring dengan berjalannya waktu
dan bertambahnya usia siswa, mereka akan mulai menghargai dan memperhatikan
garis-garis batas tersebut, dan berusaha untuk mewarnai gambar di hadapannya
tanpa keluar garis. Membiasakan siswa belajar mewarnai sejak kecil akan
melatihnya lebih peka terhadap batasan garis sejak dini. Kemampuan inilah yang
menjadi bekal mereka saat mereka mulai belajar menulis di buku tulis bergaris.
i. Mewarnai
melatih siswa membuat target
Proses mewarnai membutuhkan satu target yaitu berhasil
mewarnai seluruh bidang gambar yang tersedia. Dengan melakukan aktifitas mewarnai
sejak dini siswa akan belajar untuk meyelesaikan tugas yang dihadapinya. Di
sinilah akan terpupuk rasa tanggung jawab siswa dengan pekerjaan yang
diterimanya sekaligus memupuk kepercayaan diri siswa bahwa ia dapat
menyelesaikan tugas yang sedang diembannya. Sikap ini akan membantunya
menyelesaikan tugas-tugasnya kelak, dan juga melatihnya untuk tidak mudah
menyerah dengan tantangan yang akan dihadapinya.
2.2
Mendongeng
sebagai Stimulus Ketrampilan Menggambar pada Siswa SD Kelas Rendah
2.2.1
Pengertian
Mendongeng
Kata mendongeng pastinya tidak asing
lagi ditelinga kita. Dongeng dalam bahasa inggris dikenal sebagai fairy tales, yang memiliki arti
cerita-cerita (tales) mengenai atau yang di dalamnya terkandung tokoh-tokoh
berwujud peri (fairy, fairies) Wintarto (2012:8-17). Istilah fairy tales mulai muncul sejak abad ke-17,
hampir bersamaan dengan kelahiran cerita-cerita dan buku-buku yang khusus
ditujukan untuk siswa-siswa. Pencetusnya adalah pengarang Perancis, Madame d’Aulnoy,
yang menciptakan frase “conte de fee”,
dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi fairy tales.
Wikipedia.org mengartikan dongeng
sebagai suatu kisah yang diangkat dari pemikiran fiktif dan kisah nyata,
menjadi suatu alur perjalanan hidup dengan pesan moral yang mengandung makna
hidup dan cara berinteraksi dengan makhluk lainnya. Dongeng juga merupakan
dunia hayalan dan imajinasi dari pemikiran seseorang yang kemudian diceritakan
secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Dongeng menurut Kamus Umum Bahasa
Indonesia adalah cerita yang benar-benar tidak terjadi, sedangkan mendongeng
adalah kegiatan membacakan dongeng kepada seserang atau sekelompok orang
tentang kisah yang tidak nyata. Secara luas, mendongeng bisa diartikan sebagai
membacakan cerita atau mengkomunikasikan cerita kepada siswa. Baik itu cerita
nyata, tidak nyata, ataupun pengalaman orangtua. Walaupun terlihat sederhana,
namun sebenarnya siswa-siswa biasanya sangat serius mendengarkan dongeng jika
ceritanya dianggap menarik.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa
mendongeng adalah kegiatan menceritakan suatu cerita untuk siswa yang
seharusnya bisa dilakukan oleh siapapun, termasuk guru.
2.2.2
Ketika
Guru Mendongeng
Untuk menjadi guru yang profesional,
guru harus kompeten, harus memiliki kompetensi yang mumpuni baik kompetensi pribadi
sosial, kompetensi akademik dan kompetensi pedagogik metodologisnya.
Siswoyo (2013:2) memberikan artian
khusus pada kompetensi akademik, pedagogik dan metodologis yang harus dimiliki
guru dalam bahasa Jawa yaitu “nduwe
barang, pinter ngrancang, wasis mulang lan biso nimbang.” Secara spesifik
lagi Siswoyo menyebutkan salah satu poin yang ada pada kompetensi akademik
adalah guru yang kompeten secara akademik harus inovatif.
Inovatif ini dimaksudkan ketika guru
melaksanakan proses pembelajaran. Guru tidak seharusnya menggunakan model,
metode maupun teknik yang itu-itu saja, yang hanya guru kenal, yang hanya guru
kuasai. Melainkan seorang guru harus selalu berinovatif demi terciptanya suatu
pembelajaran yang menyenangkan, menarik, menantang dan tidak menjemukan.
Sehingga tujuan pembelajaran bisa tercapai secara optimal.
Pada tulisan ini, penulis menawarkan
salah satu inovasi yang sebenarnya tidak baru namun masih jarang digunakan oleh
guru dalam proses pembelajaran. Inovasi metode ini adalah dengan cara mendongeng.
Dalam Permendiknas tahun 2006
tentang Standar Isi di mana ada sebagian Standar Kompetensi dan Kompetensi
Dasar mengisyaratkan bahwa pembelajaran mendongeng/bercerita tetap mendapat
porsi yang strategis dan aktual untuk dibelajarkan pada siswa mulai jenjang
pendidikan dasar sampai menengah.
Ada ungkapan yang berbunyi ”Seorang
guru yang tidak bisa bercerita, ibarat orang yang hidup tanpa kepala”. Oleh
karena itu, kegiatan mendongeng seharusnya tidak menjadi kegiatan yang asing
bagi guru di dalam proses pembelajaran.
”Kalau seorang guru bisa bercerita
atau mendongeng, berarti dia memiliki kedekatan emosional dengan siswa
didiknya,” kata Bimo, seorang pendongeng yang mengembangkan konsep dongeng
edukatif (diakses melalui oktomagazine.com).
Jadi, tidak ada alasan lagi sebagai
guru kalau tidak melakukan inovasi dalam proses pembelajaran. Terutama dengan
menggunakan kegiatan mendongeng untu mendongkrak agar tujuan pembelajaran bisa
tercapai secara maksimal dan memberikan warna baru dalam kegiatan belajar mengajar
di kelas.
2.2.3
Manfaat
Mendongeng dalam Proses Pembelajaran
Dongeng biasanya disampaikan kepada siswa-siswa
yang masih kecil oleh ayah, ibu, kakek, nenek sampai pada guru mereka. Dongeng
biasanya disampaikan untuk menina-bobokan anak yang hendak tidur. Padahal kalau
kita bisa mengkajinya lebih dalam sebenarnya dongeng justru dapat digunakan
meningkatkan kedekatan ibu dan siswa, dan mengembangkan kemampuan otak siswa.
Selain itu juga bisa membantu perkembangan psikologis dan kecerdasan emosional siswa.
Namun sayangnya, orangtua sering melupakan dan menyepelekan penyampaian dongeng
kepada siswa. Mereka menganggap bahwa mendongeng itu merepotkan dan membuat
mereka semakin lelah setelah seharian bekerja.
Direktur Jenderal Pendidikan Siswa
Usia Dini, dan Nonformal, Informal (PAUDNI) Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi,
Psikolog, pada pembukaan pelatihan Dongeng Bunda PAUD di D Mall, Depok, Jumat
(22 Pebruari 2013) mengungkapkan bahwa mendongeng adalah salah satu cara ampuh
dalam membentuk karakter siswa.
Ketika orangtua di rumah tidak bisa meng-cover hal ini, tidak menjadikan seorang
guru membela dirinya untuk tidak menggunakan mendongeng dalam kegiatan
pembelajaran.
Dengan mendongeng seorang pendidik
akan terasa mudah dalam memasukkan nilai positif pada diri siswa didik, sebagai
instalasi benteng pertahanannya terhadap virus-virus yang tidak baik disekitar
lingkungan siswa tersebut.
Mendongeng juga sangat membantu saat
siswa berada dalam proses peniruan, dimana yang akan ditiru adalah perbuatan
baik tokoh dalam dongeng, memberikan dan memperkaya pengalaman batin, sarana
hiburan yang menarik perhatian, menggugah minat baca, dan sarana membangun
watak mulia. Selain itu, melalui metode mendongeng para pengasuh, pendongeng,
akan mampu menularkan pengetahuannya dan menanamkan nilai budi pekerti yang
luhur secara efektif, dan siswa-siswa pun akan menerimanya dengan senang hati.
Dari uraian di atas sudah sangat
jelas kalau mendongeng banyak memberikan manfaat bagi siswa. Hana (2011:
68-100) menyebutkan beberapa manfaat mendongeng:
a. Meningkatkan
kecerdasan siswa
Cerita dalam dongeng menawarkan kesempatan bagi siswa
untuk menafsirkan dongeng tersebut dengan kehidupan nyata, seperti apa yang
pernah dialami, dilihat, dan dirasakan olehnya. Melalui dongeng, ia juga dikenalkan
pada berbagai pendekatan, pola, dan tingkah laku manusia sehingga ia akan mendapatkan
bekal untuk menghadapi masa depan.
b. Melejitkan
daya imajinasi siswa
Imajinasi siswa akan muncul ketika, misalnya ketika
memulai dongeng dengan kalimat: “Dulu, ada seorang raksasa.” Dari sinilah daya
imajinasi siswa bekerja dan membayangkan sosok raksasa tersebut. Selama kita
bercerita, imajinasinya terus berlarian mengikuti jalan cerita. Pengembangan
daya imajinasi adalah hal penting sebagai dasar untuk mengembangkan kreativitas
siswa.
c. Membangun
karakter siswa
Pengembangan karakter yang baik adalah jika dimulai
sejak usia dini. Sebuah ungkapan yang dipercaya secara luas menyatakan, “Jika
kita gagal menjadi orang baik di usia dini, maka di usia dewasa pun kita akan
menjadi orang yang bermasalah atau orang jahat.” Oleh karena itu, mempersiapkan
siswa adalah sebuah strategi investasi manusia yang sangat tepat.
Sudah terbukti bahwa periode yang paling efektif untuk
membentuk karakter siswa adalah sebelum ia berusia 10 tahun. Oleh karena itu,
dongeng yang kita ceritakan kepada siswa akan masuk ke alam bawah sadarnya.
Alam bawah sadar inilah yang kemudian paling berperan membentuk karakter siswa.
Jadi, kalau dongeng itu diceritakan terus menerus, maka yang masuk ke alam
bawah sadarnya pun semakin banayk.
d. Memberikan
contoh teladan bagi siswa
Mendongeng adalah aktivitas yang memberikan pengalaman
psikologis dan linguistik sesuai minta, tingakt perkembanagn, dan kebutuhan siswa.
Hasil belajar melalui mendongeng akan bertahan lebih lama karena lebih berkesan
dan bermakna, juga mengembangkan ketrampilan berpikir siswa dengan permasalahan
yang dihadapinya.
Melalui mendongeng kita dapat memberikan contoh
sikap-sikap atau perbuatan terpuji dan menghindari sikap atau perbuatan yang
buruk dari dongeng yang kita ceritakan. Mendongeng adalah cara paling efektif
untuk menanamkan gagasan atau pemikiran, nilai moral, budi pekerti serta konsep
sebab-akibat.
e. Terapi
baca-tulis bagi siswa
Mendongeng atau bercerita adalah cara paling sederhana
dan instan untuk merangsang kemampuan membaca siswa. Siswa yang gemar mendengar
dan membaca dongeng akan memiliki kemampuan berbicara, menulis, dan memahami
gagasan rumit secara lebih baik.
f. Terapi
berbahasa bagi siswa
Kemampuan menggunakan bahasa pada siswa tentu diperoleh
dengan proses pembelajaran. Sebagai guru kita dapat meningkatkan kemampuan
berbahasa siswa perbendaharaan kosa kata yang sering didengarnya melalui
mendongeng. Semakin banyak kosa kata yang dikenalnya, maka semakin banyak pula
konsep tentang sesuatu yang dikenalnya. Selain melalui kosa kata, kemampuan
berbahasa siswa juga dapat diasah melalui ketepatan berbahasa sesuai dengan
suasana emosi di dalam cerita dongeng.
g. Terapi
berbicara bagi siswa
Siswa yang mengalami gangguan berbicara, maka mereka
akan susah bersosialisasi dengan temannya. Dan hal ini akan menambah kesulitan siswa
dalam bidang menulis. Karena ketika siswa menuis itu membutuhkan kemampuan
berbicara yang ada di dalam otak.
Melalui mendongeng banyak hal positif yang dapat kita
sampaikan pada siswa. Salah satunya adalah memancing siswa untuk berinteraksi
komunikasi dengan kita. Hal itu dapat menunjang kemampuan berbicaranya.
h. Terapi
emosi bagi siswa
Jika siswa suka mendengarkan dongeng, maka ia bisa
menghilangkan rasa tegang, mood yang
buruk, dan berbagai perasaan negatif lainnya. Artinya, dongeng itu telah
membantu siswa dalam mengatasi emosi.
2.2.4
Teknik
Mendongeng di Kelas Rendah
Banyak yang beranggapan bahwa
mendongeng itu sulit. Namun, kita sebagai guru jangan mudah putus asa, kita
harus mencoba. Syarat utama yang harus kita miliki ketika hendak mendongeng
untuk siswa-siswa adalah percaya diri dan komunikatif. Banyak guru yang tidak
percaya diri ketika mendongeng sehingga pesan yang disampaikan sulit dicerna
oleh siswa. Siswa pun menjadi bosan.
Untuk menumbuhkan imajinasi di pikiran
siswa, kita sebagai guru harus memiliki ketrampilan khusus dalam mendongeng. Mulai
dari cara menyampaikan cerita, kontrol volume dan intonasi suara sampai pada
menirukan suara maupun memperhatikan perilaku pada setiap karakter yang ada di
dalam dongeng.
Mengenai teknik mendongeng, kita
dapat memilih salah satu teknik di bawah ini:
a. Membaca
dari buku cerita
b. Mendongeng
dengan ilustrasi dari buku
c. Menceritakan
dongeng
d. Mendongeng
dengan menggunakan boneka
e. Dramatisasi
atas suatu donegng
f. Mendongeng
sambil memainkan jari-jari tangan
Apabila mendongeng ini dikaitkan
dengan perkembangan siswa yang duduk di kelas rendah atau berusia sekita 6-9
tahun, yang perlu guru ketahui bahwa siswa yang berada di usia tersebut waktu
mendongeng guru hanya sekitar 10 – 15
menit. Hal ini berkaitan dengan lama tidaknya siswa mampu
berkonsentrasi. Mengenai jumlah tokoh yang ditampilkan dalam dongeng maksimal
adalah empat tokoh.
Pada usia tersebut, guru tidak perlu
memberi kesimpulan di akhir dongeng karena mendongeng bukan berarti memberi
nasihat. Kalau guru ingin menyelipkan pesan moral bagi siswa, hal itu bisa
dilakukan ketika kegiatan mendongeng berlangsung dengan memancing siswa-siswa
dengan sebuah pertanyaan. Misalnya, “Anak-anak, kalau makan boleh sambil bicara
tidak?” Kalau siswa menjawab, “Tidak”. Hal ini menandakan bahwa pesan yang
ingin kita sampaikan kepada siswa telah tercapai.
Leksono (2012: 57-58) menambahkan
berkaitan dengan teknik mendongeng, guru juga harus memperhatikan berapa banyak
pendengar dongeng yang ada di kelas. Di Indonesia, masih banyak kelas-kelas yang
gemuk atau kelas yang jumlah siswanya melebihi dari standar yang telah
ditetapkan oleh pemerintah, sekitar 25-50 siswa per kelas. Oleh karena itu, ketika
seorang guru hendak mendongeng di kelas dengan jumlah siswa seperti yang
diuraikan di atas, langkah fleksibelnya adalah menggunakan cara pemerataan.
Guru tidak harus terpaku di satu tempat. Penguasaan ruang kelas saat mendongeng
merupakan salah satu bentuk keberhasilan praktik mendongeng bagi guru. Sesekali
berinteraksi dengan siswa dalam bentuk pertanyaan atau sejenisnya.
Guru ketika mendongeng pun bisa
menghadirkan media, alat peraga. Atau menggunakan alat musik sederhana. Juga
bisa melibatkan penerima dongeng, mengajak terlibat dialog dalam alur cerita. Karena
dalam kelas dengan jumlah yang banyak. Tingkat kontrol guru lebih berat dan
perlu diketatkan lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Binham. 2012. Menumbuhkan Kepekaan Siswa Lewat Menggambar. Terdapat di http://binham.wordpress.com/2012/04/06/menumbuhkan-kepekaan-siswa-lewat-menggambar/.
Diunduh pada 4 April 2013.
Brandy, Laure. (1991). “Children and their books: The right book
for the right child I”. dalam Maurice Saxby & Gordon Winch (EDS). Give
them wings, the experience of children’s literature. Melbourne: The Macmillan
Company.
Carapedia.com. 2013. Pengertian Definisi Gambar Menurut Para Ahli.
Tersedia di http://carapedia.com/pengertian_definisi_gambar_menurut_para_ahli_info514.html.
Diunduh pada 4 April 2013
Djelantik, A. A.M. (1999). Estetika sebuah pengantar. Bandung:
MSPI.
Gosong, I Made. 1998. Pertanyaan yang Diajukan oleh Guru dalam
Pembelajaran Membaca. Disertasi tidak diterbitkan Malang: IKIP Malang
Hana, Jasmina. 2011. Terapi Kecerdasan Anak dengan Dongeng.
Yogyakarta: Berlian Media.
Kemdikbud. 2013. Mendongeng media Transfer Pengetahuan dan
Moral. Tersedia di
http://www.paudni.kemdikbud.go.id/dirjen-paudni-mendongeng-media-transfer-pengetahuan-dan-moral/.
Diunduh pada 18 Maret 2013.
Leksono, Aidyo Babahe. 2012. Ndongeng Enteng Sreng....Semarang: Gigih
Pustaka Mandiri.
Oktomagazine.com. 2013. Dongeng untuk Siswa itu Penting. Tersedia di http://www.oktomagazine.com/oktofamily/parenting/1837/dongeng.untuk.siswa.itu.penting.
Diunduh pada 17 Maret 2013.
Piaget, J. (1950). The psychology of intelligence. New
York: Harcourt, Brace & World.
Read, H. 1958. Education Through Art. London: Faber and Faber
Retnowati, Tri Hartiti dan Bambang
Prihadi. 2010. Pendidikan Profesi Guru
Pendidikan Seni Rupa Pembelajaran Seni Rupa. Yogyakarta: Kementerian
Pendidikan Nasional
Ruta, I Made. (2005). Implikasi Garis dalam Seni Rupa. Jurnal
Rupa volume 4 no 1 September 2005.
Siswoyo, Rasdi Eko. 2013. Implementasi Guru Profesional dan
Berkarakter dalam Pembangunan SDM di Era Globalisasi. Makalah disampaikan
pada Seminar Nasional di Universitas Muria Kudus, Kudus tanggal 30 Maret 2013.
Sobandi, Bandi. 2013. Karakteristik Lukisan/Gambar Anak.
Tersedia di docjax.com. Diunduh pada 31 Maret 2013.
Wikipedia.org. 2013. Menggambar. Tersedia di http://id.wikipedia.org/wiki/Menggambar.
Diunduh pada 26 Maret 2013.
Wintarto, Wiwien. 2012. Dongeng Karya Sendiri. Semarang:
Penerbit Gigih Pustaka Mandiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar