Perempuan itu melalang buana
namanya di Nusantara ini bahkan di luar negeri sana. Namanya dijadikan ide bagi
W.R. Supratman untuk menciptakan sebuah lagu khusus untuknya. Ia hanya ingin
dipanggil menggunakan nama Kartini, nama aslinya tanpa embel-embel gelar. Ya,
dia adalah Kartini. Siapa yang tidak mengenalnya?
Kartini, perempuan yang
membukakan pintu kebebasan bagi perempuan di jamannya hingga kini. Melalui
tulisannya (surat), ia menyadarkan perempuan di luar sana (baca: Belanda) bahwa
perempuan pribumi juga memiliki kemerdekaan. Sepak terjangnya hingga kini
terinkulturasi secara nyata.
Kartini, Kartini adalah milik
bangsa Indonesia. Semua orang berhak memilikinya. Meskipun kini jiwa dan
raganya telah berpulang ke Tuhan, tapi namanya tetap saja memenuhi ruang pikir
para pengagumnya. Itulah sekelumit kalimat yang bisa aku gambarkan untuk sosok
Kartini yang aku kenal. Tapi bagaimana dengan Kartiniku?
***
Demak, 21 April 2013
“Haloooo, Selamat Hari Kartini.”
Aku masih enggan membuka mataku. Semalaman aku lembur tugas kuliahku yang masih
menumpuk. Kurasakan mataku tak bisa membuka dengan sempurna. Sejenak aku
mendengar ibu mengulangi lagi ucapannya. Aku masih saja tak bergeming. Dari balik
selimutku, aku mengintip bagaimana ekspresi wajah ibuku. He, agak jengkel.
Tiba-tiba, “Haaiiii, Selamat
Hari Kartini ya, Bu.” Raut wajah ibu pun berubah. Pipinya terangkat dan tampak
barisan giginya yang tertata rapi. Aku kemudian mencium pipi ibuku dan hendak
turun dari ranjang. “Bu, tetap di sini, habis sholat aku akan curhat. Oke?”
Secepat kilat aku melompat dari ranjangku dan meninggalkan ibu di kamar.
***
“Kamu mau cerita apa?” tanya ibu
kepadaku.
“Aku ingin menangis, Bu.”
“Lho? Kenapa memangnya?” tanya
ibu lagi.
Aku hanya diam. Sebenarnya aku pekewoh mengatakan hal ini kepada ibu.
Karena ini adalah pilihanku, meskipun sebenarnya ada unsur permintaan ibu juga.
Sedikit.
Aku begitu lelah akhir-akhir
ini. Di semester tua (Baca: semester 6) seperti ini, tugas yang semakin banyak,
kegiatan di luar kampus juga banyak, aku harus tetap menyandang status
mahasiswa penglajo. Mengahabiskan
waktuku di jalan. Ya, perjalanan untuk sampai di kampus membutuhkan waktu 1
jam. Dan itu aku rasakan setiap 6 hari dalam 1 minggu. Demi ibu, yang tak ingin
jauh dari anak semata wayangnya. Maafkan aku ibu...
Mendengar pengakuanku, ibu hanya
diam. Aku paling tidak suka dengan keadaan seperti ini. pasti aku akan
menangis. Pasti! Dari sudut mataku telah ada gundukan air mata yang
bersiap-siap untuk memecahkan diri. Ah. Aku begitu tak kuat kalau seperti ini.
“Kalau adik ingin kos, ibu ada
tabungan, besok mulai kos ya?”
Mendengar kata-kata ibu, aku
semakin meledak-ledak. Betapa bodohnya aku berkata seperti itu kepada ibu.
Bukankah ini justru akan menyakitinya? Meskipun ibu tampak begitu kuat.
Tak ada yang dilakukan ibu
selain memelukku dengan erat ketika melihatku sedang kacau seperti ini. Dalam
hati aku hanya berkata, inilah yang membedakan ibu dengan Kartini. Ibu selalu
bisa menyentuhku begitu nyata. Memelukku bagaikan bayi yang tak berdosa. Dan
mencium keningku ketika aku gentar menyongsong cita-cita.
Aku mendongak dan berkata pada
ibu, “Tidak, Bu. Tidak. Adik tak ingin jauh dari Ibu.” Mendengar perkataanku
itu, ibu semakin memelukku dengan erat. Sangat erat. “Bu, adik ingin selalu dipeluk
Ibu.” Ibuku hanya tersenyum.
#tulisan ini aku ikutsertakan lomba Cerita Kartini dari Alfamart, tapi belum ada kabarnya juga :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar