Oleh:
Ika Hardiyan Aksari
Rintik hujan masih terdengar menghantam
genting rumahku. Sesekali kilatan petir juga menyambar. “Ini sebenarnya musim
kemarau atau musim apa sih? Dari kemarin masih hujan muluu....” batinku saja.
Aku masih tetap sibuk di depan notebook
ku untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang masih menumpuk. Di sampingku ibu
memeluk guling ‘pesing’ kesayanganku. Ya, memang seperti itulah ibu, kegiatan
favoritnya adalah menggodaku setiap kali aku sedang fokus dengan pekerjaanku.
Kupikir siapa lagi kalau bukan aku yang digoda?
Kalau mengingat kemarin lusa, aku
merindukan saat-saat seperti ini (tapi kenapa justru sekarang merasa terganggu?).
Tak lain karena ibu memang sedang sakit. Untuk membuka mata saja ibu tidak bisa,
apalagi menggodaku. Ah, ibu~ kangen J
***
“Dik, kamu itu sudah semester 6 lho ya.”
ibuku mulai membuka pembicaraan setelah lama diam menatap aliran air dari
genting kaca.
“Ya bu, akhir bulan ini kan harus
nyerahin judul skripsi. Bentar lagi lulus. Hahahaha. Aamiin.”
“Aamiin...Iya ya, terus rencanamu apa,
Dik?”
“Rencana apa maksudnya, Bu?”
“Ya, rencana adik setelah lulus.” jelas
ibu.
“Sesuai target dong buk. Menggapai
mimpiku selama ini.” aku menjawab dengan selengekan. "Kenapa sih bu?"
tanyaku lagi semakin penasaran.
“Ibu boleh bertanya?? Tapi kamu jangan
marah ya? Ini ibu hanya curhat lho. Nanti kamu marah?” kata ibu menyelidik.
“Ciaaahhh,
ibuukkkk....” cibirku.
“Tapi janji lho ya?”
“Iya buuu...” aku geregetan.
“Apa adik akan tetap teguh dengan rencana
adik yang itu?? Ehm...mimpi adik itu tu...”
“Mimpi apa maksud ibu?” tanyaku masih
teguh dengan notebookku.
“Ikut ngajar di daerah pelosok itu lho.”
Seketika aku menghentikan pekerjaanku dan
menyusul ibu di atas ranjang namun membelakanginya. Ibu pun memelukku.
“Kenapa Bu?” aku mulai mencium sesuatu
yang berbeda. Sebenarnya aku sudah tidak mau membahas tentang mimpi gilaku itu.
“Dik, sekarang adik kan sudah punya paijo
(sapaan bagi calon suamiku), apa tidak sebaiknya adik...” ibu menggantung kalimatnya.
Aku diam mendengarkan ibu.
“Kalau adik tetap mau pergi ibu mau ikut.
Nanti Paijo mau ibu ajak. Pokoknya ibu ikuuutttt!” suara ibu mulai terdengar
memekik.
“Ibu ini aneh deh, lha memangnya mau
pindahan rumah kok ikut semua? Biasaaa saja kali, Bu.” jawabku ketus.
Tak ada sahutan dari ibu. Aku mendongak,
ku lihat ada bulir-bulir air asin yang keluar dari sudut mata ibu. Ah,senjata
makan tuan. Ucapanku pasti terlalu kasar sehingga ibu menangis, kalau sudah
seperti ini...Huh!
“Dik, tidak kah kamu tahu, anak bapak ibu
hanya kamu. Kalau kamu pergi terus ibu sama siapa? Bapak sama siapa? Adik tega
sama ibu? Adik sih belum pernah merasakan punya anak. Adik tidak pernah
memikirkan perasaan ibuuu, perasaan paijooo....” ibu meracau tajam. Dada ibu
tergunjang.
Aku tenggelam dalam pikiranku, namun
layaknya api yang disulut, aku membalas ucapan ibu.
“Jadi, adik harus mengubur mimpiku itu?” aku
memasang nada sinis. Kuputuskan untuk diam. Membiarkan ibu menghabiskan
emosinya. Begitu juga dengan aku. Lama sekali. Aku tak berani menatap ibu.
“Adik itu egois!!!” sambil berucap ibu
melesat dan melepaskan dekapannya. Meninggalkanku sendiri di dalam kamar.
Pikiranku buyar. Bayangan seseorang yang jauh di sana tiba-tiba mulai
menyeruak. Ah, dia, dia, dan dia. Benarkah ini hanya keegoisannku? Benarkah ini
adalah ambisi negatifku? Inikah dan inikah hanya rasa gengsi yang menggunung?
“Ya Allah, benarkah aku terlalu egois?”
Melayang kian kemari. Memikirkan segala
ucapanku. Menatap asaku yang terlampau jauh. Akankah aku memang harus
meninggalkan ibu? Bapak? Dan paijo? Kemudian apa yang aku dapatkan? Janji diri
untuk membahagiakan orang sekitar, dulunya begitu terpatri dalam diri. Tapi
kenapa kini justru asaku membuang jauh semuanya meskipun aku tahu asa itu demi
kemanusiaan.
Ku dengar ibu masih sesenggukan di atas
sajadahnya. Selalu seperti itu. Mencari ketenangan di rengkuhan-Nya. Menatapnya
hatiku semakin pilu.
“Ya Allah begitu menyakitkankah mimpiku
ini?” jerit hatiku sangat dalam. Aku tak berpindah, masih menatap ibu di ambang
pintu.
***
“Bu, adik minta maaf...” sapaku pada ibu
di kamarnya. Ibu masih tak bergeming. Ia memunggungiku, membaca dinding yang
tak bertuliskan apapun.
“Untuk mengubah mimpi ini tak semudah membalikkan telapak tangan, Bu.
Tapi adik rasa ini memang hanya sebuah keangkuhan adik ingin sepertinya (dia
yang jauh di sana), sehebat dia, dan.....” lagi-lagi bayang-bayang laki-laki
lain bukan paijo muncul dalam benakku. Dia terlampau hebat. Bak artis yang
fenomenal di mataku. Tapi ia bukan artis. Relawan.
“Tahukah kamu, Dik. Adik itu sudah gila. Adik
tautkan fisik adik untuk paijo tapi otak adik selalu dipenuhi oleh dia. Apakah adik
sadar tak sedikitpun dia memikirkan adik? Kenal juga tidak. Dekat apalagi. Ingin
tahu tentang adik saja tidak mungkin. Sadarlah, jangan adik korbankan orangtua
dan paijo demi kegilaan adik akan dia. Kehebatan dia. Adik itu hanya pengagum
rahasianya!”
Ada sesuatu yang melelah dari mata
bulatku. Hangat dan meluncur teratur. Kata-kata ibu begitu menancap tajam dalam
dada. Semua itu benar. Ya, sangat benar. Bodohnya aku... L
Dia, dia dan dia. Dia seseorang yang
pernah kutemui, hanya sekali. Ya hanya sekali. Kuingat betul tatapannya begitu
meneduhkan, ngemong., Itu yang ku
tahu tentang dia. Selebihnya hanya lewat sosial media. Itupun aku yang ‘kepo’
tentangnya. Ingin tahu kegiatannya, siapa temannya dan apapun tentang dia.
“Rasa apa ini ya Allah...? Dia siapa?
Bahkan aku tak tahu dia pernah memasukkan bayangku di list otaknya atau tidak.”
Aku meninggalkan ibu. Tak kuat rasanya
sampai aku harus menangis di hadapan ibu. Berlari dan menyalakan kran air di
dalam kamar mandi. Tertunduk bagaikan manusia yang berlumuran dosa. Guyuran air
menampakkan slide wajah orang-orang terdekatku. Ibu. Bapak. Dan paijo. Hatiku bergetar.
Ingin rasanya airmata itu lunttur bersama guyuran air kran.
***
Ketika makan malam.
“Dik, maem
dulu.” Ibu menengok ke dalam kamarku.
“Ya bu.”
Ah, ibu. Seberat apapun beban ibu, pikiran
ibu, perasaan ibu, ia tak pernah membiarkan itu semua memperkeruh suasana di
rumah. Apalagi malam itu hanya ada aku dan ibu, tanpa bapak yang belum pulang
kerja.
“Bu,
adik minta maaf.” Aku membuka pembicaraan setelah makan malamku habis.
“Hem...”
“Bu, adik sadar terlalu berlebihan dengan
mimpi adik itu. Meskipun berkali-kali Pak Lim (guru spiritual) berkata ‘bermimpilah
maka mimpimu akan dipeluk oleh Allah’, mimpiku itu terlalu berlebihan Bu.
Selama ini adik juga tidak menghayati, mengamalkan nasihat ‘beramallah kepada saudara
terdekatmu terlebih dahulu, sebelum saudara yang jauh’.”
“Dik...”
“Ijinkan adik bicara dulu, Bu.” cegahku.
“Bu, sebenarnya adik juga sudah
memikirkan mimpi itu. Tapi entah kenapa ego adik begitu besar. Adik pikir,
nasihat tentang amalan itu betul juga. Untuk apa adik jauh-jauh pergi ke
pelosok negara untuk membantu negara membayar hutangnya pada anak bangsa demi
mencerdaskan mereka tapi keluarga, calon suamiku begitu tersiksa dengan
mimpiku. Apa guna? Padahal dengan jelas adik bisa berbagi dengan anak-anak
SEKOLAH MALAM. Mereka juga anak bangsa yang perlu dicerdaskan, betul kan Bu?”
Ibuku hanya mengangguk. Ku lihat ada
sesuatu yang menggenang di kantung mata ibu.
“Maafkan adik, Bu. Adik benar-benar tak
ingin pergi tanpa restu ibu. Maafin adik ya Bu, maafin kalau selama ini mimpi
adik justru membuat ibu tersiksa.”
“Ya Dik, ibu pasti maafin Adik. Mimpi
adik itu sungguh mulia. Tapi bapak pun tidak setuju dengan mimpimu itu, Dik”
sahut bapak yang telah berdiri di dekat kami sedari tadi.
“Bapak....” sapaku.
“Bukankah dulu adik memiliki mimpi yang lebih
mulia. Apakah adik lupa?” lanjut bapak.
“Tidak Pak.”
“Bapak rasa dengan menjadi seorang guru
bagi anak-anak di SEKOLAH MALAM, dan mengabdi di sekolah luar biasa itu sudah
termasuk mimpi yang luar biasa, Dik. Tak banyak orang yang mau bergelut dengan
anak-anak yang tak biasa itu. Mereka akan lebih memilih anak-anak normal, itu
saja niatnya perlu dipertanggungjawabkan lagi, Dik. Sedangkan adik? Teruskanlah
mimpi muliamu itu, asalkan tidak meninggalkan ibu dan bapak, apalagi calon
suamimu.”
Lagi, airmataku tak mampu dibendung. Ku
menunduk, ku rasakan daguku diangkat. “Adik boleh bermimpi, mimpilah. Tapi
jangan pernah lupakan ibu dan bapak ya?” ibu meraihku. Tangisku pecah.
Rasa-rasanya pelukan ibu semakin hangat. Ku pandangi bapak yang sedang menatap
kami.
“Maaf dan maaf atas ketidakpengertian
adik selama ini.” Ku rasakan anggukan ibu di bahuku. Rasanya malam itu
airmataku akan mengering. Namun itu membahagiakan ibu dan bapak, terlebih aku
dan paijo.
Ini
adalah sweet moment ala aku. Postinganku ini sebenarnya ada kaitan dengan postinganku Mimpiku Direngkuh-Nya Lewat Mereka. Kejadian ini terjadi pada Selasa, 2 Juli 2013.
"Tulisan ini diikutsertakan dalam Giveaway 'Sweet Moment' yang diselenggarakan oleh UnTu"
Setuju. Boleh bermimpi sebesar apapun itu. Namun jangan sampai melupakan orang tua, pangkal dari mana kita berasal.
BalasHapusJempol dua diangkat buat kamu.
HapusSemoga saja semua anak bisa sadar ya? Aamiin.
menurutku, mimpi menjadi seorang guru bagi anak-anak di SEKOLAH MALAM, dan mengabdi di sekolah luar biasa itu memang mimpi yang sangat luar biasa..
BalasHapusorang tua pasti tau apa yang terbaik buat anaknya..
dan tak ada orang tua yang ingin berpisah jauh dari anaknya..
Makasih udah share ceritanya..
OK. Tercatat sebagai peserta^^
btw, udah mau nikah ya Mbak? hehe
Huhuhuhu, iya Mbak.
HapusSaya tidak berat lagi menghapus mimpi gilaku itu.
Terimaksih juga sudah didaftar^^
Eh^^
Pertanyaan yang terakhir bikin malu.
InsyaAllah Mbak. Skripsi lancar langsung tancap gas. He :)
Mohon doa ya Mbak.
hehe.. aamiin.. aamiin..
Hapussemoga Alloh mempermudah segala urusan :)
Aamiin ya Allah :)
Hapus#padahal skripsi baru mau ngajuin judul
Ngik ngok, yang pasti OPTIMIS.
jadikan mimpi itu sebagai pandangan untuk menjalani hidup yang lebih baik. jadikan dia(orang yang ada jauh di sana)sebagai pemberi inspirasi untuk membatu anak didik disekitarmu. membahagiakan orang tua juga mimipi yang sangat mulia.
BalasHapusayoo kita berjuang bersama2....
Mbak Eka......
HapusHikss..... :)
Ini bukan perang besar mbak, tapi akibatnya begitu luar biasa dan indah :)
Mari berjuang!
Kemarin aku SMS gak bales??
jadi ingin ikut curhat mbak ika, boleh kah?masih tentang mimpi...
BalasHapusmimpiku juga sama ingin menjadi guru,itu juga mimpi ibu ku, namun setelah menikah, jalan hidup dan mimpiku harus ikut suami, meskipun tawaran ngajar datang, tpi belum di beri ijin oleh suami,,,Masih menunggu mimpi itu, tapi Alhamdulillah, apa yang tidak aku minta, selalu Allah berikan selama ini...
Iya mbak tidak papa.
HapusSubhanallah, mengikuti perintah suami itu sudah sangat luar biasa mbak.
Meskipun tak luar biasa di mata orang lain, tapi di mata keluarga dan Allah sungguh luar biasa.
InsyaAllah calon suamiku mengijinkan Mbak. Semoga :)
Terimakasih sudah mampir mbak. Pengalamannya sungguh luar biasa.
Dan tidak jadi guru anak orang, namun harus menjadi guru bagi anak kita nanti. Aamiin :)
Ah... benar2 momen yg indah... Semoga Allah melancarkan semua usahamu & mewujudkan mimpi2mu, Ika.. Salam utk org2 tersayangmu dan sukses di GA ini ya.. :)
BalasHapusAamiin terimakasih doanya Mbak Mechta.
HapusSiap Mbak, hehe.... Aamiin semoga saya beruntung :)
teruswujudkan mimpimu sobat =)
BalasHapusSiap laksanakan Sobat!
HapusMatursuwun :)