“Bermimpilah, maka Allah
akan memeluk mimpi-mimpimu.”
Berawal
dari kalimat dahsyat itulah, tulisan berbau curhatan ini muncul. Ya, curhatan dari seorang hamba Allah yang
seringkali terombang-ambing terbawa hempasan angin mimpi.
Berbicara
tentang mimpi atau impian atau cita-cita, aku rasa aku ini termasuk ke dalam
orang yang beruntung. Kenapa? Karena di luar sana masih banyak orang yang
usianya sama bahkan lebih dariku masih bingung ingin apa, dan bagaimana
mimpinya?
“Aku
ingin jadi apa ya?” muncul bintang-bintang di atas kepala.
Di
usiaku ke 21 ini, aku sudah mantab semantab-mantabnya bahwa aku ingin
mengabdikan diri kepada negara. Wah, berlebihan ini. intinya, aku ingin ikut
menyumbang kepada negaraku tercinta Indonesia untuk membayar hutangnya pada
seluruh rakyatnya, ialah mencerdaskan anak bangsa.
Ya,
aku bermimpi untuk menjadi seorang guru. Guru apa dulu> Hihihihi. Oleh karena
itu, saat ini aku duduk di bangku pendidikan tingkat tinggi dengan payung “FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN”. Program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD)
yang menjadi pilihanku, pilihan sekarang bukan dulu.
Sekarang
ceritanya, apakah dari kecil aku juga bermimpi menjadi seorang guru? Baiklah
tanpa siba-sabi alias basi-basi kita langsung ke TKP.
Masa TK
Usia
TK, karena otak ini sedikit cemerlang *tinggg masih banyak yang aku ingat. Dulu
aku tak pernah memikirkan mimpiku ketika dewasa nanti aku ingin jadi apa. Tapi seingatku,
aku sering jadi pemimpin tiap kali baris-berbaris, senam, bahkan dulu saya hobi
sekali jadi asisten Bu Kusmiati (nama guru TK saya) untuk ngawasin teman-teman
yang tidak mau piket (bersih-bersih kelas). Senang rasanya, keliling kelas sambil
membawa bambu yang diameternya 1 cm dengan panjang 1 meter untuk menakuti teman-teman
agar mau piket.
Kelihatan
kan ya kalau bakatku jadi pemimpin? Pemimpin huru-hara maksdunya.
Masa SD
Ingatan
ke masa SD, sungguh dramatis. Aku pernah dibully oleh guru dan kepala
sekolahku, mengenal yang namanya cowok ganteng pas di kelas 3 (ceritanya dulu ada
anak baru), sampai dengan hobi nyawah ketika jam istirahat. Semua aku alami. Trus
apakah aku memiliki mimpi?
Ketika
setiap siswa ditanya, “Apa cita-cita kalian?”
Jawaban
yang serempak, “Guruuu....”
Hanya
satu yang menjawab ingin jadi dokter, itu juga anaknya pak mantri desa. Maklum saja,
guru adalah tokoh yang begitu mempesona di mata siswa yang hidup di kampung
sepertiku ini. Ya, termasuk aku yang ingin jadi guru tapi hanya ikut-ikutan
tanpa tahu esensinya sedikitpun.
Tapi,
tunggu dulu!
Di
balik kedramatisan kisah persekolahan di SD, ada sedikit rasa yang berbeda
dalam dadaku. Rasa itu hadir ketika saya mengenal Alm. Sudarno (beliau
meninggal lebaran tahun 2011-semoga tidak salah tahun #pikun). Rasa apa sih? Yang
pasti bukan rasa cinta monyet lho ya?
Diary lawasku :) |
Bisa
ditebak gambar apa ya di atas? Ya, cerdas! Itu adalah sebagian dari buku
diary-ku di masa SD. Bisa dibuktikan tuh ada guntingan kertas majalah wajahnya
Tiwi AFI (sekarang personil T2), dan yang satu pasti ada yang sampai karatan. Lawas
banget.
Dari
Alm. Sudarno lah saya mengenal dunia menulis. Ya, menulis sederhana sih, lha
hanya menulis kegiatan sehari-hari dalam buku diary.
Hubungannya
dengan mimpiku apa? Ada. Dari sekian banyak guru yang ada, Pak Darno-lah yang paling
mengena di dalam hatiku. Pembelajarannya kalau kata anak-anak PGSD itu
bermakna. Makanya sampai sekarang aku masih menulis. Bermakna banget kan?
Dari
beliau aku belajar arti guru yang sesunggunya. Bahwa guru profesional (bahasanya
ilmiah banget boookk) adalah guru yang kehadirannya selalu dinantikan oleh
siswanya. Disambut, dan dibawakan tas bawaannya ke dalam kelas oleh siswa (ini
bukan paksaan).
Itulah yang aku pikirkan, dulu.
Itulah yang aku pikirkan, dulu.
Masa SMP
Sejak masa ini, orang sering menyebutku manusia nomaden alias berpindah-pindah. Karena apa? Aku memilih sekolah di
tempat yang lumayan jauh bagi bocah seusia 12 tahun (ini ceritanya jaman dulu
ya, beda dengan sekarang). Karena untuk sampai di sekolah aku harus naik bus
antar kota. Dan dari siswa yang ada, saya lah yang rumahnya paling jauh. Pagi buta
harus beragkat, pulangnya selepas akhir sholat dzuhur. Begitu terus selama 3
tahun. Dari situlah, slogan itu ditempelkan di jidatku, “manusia nomaden”.
Di
sekolah ini, perkenalkan SMP N 1 Godong, aku mengenal banyak orang dari
berbagai kalangan. Karena dulu katanya SMP ini favorit, bisa masuk kelas A (kelas favorit banget) adalah sebuah
kebanggaan, dan alhamdulillah 3 tahun aku masih betah saja di kelas itu.
Di
SMP ini aku bertemu dengan 5 manusia yang kece acakadul. Karena keseringan bersama,
kita mempoklamirkan nama geng kita, sebut saja Genk-6. Artinya simpel, 6 bocah.
Cukup.
Namanya
juga geng, kemana-mana pasti bersama. Kecuali masuk kamar mandi sih, kalau
antri tetep aja bareng-bareng. Hahaha. Sampai-sampai seluruh siswa juga kenal
dengan kita, apalagi guru-guru, biasalah ya, kita kan geng-nya anak-anak
berotak encer (sombong!).
Pada
masa ini, aku juga bertemu dengan seorang guru. Sebut saja namanya Dra. Titik Maryati
(Guru mata pelajaran bahasa Indonesia). Beliau wali kelas A selama 3 tahun. Jadi,
kenal semua deh karakter penghuni kelas A. Ya... meskipun ada beberapa siswa
ada yang kegeser di kelas sebelah. Dari beliau saya justru belajar bahwa guru
yang nge-mong seperti Bu Titik inilah
yang akan selalu dirindukan oleh siswanya. Terlebih bagiku yang diam-diam
menyukai pelajaran bahasa indonesia, aku semakin menggilai Bu Titik. Hingga di
kelas 8 (kelas 2 SMP) ada sebuah kejadian di mana saya diminta untuk bercerita
di depan kelas mengenai pengalaman pribadiku, entah terhanyut dalam cerita yang
aku sampaikan atau apa, semua penghuni kelas ikut menangis bersamaku. Termasuk juga
Bu Titik. Tak sampai selesai aku bercerita, direngkuhnya aku. Aku merasakan
hangat dekapan seorang ibu kepada anaknya. Beginikah ketulusan seorang guru?
Maka
di suatu hari, ketika hari perpisahan tiba dan aku berhasil membuat kepala
sekolah dan seluruh tamu undangan menangis (juga) karena puisi perpisahan yang
aku bawakan bersama teman-teman, Genk-6 pun mengikrar janji di kantin Bu Jas setelah itu.
“Sesibuk
apapun kita, kita harus tetap ingat satu sama lain. Dan kita akan bertemu 10
tahun lagi dengan cita-cita kita.” Beginilah janji kami.
Dari
tadi bicara Genk-6 mulu, aku perkenalkan 6 bocah ini adalah, Icha (nama beken
ku), Vivi (nama beken Evi), Li (nama beken Liana), Nanda, Tika, dan Sifa (nama
beken Siti Fatimah) lengkap dengan cita-citanya.
Tika, dulu sih katanya mau jadi komikus, sekarang sekolah perawat :) |
Yang ini Li, mimpinya jadi fisikawan, ya gak jauh-jauh sekarang jadi kuliah di Farmasi |
Miss Linglung, Nanda, dulu cita-citanya jadi koki, sekarang di dunia perbank-an. Hihihi |
Si anak dokter, Vivi. Maunya dokter anak, sekarang kuliah dokter umum. |
Masa SMA
Ada
yang bilang, masa SMA itu adalah masa yang paling indah. Tidak begitu denganku.
Banyak sekali hal-hal yang tidak ku inginkan terjadi, dan sampai saat ini aku
merasa semua itu tidak adil.
Namun,
bagaimana dengan mimpiku? Cita-citaku? Masihkah tetap ingin menjadi seperti Pak
darno dan Bu Titik?
Diciptakan
untuk menjadi anak tunggal menjadikanku iri dengan anak tetangga. “Mereka punya
adik, tapi aku?” Oleh karena itu, aku begitu menyukai anak-anak. Keponakanku yang
saat ini baru masuk SMP (Namanya Vina Maya Sari), dulunya selalu ada di mana
aku berada. Dia seperti adikku sendiri. Hingga akhirnya, suatu hari aku mengungkapkan
keinginanku kepada kedua orangtua, “Bu, aku mau ambil jurusan psikologi saja.” kataku
ketika sudah di ujung masa SMA.
Tanggapan
mereka, “Mau jadi apa kamu? Psikolog di desa itu nggak laku.”
“Trus
aku ambil apa?”
“GURU.”
jawab bapakku tegas.
Entah
kenapa, aku justru merasa ingin tetap masuk psikologi. Tapi, karena semua yang
biayain bapak dan ibu aku pun manut
saja. Daftar sana-sini (2 PTN) tidak kunjung membuahkan hasil. Namun, di lain
sisi aku sudah diterima di salah satu PTS di Kudus, Jawa Tengah. Ya, kampusku
yang sekarang.
Masa Kuliah (Sekarang)
Penolakan
batin yang sangat kuat ku rasakan. “Aku tidak ingin kuliah di sini. Aku ini
juara oliempiade geologi, di sekolah aku juga berprestasi, kenapa aku harus di
PTS yang ternyata tak banyak orang yang tahu.” Selalu seperti ini setiap
mendongeng kepada Allah S.W.T.
Dongengku
itu mulai sedikit lirih, ketika aku bertemu dengan teman sekamar kos-ku. Dia adalah
Ryan Mitha Pangesthy. Kami sama, bahkan aku kasihan dengannya. Dia memiliki
cita-cita menjadi seorang polwan, tapi harus ada di tempat yang sama sepertiku.
Padahal dia lulusan dari SMA RSBI dan prestasinya juga cukup gemilang.
Ya, aku merasa senasib. Senasib baru gagal menggapai mimpi.
Saya bersama Mitha ketika masa OSPEK |
Bersama
dia, aku bertahan untuk mencari cita-cita. Hingga suatu hari aku bertemu dengan
seorang dosen pengganti Ibu Tantin (Dosen mata kuliah Pendidikan Anak di
semester 2) tapi aku lupa namanya siapa. Soalnya hanya mengajar setengah
semester. Beliau memberikan tugas kepada mahasiswa untuk membuat list dampak buruk dan dampak baik yang
kami dapatkan selama kuliah di Universitas Muria Kudus.
Lagi
dan lagi. Tahukah apa yang terjadi? Aku membuat seisi kelas menangis karena
mendengar ceritaku. Ya, termasuk beliau. Bahkan beliau mengucapkan sebuah
kalimat yang membuatku terhenyak, “Kehadiranmu di sini ada alasannya dan sangat
dibutuhkan di suatu hari nanti, Anakku.”
Selesai
kejadian itu, ada sesuatu yang mengisi kekosongan hatiku. IPK di semester 1 dulu
dengan perolehan tertinggi di kelas tak menjadikan sebuah pencerahan bagiku,
namun melalui beliau lah jalan terang itu terbuka lebar.
Gairah
menuntut ilmu itu semakin hari kian membara. Begitu juga dengan teman
sekamarku, Mitha. Dia kini telah berhasil menggapai sebagian mimpinya, berkali-kali
gagal tak membuat ia patah arang. Tepat ketika semester 3 akhir, dia dinyatakan lolos ujian masuk. Ya dia saat ini telah menempuh masa
pendidikan polwan di Semarang. Rasa bangga sekaligus tak mau kalah untuk
mencapai cita-cita dalam diriku semakin menggebu.
Mitha sekarang |
“Jadilah
ibu guru yang cantik. Jangan lupa denganku nanti ya.” pesan Mitha ketika kami
berpisah.
“Nggak
terbalik? Nanti kan keluar langsung jadi Kapolsek. Hahahaha.” gurauku padanya.
***
Inilah
sepenggal mimpiku. Kesadaran untuk mencerdaskan anak bangsa ini mulai tumbuh
sejalan dengan bertemunya aku dengan mereka, orang-orang hebat. Dan kini, satu
langkah kecil namun nyata dari bentuk mimpiku sebagai guru, aku memiliki SEKOLAH MALAM.
Sekolah
Malam ini layaknya bimbingan belajar, namun tak berbayar. Eh, bayar. Bayar Rp
1.000/berangkat. Uang itu sebagai ganti kertas, membeli bahan dan tinta spidol.
Kalau sekolah pasti ada siswanya ya? Ya, mereka adalah anak-anak di kampung
saya. Siswanya dari kelas 3, 5 dan 6. Sistem berangkatnya bergilir, satu minggu
dua kali untuk tiap kelasnya.
Tidak
hanya mata pelajaran saja yang diajarkan di Sekolah Malam ini, namun juga
berbagai ketrampilan. Seperti origami, membuat tirai dari sedotan, dan
sebagainya. Tak banyak yang aku harapkan dari mereka, cukup dengan tawa saja,
rasanya lelah akan terbayarkan secara lunas.
Niat
baik pasti akan banyak bantuan yang datang, Ya, sekolah malam ini mendapat
bantuan danaa dari teman saya untuk membeli meja lipat sebanyak 10 buah.
Alhamdulillah.
Tapi
apakah mimpiku hanya sampai di sini saja? Tidak.
Sekalipun
kini aku telah mengajar di TK Kartini 1 untuk mengisi jam kosong kuliahku, juga
mengajar di SEKOLAH MALAM, justru kini aku ingin, dan benar-benar ingin tetap
menjadi guru, namun bukan guru SD, apalagi guru TK, melainkan guru SLB. Ya,
Guru Sekolah Luar Biasa. Aku ingin mereka yang berkebutuhan khusus juga
mendapatkan perhatian selayaknya siswa-siswa yang normal. Aku ingin mereka cerdas
seperti yang lainnya dan tidak dianggap sebelah mata oleh orang lain.
Terakhir, aku baru sadar, jika dulu aku jadi ambil psikologi maka belum tentu aku bisa seperti ini. Karena di PGSD justru saya belajar banyak, termasuk psikologi anak. Inilah rencana Allah.
Terakhir, aku baru sadar, jika dulu aku jadi ambil psikologi maka belum tentu aku bisa seperti ini. Karena di PGSD justru saya belajar banyak, termasuk psikologi anak. Inilah rencana Allah.
Wiiih pengalaman temen2nya so inspiring banget yaa mbaak...siip deh bisa menggugah semangat menata hidup ^^
BalasHapussmoga cita2 mulianya utk jd guru SLB tercapai ya :)
BalasHapusmimpimu sangat mulia Ika, mba doakan biar terkabul ya, agar permata2 bangsa ini makin cerdas dan tangguh seperti Ika
BalasHapusOOT, bukan TIA itu ya dek, T2 kan anggotanya Tika dan Tiwi hihihiii...
Mbak Christanty: Alhamdulilah Mbak, semoga ada hikmahnya ya?
BalasHapusNathalia: Aamiin, terimakasih doanya. Semoga kita dapatkan yang terbaik.
Uniek: Hooh Mbak, baru setelah posting sadar deh teng celomet sana-sini. Tapi ini sudah diperbaiki. Hihihihi. Otak sama jari gak sejalan. Mikirin yang di samping mulu. Tapi terimakasih koreksinya :)
Terimakasih banyak sudah berkunjung.
wih2...
BalasHapus