Anak
bisa jadi adalah cermin
orangtua. Katanya sih, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Hi! Benarkah?
Aku sih meng-iyakan. Soalnya sedikit banyak sifatku lunturan dari
bapak dan ibuk.
Melihat Dimas yang sangat unik, aku
jadi berpikir ada apa dibalik itu semua?
Dimas ini anak kelas III,
tingkahnya berbeda dengan teman yang lainnya. Bahkan di tengah kalangan
teman-temannya, Dimas terkenal usil. Tapi kala itu, ketika ada tong sampah
(tiga warna, merah, kuning, dan hijau) baru di sekolah, dipandanginya tulisan
di tong sampah itu.
Sekejap kemudian di tengah terik
matahari, Dimas berlari ke tengah lapangan mencabut rumput-rumput di sana dan
berlari mendekati tempat sampah yang bertuliskan “Daun”. Temannya? Biasa saja.
Mereka asyik dengan teman-teman yang lainnya. Bahkan tampak tak memperdulikan
Dimas. Begitu juga dengan Dimas, asyik dengan dunia sendiri. Aku yang
melihatnya begitu tertarik.
Berulang-ulang Dimas melakukan hal
yang sama, berganti dari daun kemudian kertas dan plastik.
Hanya aku pandangi, tiba sampai
Dimas menemukan botol minuman bekas di gundukan pasir. Dipandanginya sebentar
dan dimuntahkan sisa air di dalamnya.
Masih kupandangi dari kejauhan.
Dimas berlari mendekati keran air
yang ada di dekatku. “Buat apa Mas?” tanyaku.
“Nyiram pasir, Bu.”
Ku biarkan saja, bahkan aku penasaran
apa yang akan dia lakukan. Sebenarnya, celana putih yang dia kenakan sudah
kotor semua, justru membuatku semakin tertarik pada Dimas. Anak ini memang
berbeda!
Dimas bohong!
Dia tidak menyiram pasir, melainkan
membuat gundukan pasir dan memposisikan botol bekas yang berisi air dengan
leher botol di bagian bawah. Diperhatikannya, airnya tidak tumpah. Aku mulai
mendekatinya tanpa menegur. Dikorek-korek pasir yang dekat leher botol itu, dan
keluarlah air dari dalam botol sedikit demi sedikit.
Amazing! Dimas sedang
bereksperimen.
Tet...tet....bel masuk berbunyi.
Dimas mencuci tangan dan hendak masuk kelas. “Mas, minumnya siapa ini?”
“E..punyaku, Bu.”
Dimas itu bisa dikatakan sebagai
korban perhatian full dari orangtuanya. Ketika di rumah, dia tak pernah keluar
rumah. Mungkin ini sebabnya. Awal mula kelas I dulu, menurut gurunya dia tidak
mau pulang kalau sudah di sekolah. Nah kan?
Di rumahnya, ada berbagai hewan
seperti belalang, cicak, dan lainnya. Semua dipeliharanya, itu semua juga
ditemukan di sekolah. Unik kan?
Kalau di kelas, bisa ditebak Dimas
seperti apa?
Aku sudah 3 x ngajar di kelasnya.
Dan, inilah Dimas, tak pernah bisa diam. Muter kelas mulu.
“Bu, Dimas ini lho usil banget.”
“Bu, Dimas nggak mau berkelompok.”
“Bu, Dimas ini lho ngambil
pulpenku”
Dan lagi-lagi.
Aku juga sempat syok ketika Dimas
berkata, “Bu, nggambar bokong boleh?”
Temannya yang lain tertawa
terbahak-bahak. “Dimas memang ngomongnya jorok-jorok, Bu.”
“Dimas, Bu Ika ijinin kamu nggambar
bokong tapi bokong kamu sendiri. Bisa?” Dimas malah ketawa.
“Ya, ndak bisa to Bu.” Terang
Dimas.
Dimas itu unik, sekalipun dia
sering sekali muter kelas dan paling akhir mengumpulkan tugas, tapi nilai dia
selalu bagus. Dia mengerjakan sendiri. Temannya semua sudah pada ngumpulin. Terakhir
aku mendata nilai Matematika dia dapat 80. Tulisannya juga termasuk dalam
tulisan standar, nggak jelek-jelek amat. Nilai plus nih! Amazing kan?
Ah, Dimas!
Aku rasa orangtuanya tidak bisa disalahkan
sepenuhnya. Toh, aku juga belum mengenal dia seutuhnya. Tapi hal ini
membelajarkanku tentang pentingnya peran orangtua memberikan kebebasan terarah
dalam bersosialisasi dengan sesama.
Teori dari kampus memang
benar-benar nyata, siswa itu beraneka ragam karakteristiknya. Banyak hal yang
mempengaruhi, salah satunya faktor dari keluarga. Keluarga, ya benar. Keluarga
adalah media bersosialisasi utama dan pertama sebelum anak mengenal dunia luar.
Kalau kata ibuk, “Ndidik anak jaman
sekarang itu susah-susah gampang.”
Betul?
Betul banget, anak skrg kritis2 mba ika, aku jg punya siswa yang unik2 mab, ternyata kita sm2 guru #sambilsalaman...
BalasHapusSalam kenal mbak :)
HapusSaya masih calon mbak, sekarang lagi PPL di SD.
Semoga segera menyusul.
Punya tips ga mbak, biar anak bisa mengexplore lingkungannya tapi tetap dalam batas2 yang bisa jadi positif untuk dia? Kan kalau masih balita itu golden period katanya, kalau dikit2 ga boleh bikin ga kreatif anaknya. Tapi kalau apa2 dibolehin takutnya jadi liar.
BalasHapusSaya sendiri juga belum punya anak mbak, tapi saya mendengar cerita bagaimana cara ibuk saya mendidik anak contoh kecilnya masalah "jajan", ibuk setiap kali mau membelikan saya jajan, saya tidak pernah diajak, hanya jajan yang sampai rumah. Jadi saya tahunya dulu ibuk yang bawa jajan itu.
HapusHal itu dilakukan ibuk agar saya tidak hobi jajan seperti nak jaman sekarang.
Ketakutan muncul nanti anak tidak tahu lingkungan, ya kan anak tetap diajak bersosialisasi di lingkungan sekitar.
Dulu saya tidak kenal jajanan sekarang besar juga bisa jajan sendiri, ada tahapnya sendiri.
Dan yang terpenting lagi, ucapan orangtua juga sangat berpengaruh dalam menghardik anak mbak. Itu yang saya dapatkan dari pengalaman ibuk saya mengasuh saya dan keponakan.
Kok melihara cicak segala sih mbak si dimas nya? Wkwk
BalasHapusPokoknya hewan apapun yang ditemukan dia, pasti dibawa pulang mbak.
HapusAku dapat info dari guru yang pernah nganter dia pulang ke rumah.