Semakin ke sini, saya sadar kalau saya jauh dari kata
dewasa. Belum tahu apa-apa dengan dunia ini. Apa sih yang saya kenal? Hanya jalanan
sepanjang Demak-Kudus. Itupun benda mati. Sedangkan yang hidup saya pun tak
memahaminya. Jauh.
Setidaknya itulah yang saya pikirkan saat ibuk tahu ada
teman satu tempat kerja (dulu) menyapa saya lewat benda berjulukan "HP". Saya hanya
merasa diri saya ini bodoh karena baru tahu setelah ibuk menghardik saya, “Diam,
jawab iya, iya, masak? Aku kok baru tahu? Kamu ikut bicara keburukannya, bisa-bisa kamu dijadikan kambing
hitam.”
Ya, saya kategorikan diri saya sebagai manusia ‘polos’. Tak
tahu kejamnya dunia di luar sana. Atau memang saya yang bloon? Atau yang sering
terhanyut dalam derasnya buaian setan? Yang saya ingat dari ucapan ibuk adalah,
“Kalau ada teman yang menjelek-jelekkan orang lain, membicarakan orang lain
yang entah kamu tahu dia itu baik atau tidak sama kamu, diamlah. Jawab secukupnya,
dan kamu tak berhak menambah pembicaraan.”
Tersentil. Betapa saya selama ini justru terhanyut dalam
setiap pembicaraan yang teman awali. Bahkan saya juga pernah mengawali
pembicaraan ‘setan’ itu. Ah~ kalau saja dari dulu saya tahu kalau semakin banyak
musuh dalam selimut yang benar-benar tak tampak. Woi, kemana saja diri saya ini? Saya proklamirkan diri
saya sebelum ini adalah “tumbak cucukan”.
Maaf~
Koreksi-koreksi diri. Apa yang telah saya lakukan selama
ini? Harusnya saya tak memakan daging saudara saya sendiri. Toh, jika memang
orang lain pernah menato hati saya, tak berhak rasanya saya mengumbar aibnya. Bukankah
begitu? Menjaga hati mereka, ya jaga hatinya sekalipun hati saya pernah
terluka.
“Diam lah, diam saja. Dunia luar sungguh kejam dik.” pesan ibuk
melihat anaknya ini melongo.
Diam itu emas ya
BalasHapusbegitu kata pepatah
Dan untuk merealisasikannya begitu sulit Mbak :)
HapusMalah sering ngomporin daripada diem. Hmm, jadi merenung nih :)
BalasHapusKoreksi diri Mbak yuk :)
Hapus