“Alhamdulillah.”
Ya, kata
hamdallah-lah yang pertama kali ingin aku ucapkan. Karena apa? He, bab 1
proposal skripsiku sudah 95 % (padahal temanku sudah ada yang sudah kelar,
semangat Cha!!). Apa hubungannya coba? Kemarin sebenarnya aku janji pada diriku
sendiri kalau bab 1 belum kelar, aku nggak akan nge-blog dulu.
Oya, berhubung
masih dalam suasana lebaran, aku mau ngucapin “Selamat Hari Raya Idul Fitri
1434 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin”. Maafin ya salahku selama berkeliaran di dunia
blog ini?
Kembali ke judul.
Membaca sekilas
judul postingan ini apa yang paling membuat kamu tertarik untuk mengklik
link-nya? Semoga karena kata SUKSES. Sukses, bagiku dulu sampai sekarang sukses
itu masih ada kaitanya dengan materi. Meskipun lambat laun agak tergerus dengan
kesadaran atas nama pikiran ‘dewasa’. Sukses bagiku kini cukup dengan arti
tidur nyenyak. Mengenai materi? Itu bonus dari Allah. He, pinjam kata
teman-teman blogger yang sudah urun saran di postingan Pikirku...
Kemudian siapa
ABK? Anak Buah Kapal? Sukses baginya?
Berawal dari SMS
lebaran dari nomor asing yang masuk di HPku tepat di hari lebaran. SMS itu
bunyinya seperti ini, “Mohon Maaf Lahir Batin yo lek”. Mendapat SMS itu aku tidak langsung membalasnya, hanya
bergumam, ini nomor siapa ya? Kalau manggil aku “lek” pasti teman jaman SMA. Akhirnya karena aku ini kepo, SMS
balasan pun saya kirim, singkat, “Siapa?”.
Kekepoanku hilang
begitu saja dengan adanya kegiatan yang super padat di hari lebaran kemarin
(sok ngartis, he). Tak peduli kabar nomor asing itu lagi. Hingga, 14 Agustus
2013, ada SMS dari nomor asing lagi yang masuk.
“Prasetyo”
Aku membaca SMS
sambil mengernyitkan dahi. Si Cumi’? Ah iya ini, masak nomornya baru lagi? Nomor
yang kemarin itu nomornya Cumi’? Balas nggak ya? Tapi kan nomor Indonesia,
kemarin katanya dia di Vietnam? Ntar kalau aku balas pulsaku kesedot banyak aku
bangkrut dong? He, pelitnya kumat. Akhirnya aku pun membalas SMS dari Cumi’. Ini
nih, penamakannya.
5 menit tidak ada
balasan, aku pun memutuskan untuk tidur karena baru pulang dari Semarang. Eh,
tiba-tiba ada yang bergetar. Nama “Prasetyo” nongol di layar HPku.
“Cumi’ ngapain
telepon?” tanyaku heran pada diri sendiri sambil melihat ke layar Hpku. Ibuk
yang ada di sampingku menyahut, “Udah angkat saja.”
“Assalamualaikum..”
Dari sana
terdengar suara renyah Cumi’. Ah, ini anak kapan terakhir telepon aku?
“Kamu di mana
ini?” tanyaku pada Cumi’.
“Singapura, Ka”
jawabnya.
“Kemarin pas di
facebook katamu di Vietnam?”
“Iya, terus ke
Malaysia sekarang udah di Singapura.”
“Ciaaahhh...kayak
lintang ngaleh kamu. Eh, kok pake
nomor indosoot?” kepoku kumat.
“Iya, kan masih
kecantol sinyal dari Indonesia.”
“Ohh....” aku
manggut-mangguut.
Ya, Cumi’ itu
adalah ABK Kontainer. 3 tahun lalu kami akrab sebagai teman sekelas. Tapi nasib
kami berbeda, dia cowok ganteng, sedangkan aku upik abu. Ciah, nggak ada
hubungannya sama sekali dah!
Nama lengkapnya,
Prasetyo Darmo Sesomo. Sering dipanggil Pras, Tyo, dan hanya aku dan sampai
sekarang yang masih manggil dia Cumi’. Saat ini dia magang sebagai ABK di kapal
milik perusahaan asing. Desember nanti dia akan kembali ke darat untuk kuliah 1
tahun (PIP Semarang) dan setelah lulus dia akan kembali ke kapal tersebut
karena sudah dikontrak.
Cumi’ punya adik
4 (woow banget bagiku). Dia anak sulung, adiknya nomor dua perempuan sekarang
ambil radiologi di Poltekkes Semarang semester 3, adiknya nomor 3 sampai 5,
laki semua. Kelas 6 SD dan dua yang terakhir TK kecil dan TK besar. Kalau
bicara tentang saudaranya aku ingat kalimat dia kemarin, “Bapakku sregep banget
kok, Ka.” Dan aku hanya tertawa. Dasar Cumi’!
Gelak tawa, ya
selama kegiatan bertelepon bersama Cumi’ ada aja yang dibicarakan. Dari tadi
ngomongin Cumi, aku kasih lihat penampakan dia deh.
Foto ini aku comot dari facebook Cumi' |
“Ka, tahu nggak
kapalku panjangnya seberapa?” tiba-tiba dia membuka bahasan baru.
“Berapa
memangnya?”
“Melebihi kapal
Titanic deh pokoknya.” Ciah, sombong.
“Masak siiihh?”
gayaku sok tahu padahal juga lihat Titanic dari televisi. Nggak paham ukuran
aslinya. He.
“Tahu ukuran
lapangan bola?”
“Ho-oh? Trus?”
Belagak sok tahu lagi padahal aku nggak paham ukuran lapangan bola.
Astaghfirullah, maklum waktu SMA nyontek pas ujian teori olahraga.
“3 kalinya.
Kapalku panjangnya 300 meter Ka, tingginya tahu?”
“Berapa??”
“Pohon kelapa aja
lewaaat, Ka.”
“Ah masak sih?
Kapan-kapan kamu foto dong sama kapalmu itu biar aku tahu. Kamu mesti kayak semut
kalau foto sama tu kapal.”
Di antara tawa
kami, terselip sebuah cerita. Semua berawal dari kalimat yang kulontarkan. “Wah,
kamu enak ya Mi’ keliling dunia. Bisa lihat sana-sini. Aku malah ngejogrok di
rumah mulu.”
Kemudian dari seberang
sana dia menjawab, “Uangnya juga banyak?”
“Pasti tooo!”
jawabku seperti mencibirnya.
“Ah, kamu tuh
sama ma orang lain.” jawab Cumi’ agak merendah suaranya.
“Maksudnya???”
kepoku.
“Aku bisa seperti
ini juga ada rekosone (susahnya), Ka.
Bukannya aku sok menggurui. Tapi kamu tahu kan dulu aku pernah cerita pas aku
cari perusahan semacam perusahaan kapal yang aku tempatin sekarang ini di
Jakarta?”
“Heem...”
“Percaya atau
nggak terserah kamu, dulu aku di Jakarta cari perusahaan nggak semudah yang
orang bayangin. Pernah dicuekin, nggak dianggep sama sekali pokoknya, dilihat
aja nggak. Naik turun metromini kemana-mana, Ka. Sampai-sampai aku kan dikasih
jatah uang sama bapak itu Rp 200.000 buat dua minggu, eh ternyata belum dua
minggu uang itu udah mau abis. Tahu sendiri, Ka hidup di Jakarta kayak gimana?
(sayangnya aku belum pernah hidup di Jakarta Mi’-batinku) Pas itu waktu bulan
puasa, aku ngirit (berhemat). Aku
cari perusahaan jalan kaki dari tempat tinggalku sementara sampai karet alas
pantopelku habis. Puasa dah pokoknya tak tahan-tahan Ka. Demi masa depanku
pokoknya. Memang hidup jadi seorang pelayar kalau di jalan lurus akan mudah
dapet materi, Ka, tapi kalau nggak tahan godaan, jangan ditanya. Godaan bagi
orang pelayaran sepertiku ini juga sangat berat.”
“Iya Mi’. Yang
kuat ya?”
Masih
mendengarkan Cumi’ bercerita di seberang sana, pelupuk mataku menghangat. Cumi’
yang dulu manja kemana? Sekarang digantikan Cumi’ yang sungguh matang.
“Ka, di kapal ini
ada 24 ABK.”
“Apa? Kapal
sebesar itu hanya 24 orang yang ngisi?” kepoku kumat lagi.
“Ya, dari 24
orang, 2 diantaranya aku dan temanku yang orang Timur. Hampir semua yang
lainnya adalah orang Barat.”
“Berarti kemarin
kamu puasa sendiri dong Mi’. Ya Allah Mi’, bagaimana rasanya?” aku iba.
“Ya, aku nggak
sendiri kan ada temanku juga yang dari Indonesia. Rasanya biasa aja Ka. Tapi
yang perlu kamu tahu, paling enak itu kerja dengan orang kita sendiri.” terang
Cumi’ buatku penasaran.
“Kenapa emangnya?
Kan enak punya kenalan orang luar.”
“Ah kamu sih
nggak tahu. Bagi mereka kita itu teroris Ka. Bekerja dengan orang kulit putih
pasti akan ada diskriminasi meskipun itu sangat kecil.”
Mendengar cerita
Cumi’ aku menghela napas panjang. Benarkah? Begitukah rasanya? Ya, selama ini
aku selalu melihat nikmatnya saja, nikmat yang dialami Cumi’ tapi tak pernah
melihat dari sisi lawannya. Apakah kamu juga termasuk orang yang sepertiku?
Mari segera diubah.
“Kamu tetap harus
bertahan ya Mi’.”
“Pasti Ka, jalanku
masih panjang. Kamu juga ya? Kuliah yang bener. Skripsi segera dikelarin. Kalau
kamu mau kerja keras pasti ada jalannya. Jangan malas mulu!”
“Ih...Cumi’
bijaksana kali. Cumi’ memang sudah berubah.” ejekku.
“Masak sih?
Mungkin keadaan Ka yang telah berhasil mengubahku. Tapi ingat betul Ka, kalau
kamu mau sukses, ada kuncinya.”
Kudengar Cumi’
megucapkan kunci sukses ala dirinya dengan menggebu.
1.
Kerja keras, mungkin ini dari perjuangan dia ngalor-ngidul cari perusahaan dengan
keadaan puasa dan keuangan yang menipis.
2.
Sholat wajib jangan pernah telat, ditambah
sholat sunnah. Meskipun di rantau, disangka teroris, didiskriminasi Cumi’ masih
ingat Allah.
3.
Berdoa kemudian bersabar. Ya, bersabar setelah
berikhtiar.
4.
Sodakoh (Beramal)
Sodakoh, aku jadi
ingat kata-kata Cumi’, “Anggap sodakoh kita baik itu banyak atau sedikit yang
penting ikhlas sebagai tabungan kita di hari besok Ka.” Ada lagi, pertanyaan
usilku muncul, “Mi’ kalau di kapal gitu kamu sholatnya bagaimana?”
Dengan takzim
Cumi’ menjawab, “Lillahi ta’ala Ka. Kuniatkan menghadap kiblat, tapi kadang aku
juga pakai peta (kompas mungkin maksudnya).”
Ah, aku. Yang
dari kemarin rasanya ogah betul untuk mengerjakan skripsi seakan-akan mendapat
suntikan semangat dari kawan SMA ku ini. Terimakasih. Allah itu selalu menghadirkan
kabar bahagia tanpa disangka datangnya dari mana dan kapan tepatnya.
Terimakasih juga Cumi’ sudah menyempatkan waktu untuk telepon aku. Baru sadar
kalau kemarin waktu telepon selama 49 menit. Dan telepon kami berhenti sejenak
ketika telepon di kabin kamarnya berdering.
“Sebentar Ka.”
Belum menjawab
“ya”, si Cumi’ sudah merespon si penelepon kamarnya.
“Siap Sir. Yes!”
ku dengar Cumi’ menjawab dengan kata yang sama berulang-ulang.
“Halo Ka.”
“Ya, Mi’.”
“Setengah 5 (waktu
Singapura) aku kerja lagi. Udah dulu ya.”
Ku tutup telepon
dari Cumi’ dengan kobaran semangat hidup yang berbeda. Terimakasih Cumi’.
Terimakasih Allah telah mengirimkan cerita Cumi’. Haruskah aku bermalas-malasan
lagi? TIDAK. Rasa-rasanya cerita temanku itu sungguh melucuti rasa malasku.
Memang, dulu dia tak pernah bermimpi akan menjadi seorang ABK, karena dia
bermimpi menjadi seorang polisi. Tapi dia kini telah bersahabat dengan keadaan
dan inginmnegubah dunianya. Kenapa aku tidak? Kamu?
Keinginan baru
dalam hatiku muncul, skripsi jalan, nge-blog pun harus tetap jalan. Kalau skripsi
mendapat 85 % perhatianku, paling tidak blog ku ini dapat 15 % doong! Jangan
berhenti menulis dan menginspirasi sesama. Semangat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar