Siapa menyangka apa-apa yang sudah
dipersiapkan dengan matang tiba-tiba berantakan di jalan? Rasanya sangat
menjengkelkan dan seakan ingin bilang, “Kenapa sih Allah jahat?” Hal itulah
yang terjadi pada saya kemarin pagi ketika berangkat ngajar.
Mempersiapkan alat peraga atau
media untuk mengajar, bagi seorang guru adalah wajib hukumnya. Apalagi untuk
guru praktikkan seperti saya. Maka saya persiapkanlah media “Styrofoam (gabus)
Hitung”. Dengan gabus tersebut saya ingin membelajarkan tentang penjumlahan dan
pengurangan di bawah angka 20 bagi siswa kelas 1 SD melalui cara menempelkan
berbagai macam gambar.
Gabus yang saya gunakan tebalnya 1,5
cm, panjang 80 cm, dan lebarnya 40 cm. Sekitar pukul 05.45 WIB saya berangkat
dari umah. Riangnya hati saya membayangkan betapa ceria anak-anak nanti ketika
saya masuk kelas membawa media yang satu ini. Pasti pembelajaran akan
berlangsung dengan menyenangkan, yakin saya.
Takdir berkata lain. Sekalipun saya
sudah memposisikan gabus tersebut dengan posisi senyaman mungkin agar tidak
terkena hembusan angin, tiba-tiba “Krek”. Sontak saya menjerit, “Aww...”. Iya,
gabus yang saya bawa itu retak setelah ada bus antar provinsi menyalip saya. Padahal
sudah setengah jalan (30 menit perjalanan). Berhentilah saya. Saya perhatikan
gabus itu.
“Buang-tidak-buang-tidak.”
Saya putuskan untuk membawa sisa
gabus yang patah tadi dan merelakan sebagian gabus yang melayang entah kemana. Sebelumnya
saya ambil hiasan-hiasan yang masih menempel. Pelan-pelan, takut sobek. Saya
tempelkan hiasan tersebut pada spedometer motor. Selesainya, saya mencari cara
bagaimana posisi yang pewe agar gabus ini nggak patah lagi dan mudah dibawa. Tapi
sebenarnya saya sudah lillahi ta’ala misalnya gabus tersebut patah lagi. Hiks.
Posisi diantara kaki dan bertumpu
pada dada sayalah yang setidaknya menjadi posisi paling pewe saat itu.
Bismillah. Saya lanjutkan perjalanan ke sekolah. Di perjalanan tak sedikitpun
ada masalah dengan gabus tersebut. Inikah cara Allah? Mematahkan gabus saya untuk mempermudah perjalanan saya?
Sesampainya di sekolah, teman
sejawat pada nyengir, “Patah?”
“Iya.” Saya langsung nyelonong
masuk dan bersalaman dengan kepala sekolah yang selalu rajin berangkat pagi
tiap hari Senin. Segera setelah itu, saya letakkan tas dan mengeluarkan
penggaris serta cutter. Cia..cia...cia...membereskan hiasan dan selesai. Media yang
saya rancang telah kembali seperti semual. Ya, meskipun ukuran panjangnya
sedikit berbeda. Tak apalah.
Dari kejadian ini, saya justru
flasback pada beberapa kejadian satu bulan ini. Saya merasa kalau akhir-akhir
ini banyak sekali perubahan dalam diri saya. Dulunya saya yang terlalu ambisius
dan apabila sesuatu yang terjadi tidak sesuai dengan keinginan saya, maka
stress-lah saya kemudian pekerjaan yang lain akan keteteran semua. Tapi pagi
ini? Saya dengan santainya mengatasi masalah tersebut, lillahi ta’ala. Inikah nikmat
Allah yang lupa saya sadari dari dulu? Nikmat ketika memasrahkan apa—apa yang
terjadi pada Allah. Dan hasilnya? Mengajar hari ini sangat lancar dan anak-anak
juga bersemangat. Sekalipun mereka tidak tahu kalau ada kejadian gabus patah. Hari
ini saya belajar apa itu pasrah.
Mantap... Rencana Allah selalu lebih indah..
BalasHapus#lagijalan-jalan.
manusiawi sih kalo awalnya kecewa :-)
BalasHapusambisius ma perfeksionis,,itu tuh,,aslinya bikin cepet tua he he,,dibawa enjoy aja mba ika,,
BalasHapusIya bun, ini sudah disadarkan. Hahahahaha :)
HapusKalau berusaha maksimal, kemudian pasrahkan sama Allah, lebih enjoy :D
rencana Allah memang sellau indah :)
BalasHapus