Judul : Landasan Hak Asasi Manusia
Penulis : Ahmad Samawi
Jumlah Halaman :
36 halaman
Kurang lebih 69 kepala keluarga
yang terdiri 233 jiwa anggota Syiah mengungsi. Rumah mereka dibakar
secara paksa. Rata dengan tanah. Keselamatannya terancam karena masalah
keluarga yang dikaitkan dengan masalah kepercayaan. Memprihatinkan memang. Hal
yang sangat dasar, yaitu masalah kepercayaan namun masih saja diganggu gugat
oleh manusia lain.
Terlalu teoritis. Memuakkan. Pun
lebih berat dari buku karya Pramodya Ananta Toer, terlebih masalah Sampang di atas, tetapi
Ahmad Samawi telah membuat saya berkali-kali membaca tulisannya agar memahami
secara tepat. Namanya juga tulisan ilmiah, terkesan kaku. Akan tetapi, kalau
bahasa yang digunakan di dalam modul lebih komunikatif, mungkin mahasiswa tidak
merasa ‘terpaksa’ untuk membacanya. Termasuk saya di dalamnya.
Ahmad Samawi, mengusung judul “Landasan
Hak Asasi Manusia” dalam 36 halaman ini bertujuan ingin menggambarkan pondasi-pondasi
HAM yang patut diketahui oleh setiap orang. Kasus Sampang dapat dijadikan
contoh bahwa benar adanya jika perbedaan itu ada di antara manusia. Sesuai dengan
ungkapan Ahmad Samawi pada halaman 2-4, “Manusia
memiliki sifat individu dan sosial. Sifat individu ditunjukkan manusia untuk
selalu mementingkan diri sendiri dan sifat sosial ditunjukkan dengan
kecenderungan untuk berkelompok. Di dalam kehidupan kelompok tersebut, setiap
orang berinteraksi dengan orang lain demi tujuan bersama. Setiap orang merasa
menjadi bagian dari kelompoknya dan karena itu ia memiliki loyalitas atau
solidaritas (persatuan) kepada kelompoknya. Kehidupan berkelompok tersebut
kemudian dijadikan bagian dari sistem nilai yang dijunjung tinggi yaitu
persatuan.” Perbedaan itu nyata. Dengan perbedaan masalah kecil ataupun
besar bermunculan. Bahkan Allah menjanjikan, ketika manusia bisa menyelesaikan
masalah tersebut, maka Allah akan mengangkat derajat manusia itu.
“Bangsa
Indonesia tidak memihak pada salah satu atau kedua ideologi kapitalisme dan
komunisme. Bangsa Indonesia memiliki ideologi yang disepakati bersama.” (halaman
2-8)
Pernyataan di atas saat ini perlu
dipertanyakan, masihkah berlaku? Kenyataan membuktikan bahwa justru masyarakat
kini menggunakan ideologi komunisme untuk menyelesaikan setiap masalah. Mereka melupakan
landasan filosofis yang mengaharapkan manusia untuk menggunakan pikirannya dalam
melakukan segala sesuatu. Karena jelas adanya, ketika suatu pelanggaran terjadi
maka bukan hanya aturan negara yang menghukum, bahkan agama dan masyarakat ikut
serta untuk memberikan hukuman bagi si pelanggar.
Ahmad Samawi menyebutkan pula
bahwa, “Berbeda halnya dengan masyarakat
perkotaan. Masyarakat kota memiliki karakteristik interaksi sosial yang
bersifat patembayan, sedangkan di dalam masyarakat pedesaan bersifat paguyuban.
Artinya, hubungan antarindividu dilihat dari kepentingan masing-masing sehingga
bersifat lebih individual.” (halaman
2-24)
Pernyataan itulah yang sering
ditemukan akhir-akhir ini. Orang desa dengan orang kota itu berbeda. Kemudian
apakah harus memunculkan permasalahan? Tidak. Kemudian bagaimana caranya? Perlu
ditanamkan betul apa arti HAM yang sesungguhnya. Berinteraksi dengan masyarakat
lain hukumnya adalah wajib, wajib menghormati kebebasan masing-masing, mematuhi
peraturan yang ada yang sebelumnya telah disepakati bersama-sama.
Wujud nyata
yang bisa dilakukan agar kasus Sampang tidak terulang adalah dengan memberikan pendidikan
HAM sejak dini. Tak perlu muluk-muluk
berteori, seorang guru harus mampu memberikan contoh nyata bagaimana menempatkan
HAM di dalam kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar