“Pernah kudengar orang kampung bilang : sebesar-besar ampun adalah yang diminta seorang anak dari ibunya, sebesar-besar dosa adalah dosa anak kepada ibunya" (Anak Semua Bangsa, h. 98)” ― Pramoedya Ananta Toer
“Gila!! Ini beneran kamu yang mau nikah?! Hellooo....kamu buang ke mana mimpi-mimpimu selama ini? Bukankah kamu ingin berkelana, menikmati masa mudamu dengan mengabdikan diri pada negara ini?! Katanya kamu mau buat ibumu bangga? Membuktikan kalau kamu itu bisa diandalkan! Mana!? Eh.... Stop! Kamu nggak hamil duluan kan?” tanya teman saat melihat nama saya tertulis di sebuah undangan pernikahan. Heran.
“Hush! Amit-amit. Saya masih punya Allah. Sudahlah! Kalau dengan menikah muda, ibu bisa lebih bahagia, saya tak apa. Persetan dengan mimpi-mimpi itu. Sudah saatnya saya membalas kasih sayangnya. Saya takut tak ada kesempatan lagi.” Kalimat yang terakhir terdengar lesu.
******
My Lovely Mom |
Sejak dua hari sebelum puasa, ibu sering murung. Tak jelas pula alasannya. Tapi dari gelagatnya, mungkin, uang-lah yang jadi api penyulut. Dagangan bapak memang lagi sepi. Gaji suami saya sudah 2 minggu tak ada kabar. Uang simpanan saya juga sudah habis untuk membayar asuransi kesehatan. Kalau sudah begini, rasa penyesalan selalu muncul dalam hati saya. Kenapa saya lebih memilih menikah muda?
“Para ibu selalu mempunyai tempat untuk menampung duka, lalu mengecupnya dan bangkit.” ― Helvy Tiana Rosa, Tanah Perempuan
Sebenarnya keinginan ibu simpel. Seperti perempuan lainnya, ibu pasti memiliki keinginan kebutuhan dapur bisa tercukupi apalagi menyambut bulan ramadan. Kasihan ibu, sudah cukup empat tahun saja lamanya ibu tak bisa merasakan kebahagiaan seutuhnya saat bulan ramadan tiba. Kenapa? Karena setiap bulan ramadan tiba, ibu harus menguras uang tabungannya untuk membiayai kuliah saya. Sekarang, saat saya sudah selesai kuliah?
Foto pernikahan saya dan suami |
Penyesalan saya semakin menjadi. Harusnya kan saya bisa ini, dan itu kalau saya tidak menikah muda. Seharusnya pula saat ramadan ini tiba, ibu bisa tenang tanpa mengkhawatirkan masalah materi lagi. Saya bisa memenuhi semua apa yang dibutuhkan ibu. Tapi apa?
Hati saya menciut. Kapan ya, Allah mengijinkan saya untuk membahagiakan ibu? Ibu yang sempat saya pertanyakan statusnya sebagai ibu kandung saya.
“Ibu, kenapa kalau Ika dapat peringkat pertama tidak pernah dapat hadiah? Tidak pernah pula dipuji sedangkan teman-teman yang lain? Ibunya selalu membanggakan anaknya meskipun dapat peringkat di bawah Ika. Lah Ika? Sebenarnya Ika ini anak ibu bukan sih?” saya masih ingat betul, kalimat seperti di atas saya ucapkan kepada ibu saat masih duduk di kelas 5 SD.
Sampai sekarang ibu tak pernah menjawab pertanyaan itu. Allah-lah yang menjawab semuanya. Lebih dari apa yang saya kira.
“Pada setiap napasnya bunda membuat matahari baru dalam jiwamu”
― Abdurahman Faiz, Nadya: Kisah dari Negeri yang Menggigil
Jawaban itu bermula dari peristiwa saat ibu menyeret saya pulang setelah menerima pengumuman kelulusan SMP dan SMA. Baru saya sadari hal itu dilakukan ibu demi menyelamatkan saya dari teman-teman yang melakukan hal-hal yang tak bermanfaat. Peristiwa saat ibu sakit selama tiga hari karena saya tidak diterima di PTN. Peristiwa saat ibu menangis di dalam kamar mandi kos saya karena melihat keadaan saya di kos. Saat ibu lebih memilih makan dengan lauk seadanya demi menambah jumlah uang saku kuliah saya. Kebiasaan ibu mengaku selalu sehat demi membuat saya tenang selama di rantau. Ketelatenan ibu setiap kali menyiapkan bekal untuk saya di saat orang lain sedang menikmati dengkur tidurnya. Dan saat ibu harus jauh-jauh ke kampus untuk menerima kenyataan bahwa anaknya bukanlah mahasiswa terbaik di antara mahasiswa yang diwisuda tahun lalu.
Ibu memang keras. Tampak cuek tapi sungguh hatinya selembut kapas-kapas yang beterbangan. Butuh waktu yang lama untuk saya bisa menyadarinya. Dibesarkan tanpa pujian ternyata membuat saya menjadi seseorang yang kuat atas cacian orang, membuat saya mandiri meskipun menjadi anak semata wayang. Dan membentuk diri ini tak kenal menyerah. Terima kasih, Bu.
Ya Allah, ijnkanlah saya membahagiakan Ibu.
******
Memasak adalah salah satu kegiatan terfavorit saya setelah menjadi istri orang. Apalagi kalau memasaknya bersama ibu. Sambil meracik bumbu atau sekedar membersihkan sayuran saya biasanya sering curhat ke ibu.
“Wah, Bu, kalau seandainya nih ya, setelah wisuda dulu Ika pergi ke luar Jawa, sekarang ibu pasti bahagia banget.” Perasaan menyesal muncul lagi.
“Kok bisa?” tanya ibu heran sambil mengaduk sayur bayam kesukaan bapak dan suami saya.
“Iya lah, kan Ika pasti uangnya banyak. Bisa beliin ibu kulkas baru, baju baru, bahkan kue lebaran yang enak-enak. Kebutuhan ibu juga akan terpenuhi. Nah, kalau sekarang? Ika sudah menikah sudah beda lagi.” celoteh saya sambil membersihkan piring saji untuk tempat lauk buka puasa.
Tak menjawab. Ibu keluar dari dapur. Tak lama ibu kembali. Selesai memberi makan ayam. Saya diam saja. Mau menyambung pembicaraan sebelumnya terlanjur kaku suasananya.
“Kalau seandainya kamu jadi ke luar Jawa, mungkin saat ini kamu tidak sedang memasak bersama ibu. Tolong ambilkan sendok!” jawaban ibu terpotong.
“Selama ini kamu bersedia mengantar ibu periksa ke dokter saat ibu sakit. Kamu memenuhi kebutuhan ibu tiap bulannya. Antar jemput ibu saat ibu ke pasar. Kamu mau ngerokin ibu saat punggung ibu sakit. Ngajak ibu piknik. Dan kamu mau membiayai asuransi kesehatan untuk ibu dan bapak saja sudah lebih dari cukup. Bahagia ibu itu kalau kamu ada di samping ibu. Karena hanya kamu harta ibu yang berharga.” suara ibu terdengar sedikit parau.
“Dan satu hal lagi, ibu sangaattt bahagia karena sebentar lagi kamu akan memberikan cucu untuk ibu dan bapak. Terima kasih...” mata ibu berkaca-kaca. Saya hanya diam. Tak tega tapi tak sanggup pula untuk memeluk ibu. Saya gengsi.
Pisang Penyet Cokelat Keju |
“Sudahlah, kalau kamu mau buat ibu bahagia lagi, tolong dong buatkan ibu pisang penyet cokelat keju. Kayak punya Renaaa...Hihihi.” pinta ibu seraya membuang rasa sendu di antara kami.
“Hehehe. Ok. Pakai keju kraft kan, Bu?” ibu mengangguk.
“Kebahagiaan kita tidak terletak pada harta, tidak pada penampilan diri, tidak juga pada gemerlap perhiasan dan keindahan dunia. Ukuran kebahagiaan terkait erat pada hati dan ruh manusia yang mendamba ridha Tuhannya.”- Hasan Al-Bana
Kalau dulu saat masih kecil saya sering bilang, “Ah, kalau anak-anak itu selalu salah dan orang tua itu selalu benar.” Ternyata, hal itu memang benar. Sampai sekarang pun, saat saya akan memiliki anak, saya masih selalu salah mengartikan kebahagiaan bagi ibu.
Ibu tak butuh uang sekoper. Ibu tak butuh emas berkilo-kilo. Ibu hanya butuh saya di sampingnya, menemaninya menghabiskan masa tua. Itu sudah cukup. Bahkan, kebahagiaan ibu bisa saya tebus dengan pisang penyet cokelat keju yang tak seberapa harganya. Benar saja, kebahagiaan itu tak bisa dibeli dengan harta.
huhuhu, saya terharu mba baca tulisannya..
BalasHapusHati seorang ibu itu seluas samudera ya..Kebahagiaan seorang ibu itu sederhana ya :')
Terima kasih Mbak. Saya selalu melow kalau harus menulis tentang ibu. Terima kasih sudah mampir.
HapusMari sayangi ibu :*
Terharu bacanya Mbak... Sampe bikin mataku berkaca-kaca :'))
BalasHapusDuuh kapan juga aku bisa ngebahagiain ibuku :'))
Jadi anak yang manis dan nurut orangtua juga bisa jadi langkah untuk membahagiakan orangtua lho dek. Semangat!
HapusIbu memang begitu....mumpung masih ada kesempatan berbakti pada Ibu, bahagiakan beliau mb Ika.
BalasHapusAamiin. Semoga diberi jalan Mbak.
HapusHiks, belum bisa membahagiakan ibu.
BalasHapusTetap Semangat mumpung masih ada kesempatan!
HapusBetul mba.. penyesalan saya yang gak ilang2 sampe sekarang adalah karena saya tidak bisa menemani ibu di akhir hayatnya. Saya saat itu di bogor, dan ibu di purworejo. :'(
BalasHapusTernyata simpel ya Mbak cara membahagiakan orangtua kita. Alhamdulillah masih diberi kesempatan untuk membahagiakan mereka.
HapusIkut senang dengan kedekatan Mbak dengan ibunya.. Seorang ibu adalah malaikat bagi anak2nya yg senantiasa mengasihi dan melindungi anak2nya...
BalasHapusTerima kasih Mbak, elus-elus perut. Semoga saya juga bisa dekat dengan anak saya nanti. Seperti saya dengan ibu,
HapusIbuke masih mudah ya mbak
BalasHapusjadi kangen nih ma ibuku di rumah hiks..hiks...nanti langsung tlp ah
BalasHapus