Assalamualaikum.
Sudah baca Cerita di Balik Pembuatan Kartu BPJS Kesehatan (1)? Alangkah lebih baiknya sebelum membaca postingan ini, baca dulu postingan tersebut. Kenapa? Ya, biar tahu ceritanya.
Di postingan sebelumnya saya ceritakan kekecewaan saya dan ibu saat mengurus kartu BPJS. Ya, akhirnya sekarang sudah menikmati layanan ini. Jadi, buat yang belum memiliki kartu BPJS buruan buat deh.
Kenapa? Masih ragu karena dengar banyak keluhan dan cerita buruk di luar sana tentang BPJS? Sebelum saya menjalani semua prosesnya sendiri, saya juga ragu. Dengar cerita ini dan itu tambah ragu. Kini setelah membuat sendiri, terjun di lapangan sendiri? Jawaban saya simpel, kalau nggak mau ribet ya patuhi peraturan!
Namanya juga layanan publik, pasti ada kurang ini dan itu. Asal masih bisa dimaklumi ya sah-sah saja kan ya. Nah, bagi Anda yang ingin mendaftar sebagai anggota BPJS bawalah persyaratannya secara lengkap (lihat di postingan Cerita di Balik Pembuatan Kartu BPJS Kesehatan (1)). Kalau tidak lengkap dijamin Anda bakal marah-marah.
Saya percaya, kalau kita memudahkan kerja orang, pekerjaan kita akan dimudahkan kembali. Seperti cerita ibu saya saat membuat kartu BPJS. Setelah ditolak mentah-mentah oleh petugas di hari pertama datang, ibu saya datang di hari kedua tanpa saya dengan catatan nanti saya akan menyusul. Ibu sengaja datang lebih awal, buka pintu bareng satpam, hihihi. Dan sudah sesuai perkiraan, karena syaratnya lengkap, prosesnya pun cepat dan sekitar satu jam kartu BPJS sudah hampir jadi tinggal proses pembayaran dan print kartu BPJS.
Karena letak ATM atau bank agak jauh dari kantor BPJS ibu sempat kesulitan mau membayar tagihan pertama. Untung saja ada laki-laki baik hati yang menawarkan boncengan motornya (ibu saya naik bus pas berangkat) untuk ibu. Laki-laki tersebut juga akan membayar tagihan pertama. Ibu saya bukan main senangnya. Tambah bahagianya lagi, laki-laki tersebut menunggu ibu sampai selesai membayar lho. Maklum, orang tua kalau sudah masuk bank suka gemeteran, apalagi ini membayar untuk 4 orang. Sedangkan, laki-laki tadi hanya membayar untuk 1 orang dan mau menunggu ibu sampai selesai.
***
Ibu termasuk tipe orang yang aktif berbicara. Bertemu saya langsung cerita ini dan itu. Menurut cerita ibu, laki-laki di atas sempat tanya-tanya ke ibu saat masih di bank.
“Lho Ibu berarti bayarnya Rp 250.000 lebih, Bu. Kan buat 4 orang?” tanya aki-laki tadi.
“Iya, Mas. Ini semua yang bayar anak saya.” Saya bayangin bagaimana ekspresi ibu saat mengutarakan kalimat ini.
Mendengar cerita ibu, kok ada yang aneh ya di hati saya. Berdesir. Haru. Apa saya yang berlebihan?
***
“Bentar ya, Bu. Istirahat dulu. Capek.” Saya menyelonjorkan kaki saya sambil melepas lelah (lumayan perjalanan 1 jam dari sekolah ke kantor BPJS *elus-elus perut), ibu melanjutkan ceritanya. Kali ini ganti topik, yaitu tukang parkir. Ternyata tukang parkir di depan kantor BPJS ini adalah tetangga desa kami. Hihihi...dunia itu memang sempit ya. Cerita sana-sini sampai ke obrolan yang membuat hati saya berdesir lagi. Kali ini dengan tukang parkir.
“Siapa yang buat kartu BPJS?” tanya tukang parkir saat pengunjung mulai sepi.
“Ya, buat 4. Aku, bojoku, anakku, bojone. Semua.” Jawab ibu.
“Wah, bayarnya berarti Rp 250.000 lebih?” tanya tukang parkir itu agak heran.
“Iya, tapi yang bayar kan anakku. Bukan aku. dan blaa...blaa....”
Entah kenapa, sumpah trenyuh banget. Ibu bukan tipe orang yang suka membanggakan saya di depan orang. Bahkan tidak pernah. Nah ini? Hanya karena uang Rp 60.000/bulan untuk membayar keanggotaan BPJS, tapi ibu membanggakan saya di mana-mana. Saat sampai rumah pun ibu juga membangga-banggakan saya di depan saudara dengan ceritanya di atas. Sungguh saya tak berharap akan demikian. Niatan saya hanya satu, meringankan saya dan suami jika suatu hari bapak atau ibu kenapa-kenapa. Ya, kan saya anak tunggal. Kepada siapa lagi mau minta bantuan?
Semoga ibu selalu bahagia. Kalau ibu bahagia, tiket rezeki saya pasti akan selalu lancar. Doakan saya dan suami selalu sehat ya Bu. Agar kami bisa membahagiakan bapak dan ibu.
proses cepet sih, tapi ngeliat yang antri segambreng, jadi capek sendiri lihat kerumunan orang :D
BalasHapusHooh mbak biasanya pada nimbrung di depan pintu yang lihat dari depan saja udah enek. Padahal yang di dalam cuma beberapa gelintir.
HapusBuat kartunya bisa. Tapi nyari rumah sakitnya yang kadang susah
BalasHapus