Assalamualaikum.
Dikejar Deadline Melahirkan. Apaan sih melahirkan kok bagaikan ikutan lomba blog?
Saya percaya kalau setiap ibu memiliki cerita tersendiri saat melahirkan sang buah hati. Entah itu melahirkan secara normal maupun operasi. Akan ada kenangan yang selalu teringat sampai kapan pun. Karena melahirkan adalah proses yang begitu menakjubkan.
Begitu pula dengan saya. Bersyukur sekali bisa melahirkan secara normal, akan tetapi ada cerita panjang sampai saya menyebut proses kelahiran Ghifa seperti dikejar deadline. Kok bisa?
Hari itu, sehari sebelum lahiran...
Wajah sendu dan penuh rasa iba muncul dari anggota keluarga saya. Terutama ibu. Dan itu membuat saya sedikit pesimis untuk mampu melahirkan secara normal.
“Sudahlah, Bu. Bukankah ibu yang mengajariku untuk kuat? Kenapa sekarang ibu malah menangis melihatku seperti ini?” saya menuntut ibu untuk tenang.
Sebenarnya saya juga ingin menangis. Tak kuat rasanya melihat ibu seperti itu. Tapi saya berusaha kuat. Sehari semalam harus bertahan di atas ranjang dalam posisi miring ke kanan. Makan dan minum harus di atas ranjang. Pipis atau pup nunggu tak ada kontraksi. Intinya tak boleh bergerak kalau ingin selamat.
“Dulu, saat kamu mau keluar ya keluar saja. Tapi kamu malah kayak gini.” Air mata ibu malah dleweran kemudian ia pergi meninggalkan saya sendiri di kamar. Ia tak kuat. Tak selang lama, nenek saya yang gantian masuk kamar. Menanyakan apa yang sebenarnya terjadi?
Air Kawah/Ketuban Mrembes
Bermula pada 10 September 2015, saat rakaat kedua sholat maghrib, baru mau mengaminkan surat al-fatihah yang dilantunkan suami, “Allahu akbar!!” saya berteriak sekuatnya. Kemudian terduduk. Suami langsung membatalkan sholatnya dan memastikan keadaan saya.
Ada cairan yang keluar. Saya kira itu pipis. Tapi kok keluarnya dari jalan yang beda.
Ibu sudah ada di depan pintu kamar saya. Menyarankan saya untuk periksa ke bidan. Saya menolak, ingin salat maghrib dulu. Saya pun mengambil air wudhu lagi. Sampai di kamar mandi kok cairan putih bening tadi keluar lagi. Makin banyak. Tapi kok tak berbau. Akhirnya saya meng-iyakan perintah ibu untuk periksa ke bidan setelah menunggu suami salat maghrib terlebih dahulu.
Setelah sampai di depan rumah bidan, “Waduh, bu bidan pasti pergi nih, Bi. Gimana dong?” keluh saya. Dari belakang kami datanglah Mbak Karomah, tetangga sekaligus asisten bu bidan saat menangani orang lahiran.
Menurut Mbak Karomah, bu bidan ada di rumah mertuanya, sedang ada persiapan berangkat haji. Kami disarankan untuk menelepon bu bidan saja. Akhirnya saya telepon deh. Tapi tak diangkat. Sembari pamitan dengan Mbak Karomah, saya kirim SMS ke bu bidan memberitahukan keadaan saya. SMS saya di balas. Lima belas menit kemudian saya sudah ada di rumah bu bidan lagi dan siap untuk diperiksa.
“Tidak papa. Sudah bukaan satu ini ya. Cairan itu hanya kawah mrembes. Untunglah sampeyan banyak minum air putih selama hamil. Jadi, air kawahnya banyak. Dan ini masih cukup sampai nanti lahiran. Saran saya, istirahat total. Jangan bangun-bangun dari tempat tidur ya. Tidurnya miring ke kanan. Kalau capek sesekali telentang tidak papa. Nanti kalau kepala bayi sudah semakin ke bawah (menutupi jalan keluar) air kawahnya akan berhenti sendiri.” terang bu bidan.
Kami pun pulang. Sampai rumah setelah bercerita ke ibu saya pun langsung berbaring. Apa yang saya rasakan saat itu? Bingung. Pada umumnya orang kalau mau lahiran diminta untuk jalan-jalan, lah saya?
Di dalam perut, Ghifa masih sangat aktif bergerak sana-sini. Tapi rasanya berbeda dengan gerakan aktifnya selama hamil (sebelum kawah mrembes). Saya hanya berdoa semoga saya tetap bisa melahirkan normal dan Ghifa bisa selamat. Ada perasaan takut, saya meminimalisirnya dengan berbagi kabar dengan sahabat saya yang ada di Lampung sana. Lumayan tenang hati saya.
Sejak periksa (sekitar pukul 19.00 WIB) tentunya muncul rasa ingin pipis. Nah, saat pipis, cairan kawah tadi masih keluar. Pas pup juga. Tapi mau bagaimana lagi, yang penting saat pipis dan pup kontraksinya tidak terlalu kuat.
Pagi hari, adakah perubahan? Saat pipis sih cairannya tidak keluar. Saya pun penasaran dan mengajak suami untuk kontrol ke bu bidan. Sudah ada perubahan belum? Eh, sampai di rumah bu bidan, pintunya tertutup lagi. Alamat deh! Lagi-lagi Mbak Karomah memberitahu kalau bu bidan mengantarkan ibunya ke Solo (bandara) untuk berangkat haji.
Kami pun lagi-lagi pulang dengan tangan kosong. Ibu menyarankan agar saya periksa ke bidan desa sebelah. Saya pun menyetujuinya. Berangkatlah saya. Apa yang saya dapatkan?
“Karena ini sudah mrembes kawahnya dan tidak ada peningkatan (bukaannya), saran saya, Mbak langsung rawat inap saja ke puskesmas. Nanti akan dievaluasi selama 4 jam. Kalau tidak ada perubahan mau tidak mau ya harus dikirim ke rumah sakit dan dioperasi.”
Lah dalah. Malah meden-medeni. Saya kembali ke rumah. Apakah saya langsung meng-iyakan saran bidan tersebut? Tidak. Saya punya keyakinan kalau saya ini masih baik-baik saja. Saya nekat untuk menunggu bidan saya saja sampai pulang dari bandara.
Selama menunggu itu, saya mengirim SMS ke bu bidan langganan saya tadi. Saya ceritakan apa yang saya rasakan. Semuanya. Jadi, serasa dipantau lewat SMS. Hehehe. Sampai akhirnya bedug isya pun terdengar saat saya berada di rumah bu bidan lagi.
“Bagus. Ini bukaanya udah mau dua. Dan air kawahnya pun sudah tidak keluar saat saya cek. Sekarang baru boleh jalan-jalan. Tapi kabar buruknya, semoga saja, Mbak bisa lahiran malam ini juga. Karena baru saja saya dapat SMS kalau besok pukul 08.00 saya harus berangkat ke Yogya untuk diklat.”
Duh dek..apa-apa-an ini?? Melahirkan kok seperti dikejar deadine! Saya mengelus perut. Berharap Ghifa keluar juga malam itu.
Sampai rumah, saya langsung jalan-jalan. Gerak cepat. Dikejar deadline melahirkan nih! Saya tidak mau kalau harus ke rumah sakit karena bu bidan terlanjur pergi. Nanti pasti akan mengeluarkan banyak biaya dan sangat merepotkan sana-sininya. Itu pikir saya.
Sambil komat-kamit membaca sholawat nabi saya masih terus jalan-jalan di dalam rumah. Bapak, ibu, dan suami yang melihat tingkah saya malah kasihan. Berulang kali meminta saya untuk istirahat. Saya kok dilawan. Masih jalan terus. Hanya berhenti saat minum atau nyemil buah.
Ibu juga buatin dua gelas susu hangat untuk saya. “Siapa tahu nanti langsung lahiran kan biar ada tenaganya.” kata ibu.
Sampai pukul 00.00 WIB, saya merasa sudah tidak kuat lagi untuk berjalan. Akan tetapi, saat dibuat rebahan pun makin nggak kuat. Lendir bercampur dengan darah merah pun semakin banyak. Saya meminta bapak dan ibu (suami kemana? Tidur, biar nanti kalau ada apa-apa bisa gantian, itu saran bapak) untuk mengantarkan saya ke tempat bu bidan. Dengan dibonceng motor, saya pun berangkat ke tempat bu bidan (duh, pas keluar rumah ada angin gedhe banget, ada pertanda apa ya? Apa saya akan melahirkan malam ini? Pikir saya saat itu)
Sampai di rumah bu bidan, diperiksa dan dinyatakan sudah bukaan empat. Saya pun disarankan untuk menetap saja. Wah, saya mau melahirkan nih. Pikir saya agak deg-degan.
Di ruang khusus bersalin, ada saya, ibu, bapak, dan suami yang baru saja datang. Tentu ada Mbak Karomah dan bu bidan juga. Apa yang saya lakukan? Masih jalan-jalan. Malah makin aktif. Ayo, saya harus semangat! Harus keluar malam ini juga! Semangat-semangat! Begitu saya menyemangati diri saya sendiri. Dikejar Deadline Melahirkan gitu lho!
Jalan-jalan, kontraksi, diam sejenak, ambil napas panjang, dan keluarkan lewat mulut. Begitu terus sampai membuat mereka yang menunggui saya heran.
“Biasanya ya Mbak, kalau sudah bukaan empat sudah pada nggak kuat jalan, sudah leyeh-leyeh di atas ranjang sambil teriak haduh haduh. Lah ini anak mu malah semangate pol pol-an?!” kata Mbak Karomah ke ibu yang diiyakan bu bidan.
Saya hanya senyum-senyum. Dalam benak saya hanya ada pikiran, “Pokoknya saya harus lahiran sekarang. Jangan sampai bu bidan pergi saya belum lahiran.” Begitu terus. Semangat-semangat!
Entah pukul berapa, kontraksi semakin kuat. Ada dorongan yang kuat dalam perut saya. Seperti mengedan sendiri. Inikah tanda-tanda mau lahiran? Lendir di paha saya pun semakin banyak hingga menimbulkan suara unik tiap kali saya berjalan.
Kecipak...kecipuk...kecipak...kecipuk
“Coba Mbak, rebahan dulu, saya cek.” Ternyata sudah bukaan delapan. Saya pun disarankan untuk rebahan saja dan berganti kostum mengenakan sarung. Tapi ya itu tadi kalau rebahan saya malah nggak kuat. Terpaksa, saya pun rebahan. Nah, sampai sini ada cerita lucu.
Sebagai suami siaga, ia berusaha untuk memijit punggung saya yang terasa sakit. Tapi apa tanggapan saya?
“Sudahlah! Nggak usah nyentuh-nyentuh! Nggak mijitin malah gelitikin!!” teriak saya.
Lain lagi yang ini!
“Abi kentut kan? Sana keluar! Ampuuunn....”
Entahlah, di detik-detik melahirkan saya justru marah-marah terus sama suami. Yang ada dalam ruangan tersebut malah pada heran sambil tertawa. Suami hanya menurut saja. Keluar. Ibu yang menemani saya.
Suami kembali masuk saat saya sudah tidak kuat lagi. Berkali-kali bu bidan meminta saya untuk tarik napas panjang dan menghembuskannya lewat mulut saat kontraksi hebat mulai menghampiri. Suami pun sudah siap duduk di ranjang tempat saya berbaring dan membopong kepala saya.
“Kamu kuat, Nduk! Kamu semangat kita makin semangat! Ayo...ayo...rambutnya sudah kelihatan ini. Pinter. Ayooo...lagi..lagi...” kata bu bidan menyemangati saya.
Perasaan daritadi kok rambutnya kelihatan mulu sih. Mana?? Kok nggak keluar-keluar. Begitu batin saya sambil mengedan kuat-kuat.
“Ini tebal sekali, harus nambah satu orang lagi.” Bu bidan seperti menelepon seseorang. Siapa? Tengah malam pula.
Tak lama suara mobil suami bu bidan keluar dan kembali membawa seorang perempuan. Ternyata bu bidan desa seberang. Setelah kedatangan bidan tersebut, rasanya proses persalinan saya begitu cepat.
Cekrik...cekrik...cekrik....
Saya mendengar ada bagian tubuh saya yang digunting. Tapi saya tak merasakan apa-apa. Ternyata bu bidan memperlebar jalan lahir untuk Ghifa. Setelah itu, saya hanya mengingat suami saya ikutan teriak, “Ayo...Mi...Ayo...Mi...” dan ibu yang mondar-mandir kebelet ke belakang.
Mengedan sekuat tenaga, kok nggak keluar-keluar ya Allah. Bismillah..bismillah...mengerang sekeras-kerasnya hingga saya hampir menyerah, “Nggak kuaatt...nggak kuaattt, Buk.”
“Kuat! Kudu kuat!” teriak bu bidan.
Saya berusaha mengalahkan rasa sakit itu. Mengedan lagi, dan tiba-tiba Ghifa seperti meloncat sendiri. Iya, akhirnya dia keluar dan menangis dengan kencangnya.
Alhamdulillah....plong banget rasanya. Saya masih sempat meraba perut saya, kok masih gendut? Hihihi. Ah, kecupan hangat suami di kening membuat saya sadar akan kenyataan, hihihi...
Ghifa masih menangis saat tubuhnya dibersihkan. Suaranya sangat jernih di telinga. Ya Allah, saya sudah punya anak. Akhirnya dia keluar juga. Pikiran saya melayang ke mana-mana.
Tak lama terdengar, “Heemm...Mbak, putu mu mipisin aku.” teriak bu bidan.
“Salam perkenalan tuh, Bu.” Jawab ibu. Semua yang ada di ruangan itu tertawa. Pun saya. Tertawa selega-leganya karena tak lagi dikejar deadline melahirkan.
Ini cerita melahirkan ala saya. Anda pun pasti memiliki cerita melahirkan yang tak terlupakan. Yang pasti Anda tak sendiri. Kita semua, perempuan, sangat beruntung karena bisa merasakan yang namanya melahirkan. Bagi Anda yang saat ini sedang menanti kelahiran sang jabang bayi, Anda tak sendiri, selalu berpikir positif itu penting!
setiap ibu punya cerita masing-masing setiap kali melahirkan buah hatinya yah mbak :)
BalasHapusrasanya selalu bahagia saat mengenang kelahiran anak-anaknya :)
Dan tulisan ini jadi kenangan saya suatu hari kelak dan sampai Ghifa bisa membaca tulisan emaknya ini.
Hapusalhamdulillah, sudah lahiran ya, mbak. selamat datang ke dunia dedek ghifa :)
BalasHapusdeadline melahirkan. senasib. persis kayak lahiran anak pertama n kedua. berakhir dg sc semua. suratan takdir :)
Mau normal ataupun sc yang penting semua selamat dan sehat ya Mbak.
HapusPertanyaan ibuku dulu juga sama, waktu aku dilahirkan dulu ya lahir aja. Mudah. Sementara anak2ku semua cesar. Yang penting sudah lahir, sehat. Selamat ya :)
BalasHapusIya Mak. Alhamdulilah. Semua anak punya jalan cerita tersendiri.
Hapusdeg2an juga baca ini,sambil ikut2an tarik nafas hahahaha...mbayangin aku besok hehe. alhamdulillah anak dan ibu selamat ya mbak, dan lancar meskipun dikejar deadline hehehe...
BalasHapusdoain aku ya mbak^^
Hai Mbak. Sholawatan selalau mbak. Semoga ancar sampai lahiran ya! Selalu semangat pokoknya!
HapusGhifa pengertian banget ya, bisa keluar sebelum deadline :)
BalasHapusSaya dulu dipaksa Caesar hari itu juga, bahkan nunggin suami pulang ambil perlengkapan aja ga bisa. Jadi harus beli jarik dari rumah sakit, karena harus segera masuk ruang operasi.
Setiap ibu punya cerita unik saat melahirkan ya Mbak :)
Alhamdulilah Ghifa tau banget kalau emaknya ini udah nggak sabar ketemu dia Mbak. hihihi.
HapusAduuh diguntiing, aku selalu takut digunting. Tp gpp deh ya mba, asal bayi kita lahir selamat. Kebayang jd dirimu mba, berkali2 dtg ke bidan tp bidannya ngga ada :D
BalasHapusSensasi tersendiri tuh Mbak tiap kali datang ke rumah bidan orangnya nggak ada.
Hapus