Assalamualaikum.
Tak terasa sudah hampir 6 tahun saya meninggalkan bangku SMA. Masa yang kata orang paling menyenangkan dan memorable. Saya pun mengakuinya. Apalagi masa-masa di kelas 12, saat perpisahan akan menghampiri setelah beberapa waktu bersama. Rasa ‘senasib seperjuangan’ seakan menjadi dasar ketidak-inginan kami untuk berpisah. Sayang, kami harus memperjuangkan dan melanjutkan mimpi kami.
Foto bersama dengan seragam kebanggan kelas kami |
“Erteee...ayo dong bikin acara buka bersama.”
“Erteeee....kapan halal bihalal bareng ke rumah guru-guru SMA?”
Dan permintaan-permintaan lainnya. Sayang, kini Erte tidak bisa se-fleksibel dulu. Setiap kali saya buat acara, saya bisa, si A bisa, eh si Z tidak bisa. Akhirnya gagal deh acaranya. Gagal ketemuan pula. Atau saat saya mengusulkan yang lainnya untuk mengkoordinir suatu acara, apa jawaban mereka?
“Ah, Bu Erte saja lah.”
“Aku mana bisa?”
“Kalau bukan Bu Erte yang handle, pasti ntar yang datang sedikit.”
“Bakalan gagal deh acara ini.”
Sampai sini sudah tahu siapa itu Bu Erte? Iya, saya lah Bu Erte. Dan saya merindukan sosok Bu Erte seperti zaman SMA dulu. Sosok yang galak, sok jadi leader, ‘rentenir’ (bendahara galak segalak rentenir) kelas, pengayom, tempat curhat, konsultasi masalah cinta dan apa-apa serba Bu Erte. *duh ketahuan sombongnya*
Ini semua gara-gara guru Sosiologi saya waktu kelas 10. Namanya Bu Ria. Orangnya putih, cantik, seperti Dian Sastro *uhuy*. Saat itu giliran saya mempresentasikan tugas tentang peran keluarga, terutama orang tua. Dasar saya orangnya kalau bicara menggebu-gebu, dikerjain deh sama beliau. Kira-kira seperti ini kejadiannya.
“Jadi, apapun yang terjadi keluarga adalah nomor satu!!! Apapun yang terjadi keluarga-lah yang akan menampung kita!! Kalian semua jangan sampai kurang ajar kepada mereka, orang tua, Kalian!”
Seketika Bu Ria berteriak, “Beri tepuk tangan untuk Bu Erteeeee!!!” teman-teman latah deh ikutan tepuk tangan. Tawa pecah seketika.
Semenjak itulah, panggilan Bu Erte melekat pada diri saya sampai sekarang. Hanya gara-gara saya presentasi kayak Bu Erte yang lagi ngisi acara arisan. Hahahaha. Dan bulan lalu, saat saya pergi ke bank, tiba-tiba ada yang teriak, “Bu Erteeeeee....!!” Pas saya menoleh, duh, ada perempuan putih, cantik, dan tingginya semampai turun dari mobil mewah. Dia teman satu organisasi saat SMA dulu. Dan yang dipanggil bukan nama asli saya, tapi Bu Erte. Atau jangan-jangan dia lupa nama asli saya?? Eh, saya juga merasa aneh sih kalau dipanggil dengan nama asli saya oleh teman SMA saya. Beneran!
Zaman SMA saya dulu, study tour itu sudah dijadwalkan saat kelas 11. Nah, muncul-lah suatu tradisi tersendiri dari kami (siswa) setiap hendak lulus akan ada piknik kelas sebagai perpisahan. Jadi, anggotanya ya misalnya kelas 12 IPA4 nanti dihandle sendiri dan mau ngajak wali kelas atau guru lainnya juga boleh. Nah, di sinilah peran terberat yang pernah Bu Erte alami.
Namanya Bu Erte, ya pentolannya. Saya ditunjuk menjadi ketua koordinator segala-galanya. Dulu, kami memutuskan kota Jogja sebagai kota tujuan kami dalam rangka perpisahan kelas. Di awal tahun saya sudah mengusulkan untuk membuat agenda tabungan wajib. Tabungan tersebut akan digunakan untuk biaya piknik itu tadi. Tinggal nanti kurangnya berapa, jadi tidak terlalu berat deh biayanya. Pun tidak menyusahkan orang tua.
Singkat cerita, di sisa-sisa hari kami di sekolah pasca UN, saya riwa-riwi mengurus tetek-bengek piknik ke Jogja itu. Misalnya, mencari agen bus, mengurus konsumsi, menyampaikan amanat teman-teman kepada guru yang hendak kami ikut sertakan saat piknik sampai meminta ijin ke pihak sekolah.
Ekspresi teman-teman layaknya orang kurang piknik. Hihihi |
Semua urusan tersebut kelar, muncul suatu masalah. Ada dua teman yang hendak tidak ikut karena tak ada biaya. Tabungannya pun tidak cukup untuk biaya piknik.
“Ini adalah perpisahan kita, bisa nggak bisa semuanya harus ikut. Kita harus cari solusinya.” Teriak saya di depan kelas.Nggak mungkin lah ya kalau saya harus merelakan ada teman yang tidak ikut piknik kala itu. Dan endingnya, ada teman yang memiliki rezeki lebih mau membayar kekurangan biaya dua teman tersebut. Di sinilah saya merasa terharu. Rasa-rasanya rasa kekeluargaan di antara kami menjadi menguat sesaat sebelum perpisahan itu terjadi.
Akhirnya hari H tiba. Pukul 06.00 WIB kami dan kru bus berkumpul di depan sekolah. Ada beberapa teman yang belum datang. Sambil mencari kabar dari teman yang belum datang, saya dikagetkan kabar yang tidak mengenakkan.
“Tee...masnya minta tambahan ongkos nih! Kalau nggak ntar nggak jadi berangkat. Gimana?”
“Apa-apaan ini???” saya emosi. Langsung menemui kru bus tersebut. Setelah kru basa-basi, saya langsung tendang mereka, “Sesuai kesepakatan kemarin, kalau segitu ya segitu! Kalau njenengan tidak mau, sini kembalikan uang kami. Kami tidak papa kok kalau nggak jadi ke Jogja! Enak banget ya, mentang-mentang kami ini anak-anak terus bisa gertak gitu saja??!”
Tak tahu ya kalau saya sudah dikode sama ibu saya soal ini. Beberapa kru bus akan meminta tambahan uang sebelum keberangkatan. Kalau saya memukul mundur gertakannya, saya bakalan yang menang. Saya kok dilawan. Hihihi. Akhirnya, kru bus tadi meminta maaf dan kami pun berangkat ke Jogja.
yang cowok nggak mau kalah dong, eksis terus! |
Melihat teman-teman senang, rasanya kok saya terharu. Tak percuma saya ngos-ngosan ngalor-ngidul mencari mereka saat jam kunjungan selesai. Mulut berbusa menelepon teman yang tak kunjung kembali ke bus. Ah, beginikah jadi emak-emak meraka, eh bukan, jadi koordinator mereka?
Tak terasa, saat tengah malam tiba, kami semua sudah di bus dalam perjalan kembali ke kota kami. Saya yang duduk di kursi belakang menyelonjorkan kaki yang terasa pegal. Ada rasa aneh di perut saya. Ah, bisa jadi maag saya kambuh karena tadi siang telat makan demi menggiring teman-teman untuk menuju ke obyek selanjutnya. Saya keluarkan minyak kayu putih dari plastik P3K yang sudah saya siapkan untuk teman-teman. Mengoleskannya secara perlahan berharap sakitnya sedikit berkurang.
Suasana di dalam bus mulai sunyi. Tak ada lagi suara Reza yang menyanyi dengan gitarnya. Televisi pun mulai dimatikan. Mungkin mereka kelelahan. Saya pun memutuskan untuk ikut memejamkan mata.
Saya rasa belum terlalu lama saya tidur, ada yang berteriak, “Erteeeeeee!!!!!!!!!!!!” Saya kaget dong. Ditambah lagi, di depan muka saya ternyata sudah ada kue lengkap dengan lilin yang apinya mobat-mabit.
Boboknya nyenyak banget... |
“Selamat ualang tahun Erteeeee.......!!!” mereka berteriak kompak. Saya malah masih bengong. Baru sadar betul saat teman-teman menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk saya. Ah, saya jadi meleleh, lupa kalau perut saya sedang sakit. Pelukan dan ciuman berhamburan ke arah saya. Saya malah jadi nangis beneran. Nggak nyangka kalau mereka mengingat hari ulang tahun saya.
“Erteeeee jangan nangis. Makasih ya sudah jadi emak kami selama ini.” Maria memeluk saya lagi.
Reza yang tadi menggenjreng gitarnya untuk mengiringi suasana di dalam bus malah berucap konyol, “Duh, Erteeee mulu yang dipeluk. Aku kan juga butuh pelukan.”
Seisi bus tertawa melihat tingkah Reza.
***
Saat saya selesai menuliskan postingan ini. Ada BBM masuk dari Maria.
“Erteeee...Sabtu depan kencan yuk!”
Akankah sampai kapan pun panggilan Bu Erte akan melekat untuk ? Atau saya usul ke suami untuk ikut pencalonan ketua RT saja di kampung saya? Biar beneran jadi Bu Erte gitu lho. Hihihi.
Inilah kenangan saya di masa SMA. Kalau Anda? Yuk, ceritakan juga dan ikutkan ke GA Nostalgia Putih-Abu. Siapa tahu hadiahnya nyantol untuk Anda?
Seru dan lucu ya...kalo ingat tingkah kita waktu SMA. Aku lulus SMA hampir 19 tahun yang lalu..hihi *wis tuwirrr... :D
BalasHapusAku ndak bilang tuwir lho mbak??? Hahaha
HapusTrus pak ertenya yang mana di antara cwo2 di atas ? ^_
BalasHapusKira2 yg paling cocok yg mana? Hahahaha
HapusGA nya Arina yaa, aku belum ikut niih, tak ngeling2 sik jaman semono aku ngapain aja hihihi.
BalasHapusIya mbak. Ayoooo ikutan juga. Banyaklah pasti cerita di jaman SMA.
HapusWaaaa keren sekali dirimu waktu SMA ya. Beruntung banget mereka punya erte, apa2 diurusin ya te :))
BalasHapusWeleh keren bgt apaan sih mbak. Hahaha. Demi mbak karena sudah dipercaya sama mereka. Eh tapi kesannya bukan babu mereka kan ya. Hahaha.
Hapusjadi kangen masa-masa SMA dulu ya mbak. btw mbak kalau klik link yg mana ya keluar gambar mercusuar?
BalasHapusPanggilan seperti itu biasanya melekat sampai kapanpun
BalasHapusKetika kami mengikuti short di Denhaag teman2 semua memanggil saya Pak Lurah karena saya ditunjuk menjadi Ketua Rombongan.
Kalau ketemu mereka pasti masih manggil Pak Lurah
Salam hangat dari Jombang, Bu Erte
Hehehe... saya baca ini sambil ngebayangin keseriusan mbak diyanika mempresentasi kayak ibu erte :-D
BalasHapusCiyee bu RT :-D
Sukses buat GAnya ya...
Salam kenal yaa...
kayaknya ini pertama kali saya main ke sini :-)
aku ngikik habis baca postingan satu ini..asyiiiknya ya neng kalo inget seseruan kumpul dengan temen2 SMA masa lalu
BalasHapusSemoga beneran jadi Bu Erte Mba... ^^
BalasHapusSeru ya Mba, masa SMA nya aku bacanya ngikik2 dan terharu juga
Btw terimakasih banyak sudah ikut GA ku :)