Ini pertama kalinya.
Tertohok banget.
Orang bijak berkata, “Mulutmu Harimaumu.” Kalau aku, “Tulisanmu, Harimaumu.” Kok bisa? Sini, duduk anteng, ambil cemilan dan nikmati ceritaku.
Beberapa hari yang lalu, aku menulis keluhanku tentang seorang kasir yang bertindak kasar dan jelas-jelas salah tapi tak mau minta maaf. Ku pikir, ya sudahlah, akan ku jadikan pelajaran. Makanya, sebagai pengingat, aku pun menulisnya di blog ini sekalian saling mengingatkan kepada yang lainnya.
Baca di sini ceritaku: Apa Susahnya Sih Bilang Maaf?
Tak tahunya, banyak juga respon dari pembaca. Baca satu per satu komentar yang masuk, kok seperti ada bisikan aneh dalam hatiku. “Yakin kamu sudah lebih baik dari kasir itu?”
Setelah itu, terlintas dalam pikiranku tentang tiga orang yang putus silaturahmi denganku karena suatu hal.
“Bukankah sebaik-baiknya manusia itu yang mau merendahkan hatinya?” begitu kutulis di akhir postinganku “Apa Susahnya Sih Bilang Maaf?” Aku seperti tertampar. Apa bedanya aku dengan kasir itu? Pikirku. Malu.
Siang itu juga, sebelum pulang sekolah, aku sudah bertekad untuk mengirimkan WA ke salah satu dari tiga orang yang ku maksud di atas. Aku sudah tak peduli entah aku atau dia yang salah. Aku hanya ingin silaturahmi kami terjalin lagi. Sudah hampir setahunan hubungan kami memburuk.
“Kamu itu orangnya nggak bisa kesenggol sedikitpun.” Begitu salah satu kalimat WAnya.
Ya Allah, rasanya aku jengkel banget lho di-cap seperti itu. Ingin rasanya membalas WA nya dan menyebutkan kejelekkannya pula. Padahal dia yang... Keluarganya saja kalau curhat tentang tabiatnya yang, ah.
Adzan dzuhur mengingatkanku akan tujuan awalku mengirim WA tadi. Ku tarik napas panjaaaaaaang banget. Sedikit lega. Kulanjutkan membalas WAnya.
Kubiarkan saja dia mengungkapkan isi hatinya. Masih bernada marah. Aku hanya bisa beristighfar dan meminta maaf. Terus seperti itu. Aku sangat berusaha mensukseskan tujuan awalku, meminta maaf.
“Biarlah. Mungkin selama ini dia memang merasa tersakiti olehku. Ya Allah, ampuni aku.” Batinku.
Sampai akhir isi WAnya, aku yakin dia masih marah dan tak mau berusaha memaafkanku. Tapi, ya sudahlah. Aku kan tidak mau mempermasalahkan siapa yang benar dan salah. Aku hanya ingin minta maaf dan silaturahmi kami terjalin lagi dengan baik.
Rasanya lega lho sudah minta maaf. Sekalipun yang kita mintai maaf mungkin belum ikhlas. Seperti meletakkan batu puluhan kilo yang selama ini kupikul. Tapi, sampai hari ini, ku tulis cerita ini, kami belum berkomunikasi lagi. Aku hanya melihat statusnya berseliweran di timeline Facebookku.
Kemudian, orang kedua yang kukirimi kalimat maafku ini jauh berbeda dengan orang pertama, beliau baik banget. Iya sih, beliau memang lebih dewasa dariku. Jadi, ya wajar saja kalau lebih bisa legowo. Alhamdulillah, sejak WA ku itu kami saling berkomunikasi lagi bahkan saling meminta bantuan seperti dulu. Pokoknya sudah biasa saja. Semoga beliau juga nggak ada ganjalan di hatinya, begitu juga denganku. Insya Allah.
Terakhir, dia adalah teman SDku yang pernah ku ceritakan di “Dia yang Asing Bagiku."
Hampir 7 tahun ini kami tak pernah berkomunikasi. Tetanggaan tapi kalau bertemu di jalan pura-pura nggak kenal. Bahkan dia sering kali melengos. Tapi, alhamdulillah, semua itu sudah berakhir.
Berawal dari inisiatifku untuk meminta kontaknya dari teman kami (teman SDku dan dia), aku pun mengirim SMS kepadanya. Tak ada balasan, aku mulai baper deh. Aku cek nomornya, ternyata ada nomor WAnya juga. Aku pun segera co-pas pesanku tadi. Aku deg-deg-an.
Tak lama kemudian, terlihat “mengetik…..”
Wah, dia membalasnya.
Singkat jawabnya, “Iya, Mbak, sama-sama. Maaf juga kalau aku ada salah.”
Eh, kemarin siang, saat aku membeli speaker, aku bertemu dengannya. Agak kikuk, tapi aku berusaha menyapanya karena aku yang duluan berada di sana. “Hai…!”
“Beli apa, Mbak?”
Kami pun mengobrol banyak. Ya Allah, ada rasa mak nyes gimana gitu dalam hatiku. Lama sekali kita nggak ngobrol sedekat dan seheboh ini. Akhirnya, aku pun pamit, dan berjanji kapan-kapan akan mampir ke kafe yang dikelolanya.
“Kapan-kapan ya, ntar aku ajak suami dan anakku.”
“Siap. Aku tunggu.”
***
Setiap kepingan hidup ini bak kolase. Saling terkait dan melengkapi. Kurang sekeping saja, rasanya hidup ini kurang greng ya. Sama halnya dengan apa yang ku alami. Kalau bukan karena cerita Mbak Kasir itu mungkin aku dan ketiga orang yang kuceritakan di atas tidak akan menjalin silaturahmi entah sampai kapan.
Terima kasih juga untuk Mbak Marita dan Mbak Dini yang sudah melempar tema tentang yang pertama. Ini kalau nggak ada arisan blog ini juga mana mungkin aku bisa say hello sama teman masa kecilku lagi.
Sekali lagi, aku mau bilang, meminta maaf terlebih dulu itu nggak akan pernah merendahkan diri kita. Justru dengan kata maaf, hubungan yang awalnya renggang bisa menjadi lebih hangat lagi. Yah, namanya juga manusia. Sekali dua kali cekcok kan ya wajar. Karena kita nggak akan bisa menyatukan kepala orang dengan kita.
Semua foto diunduh dari pixabay.com dan diedit seperlunya.
Semua foto diunduh dari pixabay.com dan diedit seperlunya.
Ah... mba diyanika jd mengingatkanku niih.. iya og emg kdg sulit ya minta maaf duluan. Hiks. *ngaku*
BalasHapusHem,, hatiku ikut maknyess juga baca ceritanya..
BalasHapusKadang dua orang yang saling cek-cok sadar akan kesalahan masing-masing, hanya saja ego besar yang bertahan membuat diri ini malu untuk meminta maaf duluan. Padahal meminta maaf dan mengakui kesalahan itu bisa bikin bebab berat dalam hati hilang, tetapi yah itu,,ego terlalu besar untuk mau minta maaf duluan.. Terima kasih mbak Ika sdh diingatkan bahwa meminta maaf duluan tidak membuat diri kita jadi lebih rendah ^_^ lam kenal
Alhamdulillah, lega bacanya. Emang ada saatnya semua harus kembali seperti semula
BalasHapusMeminta maaf dan memaafkan memang melegakan. Dan indah jadinya saat semua kembali seperti semula, bisa bercengkrama, ketawa dan banyak hal lainnya tanpa harus merasa kaku.
BalasHapusLega ya mbk rasanya,alhamdulillah silaturahmi terjalin kembali
BalasHapusAda rasa clekit-clekit gitu ya Mbak diyan๐
BalasHapusHingga bertahun tidak berteguran?
BalasHapusKok bisa? Xixixi...hidup mah woles aja Mbak, kalau orang lain bisa buat salah, apalagi diri kita sendiri?
Kalau saya selalu menanamkan hal ini di pikiran saya setiap kali merasa sakit hati...๐
Jadi ingat dulu pernah musuhin teman satu kos karena satu hal. Setelah sekian tahun baru berani minta maaf. Alhamdulillah dia mau menerima maaf saya
BalasHapusSeneng ya mbak tali silaturahmi yg putus bisa nyambung lagi
BalasHapusIya setuju sekali mbak Ika, jangan sampai kita memutus tali silaturrahim karena itu bisa menyendatkan langkah kita ke surga. Lebih baik meminta maaf duluan meskipun belum tentu kita yang salah. Dan meminta maaf itu perlu hati yang kuat loh, tidak semua orang sanggup karena kadang merasa dipihak yang benar :)
BalasHapusmeminta maaf itu memang berat, pun demikian dengan memberi maaf, sama beratnya..
BalasHapustapi insya Allah lebih tenang di kemudian hari.
saya juga masih punya beberapa PR untuk minta maaf dan memberi maaf kepada beberapa orang nih..
doakan semoga lancar!
Alhamdulillah, Ika, ikut lega dan tenang. Jadi sebenarnya tidak termakan tulisan sendiri, tapi tersadarkan. Syukurlah, karena Ika diberi kebeningan hati untuk bisa menyadarinya. dan Ika juga punya hati yang sangat besar untuk berani meminta maaf terlebih dulu. peluuk...
BalasHapustulisan tak ubahnya dengan omongan. kita harus berhati-hati dalam menulis agar nantinya tidak merugikan orang lain.. happy blogging :)
BalasHapusKata Ibuku," Jangan menyimpan duri dalam hati. Yang sakit kita sendiri. Sebuah kejadian itu semua memiliki nilai benar dan salah. Yang terlibat nggak ada yang benar tok, nggak ada yang salah tok. Semuanya mempunyai kadar yang sama. Buatlah sesuatu yang baik, sebelum kesempatan berbuat kebaikan itu hilang."
BalasHapusPesan itu diucapkan beberapa bulan sebelum meninggal. Dan itu nancep banget di aku kalau pas jengkel sama orang.
Alhamdulillah, Mbak Ika punya kebesaran hati sehingga mamppu mendahului meminta maaf. Barakallah
hihihi, akhirnya mba Diyanika :-D
BalasHapusplong melompong ya mba.