Oleh: Ika Hardiyan Aksari, S.Pd.
Guru Kelas 1 SDN 3 Ngroto
Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan
Kabar hoaks itu sebenarnya sudah ada sejak dahulu. Pun sangat dekat dengan kehidupan bermasyarakat. Penulis sebagai guru juga akrab dengan kabar hoaks. Misalnya, kabar hoaks yang pernah penulis terima awal tahun ajaran lalu. Ada wali murid yang melapor bahwa siswa di sekolah penulis tidak boleh mengenakan kerudung. Penulis kaget karena pernyataan tersebut tidak pernah ada. Kabar hoaks itupun dihubungkan dengan jumlah siswa baru di sekolah penulis yang tahun ini mengalami penurunan secara drastis. Tentu pertanyaan dari pihak guru muncul, apakah mungkin kabar hoaks itu beredar karena ada kepentingan pihak tertentu? Apakah pihak tersebut tidak menginginkan calon siswa baru mendaftar di sekolah tempat penulis bekerja? Akhirnya, aura kebencian pun muncul di antara guru di sekolah penulis dengan guru di sekolah sebelah. Padahal kabar tersebut belum jelas asal mula dan kebenarannya. Ini baru ranah sekolah dengan sekolah lainnya, kalau kabar hoaks itu untuk kepentingan ranah nasional atau internasional, bagaimana? Bukankah kebencian akan ada di mana-mana dan kelangsungan suatu negara jadi taruhannya?
Tentang Kata Hoaks di Indonesia
Hoax (dalam bahasa Inggris) adalah berita atau informasi palsu, berisi kebohongan yang mudah tersebar dengan cepat (Maryani, dkk, 2017: 31). Baik itu berupa ujaran kebencian, fitnah, hasutan atau kabar yang mengadu domba pihak satu dengan pihak lainnya.
Kini, kata hoax sudah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi V yang juga tersedia secara online semenjak Februari 2017 lalu. Bentuk katanya tidak berubah, hanya saja huruf “x” pada kata hoax berubah menjadi “ks”, sehingga tidak lagi hoax melainkan hoaks (Wahyu, 2017:1).
Menurut Sukamta yang penulis lansir dari www.jawapos.com (2017), awal mula fenomena hoaks beredar di Indonesia adalah saat ada pemilihan gubernur (Pilgub) tahun 2012 lalu. Ada oknum yang awalnya iseng-iseng menyebarkan kabar bohong justru dipercaya oleh masyarakat. Semenjak itulah kata hoaks semakin sering digunakan oleh masyarakat. Bahkan, siswa penulis yang baru kelas 1 SD sering mengucapkan kata hoaks. Meskipun, saat ditanya artinya apa, siswa tersebut hanya tersipu malu.
Bukankah hal itu membuktikan bahwa kabar hoaks kini sudah mendarah daging pada diri setiap orang dan tidak mengenal usia? Bagaimana, tidak? Di era perkembangan teknologi komunikasi, informasi, dan internet, kabar hoaks begitu cepat sekali beredar bahkan jumlahnya sangat melimpah (Maryani, dkk, 2017: 31). Tak heran, jika pengguna media online merasa kuwalahan. Sangat disayangkan, kebanyakan dari mereka langsung menyebarkan kembali informasi tersebut tanpa melakukan cek dan ricek terlebih dahulu.
Kabar Hoaks di Lingkungan Sekolah, Sosial Media, dan Dampak yang Ditimbulkan
Pagi itu (27 Oktober 2017), penulis melihat ada seorang ibu sedang mengejar Yoga, salah satu siswa penulis yang spesial. Karena merasa ada sesuatu yang tidak biasa, penulis segera menghampiri mereka. Ternyata ibu tersebut hendak memberi pelajaran (memukul) kepada Yoga agar tidak mengambil uang anaknya.
Penulis segera menanyakan alasan kenapa ibu itu memukul Yoga. Ternyata ibu tersebut termakan kabar hoaks dari anaknya sendiri. Karena ingin menyelamatkan diri dari aksi marah sang ibu, anaknya membuat kabar bohong dan mengkambing-hitamkan Yoga yang dulu dikenal suka mengambil uang temannya.
Siapa yang dirugikan? Jelas, Yoga. Di depan orang banyak dia diperlakukan dan dipermalukan oleh ibu tersebut. Hati anak mana yang tidak terlukai? Kehormatannya dirusak oleh kabar hoaks. Kejadian itu pasti tidak akan hilang dari ingatannya sampai kapanpun. Kalau saja ibu itu bertanya terlebih dahulu kepada penulis, sebagai wali muridnya, kejadiannya tidak akan seperti itu.
Selama 3 tahun menjadi guru, penulis sering menemui kasus seperti yang dialami Yoga. Misalnya, ada orang tua yang datang ke sekolah dengan marah-marah meminta anaknya untuk dipindah tempat duduknya. Karena menurut cerita anaknya, ada X yang selalu mengganggu saat pembelajaran berlangsung. Padahal anak tersebutlah yang sering menimbulkan keributan di kelas, bukan X.
Cerita lainnya, sebut saja K, dia selalu ingin unggul dibandingkan teman lainnya. Suatu hari, dia tiba-tiba mengadu kepada penulis kalau kertas ujiannya disobek I. Kalau penulis percaya begitu saja dengan K, pasti langsung memarahi I. Ternyata benar, setelah penulis telusuri, K memberikan kabar hoaks kepada penulis karena iri dengan I yang mendapat nilai ujian lebih bagus. Beruntunglah tidak ada korban dari kabar hoaks tersebut. Seandainya saja penulis langsung percaya, bagaimana perasaan I? Dia akan merasa didiskriminasi atas apa yang tidak dilakukannya. Kemungkinan terburuk, I akan merasa terkucilkan oleh teman-teman lainnya.
Berbeda lagi dengan cerita antar guru di sekolah. Penulis sering menjumpai guru yang beradu argumen setelah membaca kabar di grup WhatsApp. Misalnya, kabar hoaks terbaru yang beredar di WhatsApp saat ini berkaitan dengan registrasi sim card. Banyak beredar kabar, registrasi tersebut hanyalah akal-akalan pemerintah yang ingin meraup keuntungan 120 M dari biaya registrasi. Banyak dan cepat sekali broadcast tersebut beredar. Detik ini penulis dapat broadcast dari grup alumni SD, sedetik kemudian broadcast itu juga muncul di grup alumni SMA. Bermacam-macam tanggapan dari anggota grup pun bermunculan. Sedihnya adalah banyak yang mempercayai kabar hoaks tersebut tanpa berpikir ulang. Padahal kenyataannya registrasi sim card tidak dipungut biaya sepeserpun. Kalau sudah seperti itu, bukankah program pemerintah untuk melindungi masyarakat dari kejahatan cyber, seperti penipuan online shop, penipuan melalui SMS, mamah minta pulsa, dll justru akan terhambat (Hana, 2017: 1)? Banyak yang tak paham dengan tujuan pemerintah melakukan registrasi sim card ini. Akan tetapi, tidak berusaha mencari tahu malah memperburuk keadaan dengan ikut serta menyebarkan kabar hoaks tersebut. Semakin banyak masyarakat yang beranggapan bahwa pemerintah tidak lagi pro dengan rakyat. Bukankah ini tidak sesuai dengan negara kita yang demokratis?
Menurut Shafiq, kabar hoaks dibagi menjadi dua, yaitu kabar hoaks yang mudah diklarifikasi dan yang sulit diklarifikasi (republika.co.id, 2017). Seperti kasus Yoga, kasus X, dan K, yang pasti juga banyak ditemukan di sekolah-sekolah lain, merupakan salah satu contoh kabar hoaks yang mudah diklarifikasi. Untuk kabar hoaks yang ada di sosial media, karena begitu cepatnya kabar tersebut menyebar ke berbagai penjuru daerah, kabar hoaks ini bisa disebut sebagai kabar hoaks yang sulit diklarifikasi karena kaitannya dengan orang banyak dan kompleksitasnya.
Terlepas dari mudah dan sulitnya suatu kabar hoaks diklarifikasi, secara umum, dampak negatif dari adanya kabar hoaks akan memunculkan kepanikan, ketakutan, kebencian, kemunduran mental (seperti kasus Yoga), bahkan konflik antar warga yang bisa merusak keutuhah suatu kelompok atau negara.
Tak dipungkiri, banyak sekali informasi yang bersifat menghina, merendahkan, atau menjelek-jelekkan agama atau suku tertentu, apalagi yang juga terkait dengan isu politis sehingga mengakibatkann konflik di masyarakat (Maryani, Eni, dkk, 2017: 32). Sikap kewaspadaan dalam diri setiap orang harus selalu diterapkan. Karena kapanpun, di manapun, dan siapapun bisa menjadi korban atau pelaku penyebar kabar hoaks. Akan tetapi, masyarakat sekarang ini tidak bisa lepas dengan sosial media. Sebagai guru, penulis juga merasakan media sosial sangat bermanfaat untuk mengembangkan bahan ajar, membuat media pembelajaran, sampai urusan administrasi kelas ataupun lainnya. Oleh karena itu, pengguna sosial media dituntut memiliki kesadaran dan kompetensi lebih agar cerdas dalam memilah-milah kabar yang beredar.
3K (Kepo, Konfirmasi, dan Koreksi)
Adalah langkah sigap yang penulis lakukan untuk mengidentifikasi setiap kabar yang diterima. Baik itu kabar dari sosial media maupun kabar yang beredar secara konvensional atau dari mulut ke mulut.
Pertama, kepo. Kepo adalah akronim dari knowing every particular object yang artinya sebutan untuk orang yang serba ingin tahu dari detail sesuatu (Vaulin, 2014:1). Kata ini sering diartikan ke hal yang negatif. Akan tetapi, tidak ada salahnya jika digunakan untuk menyikapi kabar yang beredar. Setiap kali ada kabar yang masuk, munculkan sikap kepo. Kalau sudah muncul sikap kepo, kejar terus dan jangan berhenti kalau belum mendapatkan apa yang dicari. Jangan sampai saat ada kabar masuk justru cuek dan meng-klik share ke mana-mana!
Kedua, konfirmasi. Di KBBI online, konfirmasi memiliki arti penegasan, pengesahan, pembenaran. Bisa diartikan langkah yang kedua ini adalah proses mencari tahu dari mana kabar tersebut berasal, situsnya apa, siapa penulis/pembuat kabarnya, judulnya sesuai dengan isinya atau tidak, sesuai fakta atau tidak, dan wajib hukumnya harus membaca kabar tersebut sampai selesai.
Ketiga, koreksi. Setelah tahu suatu kabar itu hoaks, pengguna media sosial harusnya mau mengoreksi dan menunjukkan sanggahan dari isi kabar tersebut dengan sumber yang terpercaya. Tak banyak yang mau dan peduli melakukan langkah ini. Bahkan, seringkali muncul perlawanan argumen panjang yang berbuntut kebencian antar sesama. Langkah termudah dalam langkah ini adalah memberikan penjelasan se-akurat mungkin dan memutus mata rantai penyebaran kabar hoaks tersebut mulai dari diri sendiri.
Ketiga langkah di atas merupakan suatu bentuk kepedulian dan kepatuhan pengguna sosial media terhadap diri sendiri, lingkungan sekitar, dan juga hukum yang berlaku. Karena memberikan kabar hoaks di internet bisa terancam pidana pasal 310 dan 311 KUHP dan Undang-Undnag ITE (detik.com, 2017). Akan lebih baik apabila masyarakat juga mau memahami dan mempelajari bahwa literasi digital sangat dibutuhkan untuk menghadapi derasnya dunia digital. Lebih baik mengurangi beredarnya kabar hoaks dibandingkan menambah dampak buruk dari beredarnya kabar hoaks itu sendiri.
Peran Serta Guru dalam Mengedukasi Siswa, Keluarga, dan Kolega
Guru adalah panutan bagi setiap peserta didik (siswa). Guru adalah tenaga yang membentuk karakter anak bangsa ini (Gunawan, 2017 :141). Tak heran jika seringkali orang tua mengeluhkan bahwa anaknya lebih mau mendengarkan nasihat guru dibandingkan orangtuanya. Di dalam bermasyarakat, guru juga seorang panutan, baik bagi keluarga maupun kolega. Segala tingkah polah seorang guru menjadi sorotan semua mata.
Langkah nyata yang dapat dilakukan oleh guru baik untuk siswa maupun hidup bermasyarakat adalah dengan memberikan teladan selalu berkata jujur kepada siapa saja. Bagaimanapun keadaannya, kejujuran itu sangat penting. Tidak ada yang namanya berbohong demi kebaikan.
Setiap siswa melihat guru adalah seorang model. Kalau model panutannya saja berbohong, siswanya boleh juga berbohong. Begitulah pola pikir anak-anak. Tak lupa, guru juga selalu mengingatkan bahwa karakter yang baik adalah tujuan pendidikan yang sebenarnya. Siswa sekolah bukan semata-mata untuk mendapatkan ijazah kemudian selesai. Melainkan, mereka disiapkan untuk menghadapi kerasnya hidup, salah satunya saat menjumpai fenomena kabar hoaks. Guru juga berperan menjadi seorang pengawas apabila siswa di sekolah diizinkan untuk membawa HP. Sesekali diselipkan pengetahuan bagaimana mengidentifikasi suatu kabar dan bersikap saat menemui kabar hoaks agar tidak menjadi salah satu penyebar kabar hoaks.
Untuk keluarga dan kolega, guru tidak lupa selalu mengingatkan bagaimana mengindentifikasi kabar hoaks dan dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari beredarnya kabar hoaks bagi kelangsungan bermasyarakat dan bernegara. Hanya satu langkah, klik-share, tapi akibatnya dapat merugikan banyak orang.
Jadi, kabar hoaks itu sangat dekat dengan kita. Tidak mungkin kalau kita menghindari era digital ini. Karena mau tidak mau kita harus menikmatinya. Langkah paling tepat saat menemui kabar/pesan baru, segera identifikasi terlebih dahulu sebelum akhirnya memencet tombol share. Karena satu kali klik saja, bisa merusak keutuhan suatu bangsa. Mari, perangi kabar hoaks!
Referensi
Gunawan. 2017. Karena Pendidikan itu Sangat Penting. Jogjakarta: Diandra Kreatif.
Hana, Leyla. 2017. Registrasi Kartu Prabayar, Benarkah Peraturan Kemkominfo?. Diambil dari http://www.leylahana.com/2017/11/registrasi-kartu-prabayar-benarkah.html pada 10 November 2017 pukul 10.15 WIB
Maryani, Eni, dkk. 2017. Saatnya Kita Melek Media (Pengetahuan dan Rujukan Bagi Khalayak Media). Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika RI.
Shafiq. 2017. Begini Dampak Berita Hoax. Diambil dari http://m.republika.co.id/berita/trendtek/internet/17/04/11/oo7uxj359-begini-dampak-berita-hoax pada 4 November 2017 pukul 18.35 WIB
Sukamta. 2017. Sejarah Fenomena Berita Hoax di Indonesia. Diambil dari https://www.jawapos.com/read/2017/01/07/100597/sejarah-fenomena-berita-hoax-di-indonesia pada 3 November 2017 pada pukul 21.15 WIB
Vaulin. 2014. Kepo Itu Apa Sih Artinya? Nih Cek Arti Kata Kepo ya....??. Diambil dari https://www.kompasiana.com/hazzahrvaulin/kepo-itu-apa-sih-artinya-nih-cek-arti-kata-kepo-ya_54f993f5a3331191658b4a17 pada 8 November 2017 puku 19.46 WIB
Wahyu, Dimas. 2017. Kata "Hoaks" dan "Meme" Sudah Tercatat di Kamus Bahasa Indonesia. Diambil dari http://nasional.kompas.com/read/2017/02/28/13203281/kata.hoaks.dan.meme.sudah.tercatat.di.kamus.bahasa.indonesia pada 2 November 2017 pada pukul 10.00 WIB
Cara Cerdas Mencegah Penyebaran Hoax di Media Sosial. Diambil dari https://news.detik.com/advertorial-news-block/3716300/cara-cerdas-mencegah-penyebaran-hoax-di-media-sosial pada 9 November 2017 pukul 22.00 WIB.
#antihoax #marimas #pgrijateng
Padahal mudah ya kalau ada berita agak meragukan. Lakukan konfirmasi aja dulu, jangan langsung percaya apalagi share. Harus waspada alias kepo kalau-kalau itu bebrita bohong terutama yang berbau aneh.
BalasHapusIndonesia negeri besar, jangan sampai pecah karena hoax. Makasih share-nya Mbak Ika.
ini bagus banget ka, informatif... memang guru juga harus aktif melawan hoax. Tapi akan lebig efektif kalau guru bersama siswa ikut aktif melawan hoax agar generasi muda Indonesia bisa menjadi generasi cerdas berkarakter.
BalasHapusSekarang semakin ngeri mba dengan adanya internet kabar hoaks beredar secepat angin. Kita sebagai generasi yang peduli keberagaman harus tahu dan mencegah munculnya berita berita hoaks ya mba
BalasHapusKepo memang perlu untuk mengidentifikasi berita itu hoax atau tidak... Sangat inspiratif sekalinartikelnya. Goodluck ummi 😘
BalasHapusBacanya ho-aks apa hoks sih mbak yang bener?
BalasHapusBtw keren singkatannya, 3k (kepo, konfirmasi dan koreksi)
Kalo dalam bahasa indonesia jelas ho-aks, Mbak.
Hapussetuju banget, apa jadinya kalo guru ngga bisa bedain hoaks apa bukan? Sedih pastinya
BalasHapusAku nggak jadi ikutan iki. Sukses yaa mbaa
BalasHapusKebenaran berita yang meragukan memang harus segera diklarifikasi ya mbak, agar tidak meresahkan pembaca. Bila dibiarkan tentu akan merugikan banyak pihak. Artikelnya bermanfaat sekali ^^
BalasHapusKabar2 hoaks apalagi yang melibatkan kekerasan pada siswa tuh biasanya suka ditanggapin reaktif sama masyarakat. Artikel ini bagus mbak, supaya yang baca tu gak langsung "marah2" gtu, tapi lihat dan cermati dulu. APalagi sampai ikut nyebarin, bisa2 malah bikin tambah gaduh di masyarakat. TFS
BalasHapus3K ini penting. Ga asal percaya aja. Konfirmasi ke sumbernya, bukan copas grup sebelah
BalasHapusIya banget nih jangan latah langsung klik share button. Semua harud ditelusuri dulu kebenarannya
BalasHapusPeran guru memang sangat penting dalam menyikapi berita-berita yang banyak beredar dan belum tentu kebenarannya (hoaks. Setuju banget dengan langkah 3K ini.
BalasHapusterlebih di jaman sekarang ini ya, gampang banget untuk nyebar berita hoax.
BalasHapusbener banget kita harus koreksi terlebih dahulu kebenarannya.
Wah, saya ini nggak pernah sampai konfirmasi apalagi koreksi jika mendapat hoax. Sebab kepo saja tidak pernah. Share bahkan tidak suka. Karena jika suatu kabar bagi saya sudah terasa hoax, yang saya kepoin justru pengirimnya, dan pengirimnya langsung saya blokir.
BalasHapussetuju 3K-nya mbak. betul banget kalau seringkali guru lebih didengar daripada orang tua. jadi komunikasi guru-orang tua sangat sangat penting, terlebih dalam membendung berita hoaks.
BalasHapus