Tiba-tiba di depan rumahku ada angin yang berputar-putar sangat cepat. Semakin dekat. Daun yang masih ranum ikut tergulung di dalamnya. Hitam pekat. Semua yang ada di dalam rumah berlarian sambil berteriak meminta tolong. Itu badai. Tak tahu kenapa aku hanya melongo. Tertegun bagai patung.
"Mi...Mi...Mi...bangun...."
Ada yang menepuk pipiku.
Aku tersadar. Kaget. Badanku terasa kaku. Persis seperti dalam mimpi.
"Mimpi apa, Mi?" tanya abi. Aku hanya menggeleng sebisaku.
Lupa.
Paginya, saat aku menemani Kak Ghifa sarapan, tak sengaja aku mengingat semua mimpiku. Kuceritakan kepada Abi dan kusampaikan kekhawatiranku.
Kamu pernah mimpi melihat badai? Apa yang selanjutnya terjadi dalam hidupmu? Apakah ini sebuah firasat dari-Nya? Ada apa gerangan?
Batinku mimpi yang aku terima itu sedang menggambarkan apa yang kulalui seminggu belakangan.
Aku sedang disibukkan dengan penilaian KK 13 ditambah pemberkasan guru honorer yang kabarnya simpang siur. Hari ini minta berkas A, esoknya ganti lagi. Eh, malamnya minta tambahan berkas yang lain. Agak merepotkan. Bedundukan. Melelahkan.
Kupikir saat itu 'badainya' ya pemberkasan itu. Tapi apakah benar, badai itu seperti yang aku kira? Bukan.
Kak Ghifa Demam Tinggi
Aku masih ingat betul, hari itu Rabu, 29 November 2017, Kak Ghifa badannya mulai hangat. Meskipun begitu, dia masih sangat aktif berlari ke sana-ke mari, naik kursi makan, manjat kardus mainannya, sampai mainan saklar lampu ruang tengah.
Pacar Ummi baru loyo 😑 |
Kupikir dia hanya demam biasa. Aku sudah mewanti-wanti Abi untuk membeli baterai termometer. Sialnya, sampai malam tak kunjung dapat baterai baru juga.
Tepat pukul 23.30an, saat aku baru terlelap tidur, kudengar Kak Ghifa seperti ngigo, ngomong sendiri. Why? Mimpikah?
Kuletakkan tanganku di dahinya. Allahuakbar, badannya panas banget. Termometer, termometer, ah aku lupa. Bukannya termometer lagi mati?
Segera kubangunkan Abi, kuminta tolong untuk mengambil air kompres. Tapi sia-sia.
Saat aku berusaha memasangkan kain kompres di kening, tangan Kak Ghifa segera menangkisnya. Kutunggu sampai dia agak terlelap. Tapi sama. Dibuangnya juga. Ternyata dia masih sadar.
Aku jengkeeeeel banget. www.pixabay.com |
Jengkel? Banget lah. Apalagi waktu tengah malam yang harusnya aku tidur lelap malah harus ngurus anak yang demam. Padahal aku baru tidur sekitar 10 menit setelah lembur kerjaan sekolah. Besok pagi pun aku harus bergumul dengan tugas penilaian kurikulum 2013 yang harus segera kusetorkan ke panitia. Duh, hidupku dikejar-kejar deadline! Kenapa harus sakit sih, Kak?
Huuuuhh....kuhembuskan napas panjang. Sabar. Ini ujian. Saat tugas segambreng, anak malah sakit. Allah sedang mengujiku, seberapa kuatkah aku? Seberapa pedulinya aku kepada anakku? Inikah teguran karena beberapa hari belakangan aku menomorduakannya dari tugas sekolah? Sabaaaaar.
www.pixabay.com |
Kak Ghifa masih saja mengigau. Jam dinding rasanya lama sekali berputar. Mataku yang terasa kantuk harus kupaksa untuk terjaga. Sumpah, saat itu aku ngantuk banget. Mataku terasa sepat.
Sesekali kudapati Kak Ghifa terkaget, kupikir dia kejang. Taraf kepanikanku meningkat. Aku hanya bisa melaburkan parutan bawang merah dan telon. Tak ada obat penurun panas di kotak P3K. Kupikir di sana masih ada dus Tempra Syrup, pas aku cek ternyata isinya tinggal seuprit. Sial. Pikiranku makin kalut.
Huuuuhhh.....Sabar, sabar, sabar. Aku merasa makin nggak waras. Capek yang bertumpuk-tumpuk ditambah anak sakit, termometer mati, obat penurun panas zonk, wassalam. Ini bukan aku banget. Aku adalah miss perfect. Seharusnya semua sudah tersedia. Nggak boleh seperti ini.
Ah, ingin rasanya aku minggat saja. Aku tak mau menghadapi semua ini. Melelahkan.
Melihat Abi kembali tidur di saat aku harus menjaga Kakak, rasanya aku malah makin emosi. Merasa tak dibantu. Kok enak-enakan, bukannya anak berdua? Ingin rasanya marah-marah. Ya marah dengan suami, ya dengan keadaan. Tapi semua hanya kuungkapkan dalam diam. Merenungkan apa yang kupikirkan. Pikiranku kembali ke tugas sekolah, tugas sekolah. Ah, sudahlah. Bukankah daritadi Abi juga sudah banyak membantu? Kenapa tak tampak di mataku?
Aku berusaha menikmati kenyataan itu sambil mengganti kain kompresan Kakak. Kulupakan tugas-tugas sekolah. Dalam benakku saat itu, bagaimana cara agar panasnya turun? Ku-searching pula cara mengatasi kemungkinan terburuk kalau Kak Ghifa sampai kejang. Oiya, aku juga sempat tanya teman-teman blogger Semarang. Alhamdulillah, di saat genting seperti itu masih ada uluran tangan dari mereka yang masih pada on. Terima kasih, Teman-teman.
Ah, ingin rasanya aku minggat saja. Aku tak mau menghadapi semua ini. Melelahkan.
Melihat Abi kembali tidur di saat aku harus menjaga Kakak, rasanya aku malah makin emosi. Merasa tak dibantu. Kok enak-enakan, bukannya anak berdua? Ingin rasanya marah-marah. Ya marah dengan suami, ya dengan keadaan. Tapi semua hanya kuungkapkan dalam diam. Merenungkan apa yang kupikirkan. Pikiranku kembali ke tugas sekolah, tugas sekolah. Ah, sudahlah. Bukankah daritadi Abi juga sudah banyak membantu? Kenapa tak tampak di mataku?
Aku berusaha menikmati kenyataan itu sambil mengganti kain kompresan Kakak. Kulupakan tugas-tugas sekolah. Dalam benakku saat itu, bagaimana cara agar panasnya turun? Ku-searching pula cara mengatasi kemungkinan terburuk kalau Kak Ghifa sampai kejang. Oiya, aku juga sempat tanya teman-teman blogger Semarang. Alhamdulillah, di saat genting seperti itu masih ada uluran tangan dari mereka yang masih pada on. Terima kasih, Teman-teman.
Berkali-kali Kakak terkaget, tidur lagi, kaget, tidur lagi. Seperti itu terus. Hasil pencarianku di internet menjelaskan kalau hal itu terjadi karena suhu badannya yang terlalu panas. Itu merupakan proses penyesuaian tubuhnya terhadap suhu lingkungan. Semoga memang seperti itu.
Tak pikir panjang, aku tak tega melihat Kak Ghifa terkaget-kaget terus. Aku langsung telanjang dada. Skin to skin. Kata orang, itulah cara yang paling ampuh. Saat badan Kakak menempel di kulitku, Ya Allah, panasnya 😭😭.
Kubisikkan doa-doa pendek sebisaku sambil sesekali mengucapkan, "Kakak kuat. Kakak kuat. Ayo, dilawan sakitnya! Kakak kuat, Kakak bisa!" Kakak tetap memejamkan matanya.
Seketika aku ingin menangis. Ini baru pertama kalinya Kakak panas sampai segitunya. Sejam turun panasnya, tak lama panas tinggi lagi. Skin to skin lagi, turun panasnya, kembali tinggi lagi. Ngigo berulang-ulang.
Kubisikkan doa-doa pendek sebisaku sambil sesekali mengucapkan, "Kakak kuat. Kakak kuat. Ayo, dilawan sakitnya! Kakak kuat, Kakak bisa!" Kakak tetap memejamkan matanya.
Seketika aku ingin menangis. Ini baru pertama kalinya Kakak panas sampai segitunya. Sejam turun panasnya, tak lama panas tinggi lagi. Skin to skin lagi, turun panasnya, kembali tinggi lagi. Ngigo berulang-ulang.
Tak lupa, setiap kali Kakak terjaga langsung kutawarkan minum air putih. Awalnya dia menolak. Kuambil tabletnya, kuperlihatkan video saat dia di rawat di rumah sakit karena nggak bisa kentut.
Baca juga: Kau Tahu Sedetik Kemudian Apa yang Terjadi?
Baca juga: Kau Tahu Sedetik Kemudian Apa yang Terjadi?
"Kakak mau kayak gini (sambil nunjuk video)?"
Dengan setengah sadar Kakak melihat video itu dan membuang tabletnya.
"Kakak, ayo, mimik dikit nggak papa! Biar turun panasnya. Nanti kalau sampai disuntik kayak itu, bagaimana?"
Setengah kupaksa, Kakak akhirnya mau minum dengan pipet. Sekali minum 5 pipet. Lumayanlah. Aku takut banget dia dehidrasi. Soalnya dia sudah lemas banget, bibirnya pun terlihat pucat.
Periksa Ke Bidan Nyebelin
Kamis, setengah 6, kularikan Kakak ke bu bidan. Sampai sana kok ya bikin emosi lagi. Diketuk pintunya sampai 5 kali nggak dibuka-buka. Siapa coba yang nggak jengkel? Padahal jelas-jelas di dalam ada suara orang berbicara dan lampunya menyala.
Kami -aku dan abi- pantang menyerah. Mengetuk pintunya lagi dan lagi, sampai saat kita sudah memakai sandal untuk pulang, tiba-tiba suara kunci pintu diputar. Alhamdulillah.
Tak banyak komentar bu bidan saat memeriksa Kakak. Kemungkinan beliau jengkel sama kami. Ogah-ogahan gitu meriksanya. Hahahaha.
Pas sesi ngasih obat, lah dalah paracetamolnya habis. Kami harus beli sendiri di luar. Ini niat nggak sih, Bu? Hihihi. Sama saja bohong dong. Kami ke sini mau cari paracetamol malah habis juga.
"Penurun panas yang biasa dipakai di rumah apa, Mbak?" Tanya bu bidan.
Kujawab, "Tempra."
Bu bidan meracik obat batuk (demam disertai batuk berdahak) untuk Kak Ghifa dan kemudian menyarankan kami membeli paracetamol sendiri di apotek.
Sekitar pukul 06.00 lewat kami keluar dari rumah bu bidan. Kami segera meluncur ke rumah temanku yang punya apotek. Sampai sana jelas masih tutup. Kuketuk pintu rumahnya, dan alhamdulillah dengan sigap dia melayaniku.
"Kalau 3 hari nggak turun juga panasnya dilab ya, Ka." Nasihatnya. Ku-ulurkan uang 22 ribu untuk membayar Tempra Syrup.
Sesampainya di rumah, aku segera membuatkan bubur untuk Kak Ghifa. Baru setengah jalan Kakak sudah mulai rewel.
"Ummi...ummi...ummi...." tangisnya terdengar melemah. Hati ibu mana yang tak teriris?
Akhirnya, membuat bubur diambil alih oleh ibuku. Setelah matang, mau tak mau aku harus memaksa Kakak untuk makan. Dia meraung-raung.
"Bubuk...bubuk..." pintanya, lirih. Kakak seperti tak kuat menopang tubuhnya.
"Kakak harus makan, minum obat nanti bubuk lagi."
Apakah kemudian Kakak mau makan? Tidak.
Ciiiaaa...jurus ibu kejam harus kukeluarkan. Kupangku Kak Ghifa, kujejali sedikit demi sedikit. Dia menangis meraung-raung. Tapi lama-kelamaan Kakak mau makan sendiri. Lumayan dapat 7 sendok. Alhamdulillah.
Setelah itu Kakak minum obat. Hampir saja Kakak berontak. Tapi saat melihat botol Tempra Syrup, dia justru segera minta minum obat. Tak kupungkiri, Kakak memang lebih mudah minum obat setiap ada Tempra Syrup yang aman di lambung, tidak perlu dikocok saat mau minum (larut 100%), dan dosisnya yang tepat ini. Makanya aku selalu sedia Tempra Syrup di rumah. Selain itu, kemasannya juga beda dengan yang lainnya. Apa bedanya?
Pertama, tutupnya berlapis-lapis. Tutup botol setelah gelas ukur ini tidak mudah dibuka. Ada trik khususnya. Sebelum membuka baca aturannya di bagian dalam dus pembungkusnya. Ini membantuku mencegah Kakak main-main sama botol Tempra Syrup. Karena Kakak itu keponya maksimal. Apa-apa mau dibuka.
Kedua, setelah membuka tutup botol yang kedua, aku menemukan alumunium foil yang menutup mulut botol. Ini kali pertama aku menemukan ada botol obat yang kemasannya unik, banyak banget tahapnya dan rapat. PT Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk. ingin mempersembahkan obat yang memang aman kandungannya sampai di tangan konsumen.
Ketiga, ada gelas ukurnya langsung. Pernah menemukan sendok obat di dalam dus obat? Sekarang sudah mulai jarang ada lho. Karena Kakak sejak kecil alhamdulillah langganan sakit, aku punya beberapa sendok obat yang ukuran dan bentuknya berbeda. Ada yang bulat pepat, ada juga yang elips banget. Kan malah bingung, sendok dari obat A bisa nggak ya dipakai untuk obat lainnya. Meskipun sama-sama ada angka ukurnya. Kalau Tempra Syrup nggak lah. Setiap beli ya ada gelas ukurnya. Jadi, pas dosisnya. Nggak perlu pusing-pusing lagi cari sendok dulu.
Balik lagi tentang Kakak. Setelah minum obat, dia masih tak bisa tidur pulas. Padahal biasanya kalau habis minum 5 ml Tempra Syrup yang mengandung 160 mg paracetamol ini langsung turun panasnya.
Kakak masih terkaget-kaget. Setiap kali terbangun kutawarkan minum kepadanya. Tak sedikitpun aku pindah dari sisinya. Makan pun harus di sampingnya, pokoknya harus ada Ummi di sampingnya. Aku bergerak sedikit saja, dia langsung, "Ummi...ummi..." Sore hari aku baru bisa mandi. Tak apalah. Mungkin Kakak merasa lebih enakan sehingga bisa kutinggal.
Kamis malam, lagi-lagi aku begadang. Panas Kakak tinggi lagi seperti malam sebelumnya. Skin to skin, balur dengan parutan bawang merah, dan terakhir adalah kubasuh seluruh tubuhnya dengan air hangat.
Tengah malam dia menangis meraung-raung. Dia menolak untuk diganti bajunya. Padahal bajunya basah banget setelah kubasuh dengan air hangat. Aku sudah mati rasa. Tak kuhiraukan lagi tangisan Kakak. Semua demi kesembuhannya. Apalagi celoteh tetangga yang terganggu suara tangisan Kakak. Maaf.
Sampai Jumat malam, fix aku tak tidur. Kakak sudah mendingan. Panas badannya mulai turun. Kaget-kagetnya juga sudah tidak muncul lagi. Tapi aku tetap harus ada di sampingnya. Semua hanya Ummi, Ummi, dan Ummi. Abi pun tak laku. Ingin rasanya untuk melelapkan tubuh sebentar. Tapi tak bisa.
Sesekali saat Kakak tidur, kupegang tugas sekolahku. Rasanya aku tak sempat mikir untuk tidur lagi. Pikiranku hanya tugas, tugas, dan tugas. Mau tak mau aku harus tetap menyelesaikannya. Panitia sudah koar-koar untuk segera dikumpulkan paling lambat Senin.
Jangan tanya aku berangkat sekolah atau tidak! Jelas tidak. Hatiku sudah kumatikan. Aku di rumah untuk anakku, aku di sekolah untuk anak muridku. Tapi saat itu anakku lebih butuh aku. Tak kupedulikan lagi ocehan orang di luar sana tentang ke-absen-an ku di sekolah. Persetan untuk semua itu.
Sabtu pagi, badan Kakak sudah nggak demam lagi. Tinggal kepalanya saja. Tapi aku tak berani meninggalkannya ke sekolah. Sudahlah, Senin saja aku berangkat. Pikirku. Tapi apa yang terjadi?
Senin yang Membuka Kabar Baru
Sabtu-Minggu Kakak sudah ceria lagi. Minum obat tanpa dipaksa, makan dengan lahap, pun dia mulai pecicilan naik sana-sini. Tapi, Senin pagi saat aku bersiap untuk ke sekolah, Kakak terlihat lemas di atas kasur.
Mak deg.
Kepalanya menghangat lagi. Hanya di kepala.
Di saat aku harus mengumpulkan tugasku, kenapa Kakak malah drop lagi? Masih kurangkah Allah menguji kesabaranku? Tidakkah Allah mengijinkanku untuk meningkatkan kinerjaku juga? Bukankah ini juga untuk Kakak nantinya? Kalau prestasiku di dunia kerja bagus kan...
Ah, sudahlah. Lupakan tugas sekolah!
Kuganti baju seragamku dengan baju biasa. Aku sungguh-sungguh pasrah dengan apa yang akan terjadi kemudian.
Kuajak Abi untuk membawa Kakak ke klinik. Sampai klinik ternyata petugas laboratnya tidak datang. Sial. Kami pulang dengan tangan kosong. Rasanya kepalaku ingin meledak. Kenapa semua berjalan sangat-sangat tak mulus? Kenapa sangat amburadul? Aku jengkel banget. Aku merasa sepertinya kenyataan hidup sedang mengerjaiku. Tapi aku nggak bisa menyalahkan siapa-siapa.
Sore hari kami kembali ke klinik lagi. Walah, antre-nya panjang banget. Kutaksir Kakak pasti rewel banget. Benar.
"Pulang....pulang...." rengek Kakak berkali-kali. Semua mata pasien yang ada di sana menuju ke arahku. Menghakimiku. Bukannya membantuku membujuk Kakak, malah sebaliknya. Kalau boleh memilih aku juga ingin punya anak yang anteng, diam, tak banyak ulah seperti Kakak. Ya Allah...demi dilihat baik dengan orang aku seringkali lupa bersyukur. Egois sekali, bukan?
Sampai akhirnya giliran Kakak diambil darahnya. Luar biasanya, di saat sakit seperti itu Kakak masih sangat kuat melawan kami, berempat, saat diambil darahnya oleh petugas. You are strong, Kakak!
"Ini dr. Andrew baru ada operasi. Baru ke sini nanti lepas maghrib."
Oke, PR lagi nih. Jam dinding baru menunjukkan pukul 17.00. Paling tidak masih ada waktu 1 jam untuk bertemu dengan dokter anak. Tak mungkin kalau kami di sana terus. Kakak rewel banget. Akhirnya, kami memutuskan keluar dulu. Cari sesuatu untuk Kakak agar tenang.
"Naik otong (Naik odong)." Kakak menunjuk odong-odong yang ada di depan masjid. Oke, kami pun berhenti di sana sekalian nanti sholat maghrib baru kembali ke klinik.
Dengan wajah pucat nan sendu Kakak menikmati adzan maghrib di atas odong-odong. Sudah lama ya, Kakak nggak naik odong-odong? Ummi terlalu sibuk dengan pekerjaan.
Singkat cerita, kami pun masuk ke ruangan dr. Andrew. Dokter anak ini cukup kooperatif. Saat kutanyakan hasil lab Kakak, beliau hanya bilang, "Ini sudah lumayan tifusnya, sudah 320. Tapi tidak harus dirawat, asal Anda siap stok sabar yang banyak."
Mak plong hatiku. Jujur aku juga trauma kalau Kakak harus dirawat lagi di rumah sakit. Cukup sekali saja.
Kudengarkan betul apa yang disampaikan oleh dokter. Pantangan tak boleh makan coklat, permen, susu, makanan atau minuman yang asam-asam, makanan harus lembek, harus benar-benar aku perhitungkan kalau nggak mau berakibat fatal.
Aku sedikit lega karena sudah tahu sakitnya Kakak. Bahagia lagi saat aku dapat kabar kalau tugas-tugasku itu cukup dikirim lewat WA saja nggak masalah. Panitia memberikan toleransi kepadaku. Mak plong hatiku. Ya Allah, aku yakin semua akan berakhir dengan indah. Aku terharu.
Hampir 2 minggu aku merawat Kakak sakit. Benar kata dokter, stok sabarku harus panjang banget. Alhamdulillah semenjak pulang dari klinik Kakak sudah nggak demam lagi. Makannya pun makin lahap. Tapi pecicilannya bikin aku geleng-geleng.
Kesabaranku diuji Kakak lagi. Sepanjang hari Kakak inginnya main ke sana ke mari seperti anak lainnya yang sehat. Padahal dia sedang sakit tifus yang tidak boleh banyak gerak dulu. Nggak boleh capek-capek. Ditakutkan kalau banyak gerak malah pemulihannya makin lama.
Setiap malam, hatiku dag-dig-dug, kuraba dahinya. Ah, lega. Tak demam. Sampai-sampai Tempra Syrup selalu kutaruh di atas kepalaku saat tidur.
Sepanjang hari, kugendong ke mana saja Kakak mau pergi. Selama ini Kakak yang jarang bahkan tak pernah minta gendong harus sedikit dipaksa. Alhamdulillah, lama-lama Kakak paham kenapa aku selalu menggendongnya ke mana-mana.
Di sela-sela merawat Kakak sakit, kuingatkan pula kalau aku, Umminya, juga harus kembali ke sekolah. Ada anak-anak Ummi lainnya yang juga menunggu kehadiran Ummi.
Jawab Kakak, "Emoh (Nggak mau)."
Setelah lama di rumah, rasanya mau meninggalkan Kakak di rumah terasa berat sekali. Balik lagi, aku nggak boleh egois. Hidupku bukan hanya untuk Kakak, melainkan juga untuk masyarakat lainnya. Begitu juga sebaliknya.
Sampai saat penerimaan rapot kemarin di depan wali muridku, "Bapak Ibu, mohon doa agar keluarga saya selalu diberi kesehatan. Terutama ibu dan anak saya. Kalau mereka sakit rasanya dunia saya seakan runtuh. Saya tak bisa bekerja sepenuh hati untuk putra-putri, Bapak dan Ibu."
Terakhir, aku berpikir mungkin Allah memberikan sakit (lagi dan lagi) kepada Kakak karena Allah ingin aku belajar untuk mengurangi ke-egoisanku. Diberi-Nya Kakak sakit tifus yang benar-benar memaksaku untuk bersabar di atas levelku. Aku yang hampir 3 tahun memiliki anak memang tak tahu diri. Ku-agungkan egoisku, tak cerdas membagi hati, terlalu sering berat sebelah dan tak sadar mengorbankan salah satu pihak.
Maafkan Ummi, Kak. Beginilah Ummi. Begini cara Ummi mengekspresikan cinta Ummi kepadamu. Ummi tak tahu, adakah tempat di hatimu untuk Ummi?
Untuk ibu di luar sana yang sedang merawat buah hati yang sakit tifus, sabar, sabar, dan sabar. Ada beberapa tips yang ingin kubagikan,
Periksa Ke Bidan Nyebelin
Kamis, setengah 6, kularikan Kakak ke bu bidan. Sampai sana kok ya bikin emosi lagi. Diketuk pintunya sampai 5 kali nggak dibuka-buka. Siapa coba yang nggak jengkel? Padahal jelas-jelas di dalam ada suara orang berbicara dan lampunya menyala.
Kami -aku dan abi- pantang menyerah. Mengetuk pintunya lagi dan lagi, sampai saat kita sudah memakai sandal untuk pulang, tiba-tiba suara kunci pintu diputar. Alhamdulillah.
Tak banyak komentar bu bidan saat memeriksa Kakak. Kemungkinan beliau jengkel sama kami. Ogah-ogahan gitu meriksanya. Hahahaha.
Pas sesi ngasih obat, lah dalah paracetamolnya habis. Kami harus beli sendiri di luar. Ini niat nggak sih, Bu? Hihihi. Sama saja bohong dong. Kami ke sini mau cari paracetamol malah habis juga.
"Penurun panas yang biasa dipakai di rumah apa, Mbak?" Tanya bu bidan.
Kujawab, "Tempra."
Bu bidan meracik obat batuk (demam disertai batuk berdahak) untuk Kak Ghifa dan kemudian menyarankan kami membeli paracetamol sendiri di apotek.
Sekitar pukul 06.00 lewat kami keluar dari rumah bu bidan. Kami segera meluncur ke rumah temanku yang punya apotek. Sampai sana jelas masih tutup. Kuketuk pintu rumahnya, dan alhamdulillah dengan sigap dia melayaniku.
"Kalau 3 hari nggak turun juga panasnya dilab ya, Ka." Nasihatnya. Ku-ulurkan uang 22 ribu untuk membayar Tempra Syrup.
Sesampainya di rumah, aku segera membuatkan bubur untuk Kak Ghifa. Baru setengah jalan Kakak sudah mulai rewel.
"Ummi...ummi...ummi...." tangisnya terdengar melemah. Hati ibu mana yang tak teriris?
Akhirnya, membuat bubur diambil alih oleh ibuku. Setelah matang, mau tak mau aku harus memaksa Kakak untuk makan. Dia meraung-raung.
"Bubuk...bubuk..." pintanya, lirih. Kakak seperti tak kuat menopang tubuhnya.
Jagoan Ummi loyo banget |
"Kakak harus makan, minum obat nanti bubuk lagi."
Apakah kemudian Kakak mau makan? Tidak.
Ciiiaaa...jurus ibu kejam harus kukeluarkan. Kupangku Kak Ghifa, kujejali sedikit demi sedikit. Dia menangis meraung-raung. Tapi lama-kelamaan Kakak mau makan sendiri. Lumayan dapat 7 sendok. Alhamdulillah.
Tempra Syrup untuk usia 1-6 tahun. |
Pertama, tutupnya berlapis-lapis. Tutup botol setelah gelas ukur ini tidak mudah dibuka. Ada trik khususnya. Sebelum membuka baca aturannya di bagian dalam dus pembungkusnya. Ini membantuku mencegah Kakak main-main sama botol Tempra Syrup. Karena Kakak itu keponya maksimal. Apa-apa mau dibuka.
Tutup botol setelah gelas ukur. Sebelum buka ini baca petunjuk di bawah ini ya! |
Petunjuk membuka tutup botol. |
Ini tutup botol yang kedua |
Kedua, setelah membuka tutup botol yang kedua, aku menemukan alumunium foil yang menutup mulut botol. Ini kali pertama aku menemukan ada botol obat yang kemasannya unik, banyak banget tahapnya dan rapat. PT Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk. ingin mempersembahkan obat yang memang aman kandungannya sampai di tangan konsumen.
Lapisan alumunium foil yang sudah kusobek |
Ketiga, ada gelas ukurnya langsung. Pernah menemukan sendok obat di dalam dus obat? Sekarang sudah mulai jarang ada lho. Karena Kakak sejak kecil alhamdulillah langganan sakit, aku punya beberapa sendok obat yang ukuran dan bentuknya berbeda. Ada yang bulat pepat, ada juga yang elips banget. Kan malah bingung, sendok dari obat A bisa nggak ya dipakai untuk obat lainnya. Meskipun sama-sama ada angka ukurnya. Kalau Tempra Syrup nggak lah. Setiap beli ya ada gelas ukurnya. Jadi, pas dosisnya. Nggak perlu pusing-pusing lagi cari sendok dulu.
Takaran sesuaikan resep dari dokter atau aturan yang ada ya |
Balik lagi tentang Kakak. Setelah minum obat, dia masih tak bisa tidur pulas. Padahal biasanya kalau habis minum 5 ml Tempra Syrup yang mengandung 160 mg paracetamol ini langsung turun panasnya.
Kakak masih terkaget-kaget. Setiap kali terbangun kutawarkan minum kepadanya. Tak sedikitpun aku pindah dari sisinya. Makan pun harus di sampingnya, pokoknya harus ada Ummi di sampingnya. Aku bergerak sedikit saja, dia langsung, "Ummi...ummi..." Sore hari aku baru bisa mandi. Tak apalah. Mungkin Kakak merasa lebih enakan sehingga bisa kutinggal.
Kamis malam, lagi-lagi aku begadang. Panas Kakak tinggi lagi seperti malam sebelumnya. Skin to skin, balur dengan parutan bawang merah, dan terakhir adalah kubasuh seluruh tubuhnya dengan air hangat.
Tengah malam dia menangis meraung-raung. Dia menolak untuk diganti bajunya. Padahal bajunya basah banget setelah kubasuh dengan air hangat. Aku sudah mati rasa. Tak kuhiraukan lagi tangisan Kakak. Semua demi kesembuhannya. Apalagi celoteh tetangga yang terganggu suara tangisan Kakak. Maaf.
Sampai Jumat malam, fix aku tak tidur. Kakak sudah mendingan. Panas badannya mulai turun. Kaget-kagetnya juga sudah tidak muncul lagi. Tapi aku tetap harus ada di sampingnya. Semua hanya Ummi, Ummi, dan Ummi. Abi pun tak laku. Ingin rasanya untuk melelapkan tubuh sebentar. Tapi tak bisa.
Sesekali saat Kakak tidur, kupegang tugas sekolahku. Rasanya aku tak sempat mikir untuk tidur lagi. Pikiranku hanya tugas, tugas, dan tugas. Mau tak mau aku harus tetap menyelesaikannya. Panitia sudah koar-koar untuk segera dikumpulkan paling lambat Senin.
Jangan tanya aku berangkat sekolah atau tidak! Jelas tidak. Hatiku sudah kumatikan. Aku di rumah untuk anakku, aku di sekolah untuk anak muridku. Tapi saat itu anakku lebih butuh aku. Tak kupedulikan lagi ocehan orang di luar sana tentang ke-absen-an ku di sekolah. Persetan untuk semua itu.
Sabtu pagi, badan Kakak sudah nggak demam lagi. Tinggal kepalanya saja. Tapi aku tak berani meninggalkannya ke sekolah. Sudahlah, Senin saja aku berangkat. Pikirku. Tapi apa yang terjadi?
Ummi gagal fokus sama lubang hidungmu, Kak |
Senin yang Membuka Kabar Baru
Sabtu-Minggu Kakak sudah ceria lagi. Minum obat tanpa dipaksa, makan dengan lahap, pun dia mulai pecicilan naik sana-sini. Tapi, Senin pagi saat aku bersiap untuk ke sekolah, Kakak terlihat lemas di atas kasur.
Mak deg.
Kepalanya menghangat lagi. Hanya di kepala.
Di saat aku harus mengumpulkan tugasku, kenapa Kakak malah drop lagi? Masih kurangkah Allah menguji kesabaranku? Tidakkah Allah mengijinkanku untuk meningkatkan kinerjaku juga? Bukankah ini juga untuk Kakak nantinya? Kalau prestasiku di dunia kerja bagus kan...
Ah, sudahlah. Lupakan tugas sekolah!
Kuganti baju seragamku dengan baju biasa. Aku sungguh-sungguh pasrah dengan apa yang akan terjadi kemudian.
Kuajak Abi untuk membawa Kakak ke klinik. Sampai klinik ternyata petugas laboratnya tidak datang. Sial. Kami pulang dengan tangan kosong. Rasanya kepalaku ingin meledak. Kenapa semua berjalan sangat-sangat tak mulus? Kenapa sangat amburadul? Aku jengkel banget. Aku merasa sepertinya kenyataan hidup sedang mengerjaiku. Tapi aku nggak bisa menyalahkan siapa-siapa.
Sore hari kami kembali ke klinik lagi. Walah, antre-nya panjang banget. Kutaksir Kakak pasti rewel banget. Benar.
"Pulang....pulang...." rengek Kakak berkali-kali. Semua mata pasien yang ada di sana menuju ke arahku. Menghakimiku. Bukannya membantuku membujuk Kakak, malah sebaliknya. Kalau boleh memilih aku juga ingin punya anak yang anteng, diam, tak banyak ulah seperti Kakak. Ya Allah...demi dilihat baik dengan orang aku seringkali lupa bersyukur. Egois sekali, bukan?
Sampai akhirnya giliran Kakak diambil darahnya. Luar biasanya, di saat sakit seperti itu Kakak masih sangat kuat melawan kami, berempat, saat diambil darahnya oleh petugas. You are strong, Kakak!
"Ini dr. Andrew baru ada operasi. Baru ke sini nanti lepas maghrib."
Oke, PR lagi nih. Jam dinding baru menunjukkan pukul 17.00. Paling tidak masih ada waktu 1 jam untuk bertemu dengan dokter anak. Tak mungkin kalau kami di sana terus. Kakak rewel banget. Akhirnya, kami memutuskan keluar dulu. Cari sesuatu untuk Kakak agar tenang.
"Naik otong (Naik odong)." Kakak menunjuk odong-odong yang ada di depan masjid. Oke, kami pun berhenti di sana sekalian nanti sholat maghrib baru kembali ke klinik.
Dengan wajah pucat nan sendu Kakak menikmati adzan maghrib di atas odong-odong. Sudah lama ya, Kakak nggak naik odong-odong? Ummi terlalu sibuk dengan pekerjaan.
Singkat cerita, kami pun masuk ke ruangan dr. Andrew. Dokter anak ini cukup kooperatif. Saat kutanyakan hasil lab Kakak, beliau hanya bilang, "Ini sudah lumayan tifusnya, sudah 320. Tapi tidak harus dirawat, asal Anda siap stok sabar yang banyak."
Mak plong hatiku. Jujur aku juga trauma kalau Kakak harus dirawat lagi di rumah sakit. Cukup sekali saja.
Kudengarkan betul apa yang disampaikan oleh dokter. Pantangan tak boleh makan coklat, permen, susu, makanan atau minuman yang asam-asam, makanan harus lembek, harus benar-benar aku perhitungkan kalau nggak mau berakibat fatal.
Aku sedikit lega karena sudah tahu sakitnya Kakak. Bahagia lagi saat aku dapat kabar kalau tugas-tugasku itu cukup dikirim lewat WA saja nggak masalah. Panitia memberikan toleransi kepadaku. Mak plong hatiku. Ya Allah, aku yakin semua akan berakhir dengan indah. Aku terharu.
Hasil lab Kakak, tes widal. |
Kesabaranku diuji Kakak lagi. Sepanjang hari Kakak inginnya main ke sana ke mari seperti anak lainnya yang sehat. Padahal dia sedang sakit tifus yang tidak boleh banyak gerak dulu. Nggak boleh capek-capek. Ditakutkan kalau banyak gerak malah pemulihannya makin lama.
Setiap malam, hatiku dag-dig-dug, kuraba dahinya. Ah, lega. Tak demam. Sampai-sampai Tempra Syrup selalu kutaruh di atas kepalaku saat tidur.
Sepanjang hari, kugendong ke mana saja Kakak mau pergi. Selama ini Kakak yang jarang bahkan tak pernah minta gendong harus sedikit dipaksa. Alhamdulillah, lama-lama Kakak paham kenapa aku selalu menggendongnya ke mana-mana.
Di sela-sela merawat Kakak sakit, kuingatkan pula kalau aku, Umminya, juga harus kembali ke sekolah. Ada anak-anak Ummi lainnya yang juga menunggu kehadiran Ummi.
Jawab Kakak, "Emoh (Nggak mau)."
Sampai saat penerimaan rapot kemarin di depan wali muridku, "Bapak Ibu, mohon doa agar keluarga saya selalu diberi kesehatan. Terutama ibu dan anak saya. Kalau mereka sakit rasanya dunia saya seakan runtuh. Saya tak bisa bekerja sepenuh hati untuk putra-putri, Bapak dan Ibu."
Terakhir, aku berpikir mungkin Allah memberikan sakit (lagi dan lagi) kepada Kakak karena Allah ingin aku belajar untuk mengurangi ke-egoisanku. Diberi-Nya Kakak sakit tifus yang benar-benar memaksaku untuk bersabar di atas levelku. Aku yang hampir 3 tahun memiliki anak memang tak tahu diri. Ku-agungkan egoisku, tak cerdas membagi hati, terlalu sering berat sebelah dan tak sadar mengorbankan salah satu pihak.
Maafkan Ummi, Kak. Beginilah Ummi. Begini cara Ummi mengekspresikan cinta Ummi kepadamu. Ummi tak tahu, adakah tempat di hatimu untuk Ummi?
Untuk ibu di luar sana yang sedang merawat buah hati yang sakit tifus, sabar, sabar, dan sabar. Ada beberapa tips yang ingin kubagikan,
- Siap sedia termometer dan paracetamol seperti Tempra Syrup di rumah.
- Saat demam tinggi usahakan jangan sampai kejang. Caranya bisa dengan memberikan paracetamol, labur dengan campuran minyak telon dan parutan bawang merah, skin to skin, masih nggak mempan? Basuh tubuhnya dengan air hangat.
- Pakaikan baju yang tipis, nyaman, dan jangan pakai selimut.
- Tetap berikan minum air putih/ASI bagi yang masih ASI. Sesering mungkin. Pokoknya sedikit demi sedikit tapi sering. Kalau muntah, tunggu 15 menit baru beri minum lagi.
- Meskipun tidak tifus beri makanan yang bergizi. Buatkan makanan yang halus/lembek. Saat Kak Ghifa sakit aku buatkan bubur dan aku selingi dengan bubur bayi yang bisa dibeli di toko-toko terdekat. Biar nggak bosen. Sediakan cemilan yang mudah dicerna pula.
- Tak mau makan, keluarkan jurus kejam. Jangan mau kalah sama anak kecil. Hihi.
- Jangan terlalu banyak gerak dan capek-capek terlebih dahulu. Seringnya kalau tifus, panas akan muncul lagi saat malam hari.
- Setelah sembuh hindari penyebab sakit tifus. Tiap orang beda-beda penyebabnya. Kalau Kakak kupikir karena pas lagi nggak fit malah kecentok makan mie instan. Ada juga yang karena kecapekan, dsb.
Artikel ini diikutsertakan dalam lomba blog yang diselenggarakan oleh Blogger Perempuan Network dan Tempra.
Selamat Tahun Baruuu.. Semoga sehat-sehat terus yaaa.. Selama ada Bunda dan Tempra, tidak perlu panik saat anak demam.
BalasHapusSelamat tahun baru juga, Mbak.
HapusHihi...panik tetap ada, Mbak. Akan tetapi jangan terlalu panik. Karena kalau panik malah nanti bingung mau ngapa2in.
Syafakallah ya, Ghifa :D
BalasHapusIh Bu Bidan nya nyebelin ya Mbak, wkwkwk. Tapi mungkin dia gak fit jugak makannya ogah-ogahan gitu 😅
Insya Allah sehat walafiat, Mbak, Bu Bidannya. Memang terkenal seperti itu, mbak, susah dicari. Makanya kita nggak langsung pergi saat itu.
HapusHwaaa... aku sudah berulangkali ngalamin ini mba. Dhaff punya riwayat tipus dr umur 7 bulan. Sempat sampai opname di hermina. Syediih banget. Hhhh. Untung ada tempra ya. Membantu bgt untuk menurunkan panas anak. Sehat sehat terus ya kak Ghifa. Sperti kata mamamu. Kamu pasti kuat dan bs melawan virusnya... 😙😙😙
BalasHapusHiks. PRku nih, mbak, semoga tidak terulang lagi. Merawat anak yang kena tifus itu melelahkan.
HapusTempra bagus untuk demam si kecil
BalasHapusIya, Mbak. Karena dosisnya juga pas.
HapusAlhamdulillah ketemu obat yang pas ya mbak. Abhi juga kalo panas bikin was was. Tanduk emaknya keluar kalo anak gak ditangani dengan baik
BalasHapusIya, Mbak. Ketemu dokter yang kooperatif pula. Jadi penyembuhannya pas dan tepat.
HapusWah seru banget ceritanya hehehe...
BalasHapusSemoga sehat selalu ya kakak...
Anak saya pun kalau demam sedia selalu Tempra :)
Aamiin, makasih ya, Mbak. Sehat selalu juga untuk buah hati Mbak Okti.
HapusKakak...sakit masih sempat naik odong-odong. Ga apa-apa deh supaya tenang. Bosen kan nunggu lama di klinik. Sehat ya kak.
BalasHapusAku merasa terselamatkan Mbak dengan adanya odong2. Kalau nggak aku bisa mati kuti.
HapusDrama sekali mbak,,, Smoga ada banyak plajaran yg bisa diambil ya mbak, keep smangat di tahun baru, Mbak,, dan Kak Ghifa bisa tambah ceria lagi beraktifitasnya
BalasHapusAlhamdulillah nemukan Tempra utk demamnya Kak Ghifa 🙏🙏🙏👼
Kakak emang gitu mbak, kalo sakit hidupku penuh drama. Apalagi Kakak termasuk anak yg jarang menangis. Sekalinya sakit nangis mulu. Hati ibu mana yang nggak nggrantes kalo orang Jawa bilang.
Hapussehat terus ya kak ghifa
BalasHapusTerima kasih, Budhe.
HapusKalau si kecil lagi sakit ini memang bawaannya jadi kepikiran terus ya mbak. Semoga sehat selalu...
BalasHapusIya mbak. Mau apa2 jadi serba dinomorduakan. Anak nomor 1.
Hapusiya, mba ika. skin to skin itu bisa bikin anak nyaman dan demamnya bisa turun. paling nggak dia jadi berkeringat gitu. kalau belum mendingan baru dikasih obat.
BalasHapusSeringnya ibu2 panik macam aku ini lebih menomorsatukan obat, mbak. Tapi sejak kejadian kemarin langsung deh paham kalo skin to skin emang sangat manjur.
HapusSedih banget pastinya kalau anak sakit. Kalau saya sampai udah males ngerjain apa2 mbak :(
BalasHapusSemoga sehat2 selalu yaaaa gak pernah masuk RS lagi :)
Ingin rasanya hanya ngelonin anak Mbak pas dia sakit. Tapi apa daya. Ada tanggungjawab yang harus aku selesaikan juga.
HapusMbaa kalo panas sampe kaget2 gitu, aku khawatir kejang/step. Hiks. Anakku yf pertama gitu soalnya. Smoga Ghifa ngga smpe step ya. Jangan pokoknyaa. Sehat twrus yaa
BalasHapusInsya Allah bukan step, mbak. Soalnya kagetnya hanya sepersekian detik saja. Aamiin. Terima kasih ya, mbak.
HapusAku ngerasain pas anak sakit, kita jadi sakitt banget. Rasa-rasanya nangis melulu dan jadi stres ya mba. Untung ada Tempra ya mbaaa
BalasHapusJustru aku tipe ibu yang tidak bisa langsung menangis, Mbak. Selalu berusaha bertahan kalau bisa jangan nangis di depan anakku. Karena aku takut dia malah sedih dan semangat buat sembuhnya malah kendor.
HapusKalau anak sakit emang selalu bikin bunda nya panik ya... Aku juga srlalu sedia tempra dirumah soalnya emang terbukti efektif menurunkan panas dan aman di lambung anak...
BalasHapusIya Mbak, apalagi rasa anggur anakku suka banget. Kalau minum Tempra jadi nggak pakai drama.
HapusSehat-sehat selalu untuk si kecil dan keluarga. Kadang dalam posisi seperti itu aku bisa lebih panik lagi. Tapi memang perlu dipersiapkan seperti obat dan alat-alat supaya bisa meredam kepanikan.
BalasHapusAamiin. Terima kasih, Mbak.
HapusIya nih aku kapok deh sama kejadian termometer yg baterainya habis itu.
Anak demam tinggi memang selalu bikin deg-degan, ngerinya bisa bikin kejang. Alhamdulillah dede bisa reda demamnya ya, memang hrs siap Tempra di rumah
BalasHapusJangan sampai kejang deh, Mbak. Amit2 pokoknya.
HapusDuuh kalau anak sakit mah hati ikut gak tenang. sama kaya saya mba, bentar-bentar ngecek suhunya. Sehat-sehat terus ya kak.
BalasHapusAbis baca postingan teman-teman blogger tentang tempra, ketika anak saya kena batuk pilek, saya bermaksud beli tempra untuk bapil. Sekalinya tempra khusus menurunkan demam aja hehe, saya kira ada varian produk untuk gejala lain.
BalasHapushuhuhu aku pernah ngalamin mba waktu usia za 11 bulan dia abis dari RS jenguk dede bayi pas mau pulang tiba2 muntah2 sampai rumah udh gtu panas tinggi banget rasany campur aduk mba sedih.kesel,dan bingung.
BalasHapusaku juga selalu sedia tempra dirumah dan pas bgt habis saat za sakit.
seharian panas tinggi pas hari ke 2 dibawa kedokter dia pup mencret pas kedokter katanya za diare alhamdulilahnya gk harus tes lab karna pas hari ke 3 demam berangsur turun tapi pupnya masih mencret :(
duh nggak tau aku harus apa padahal dipikir2 kita udah ngasih asupan yang baik ko masih bisa sakit :(
allohualam...kuasa ALLAH tidak ada yang tau mba. Namun alhamdulilah banyak hikmah dari setiap kejadian yang dialami,setelah usia 1 tahun dan sakit kemarin za jadi jarang sakit sekarang :)
Setau saya produk yg dikemas dg alumunium foil itu benar2 terjaga kualitasnya. Sama seperti skincare, saya sebisa mungkin cari yg ada lapisan alumunium foil karena itu berarti dia tidak ada kandungan merkuri. Thx untuk sharingnya ya mba
BalasHapusMasa - masa yang takkan terlupa ya mbak, kalau saya berusaha untuk selalu sedia obat herbal untuk anak-anak, saat belum mendapatkan kesempatan pergi ke dokter ramuan kunyit plus madu bagus untuk pendamping saat anak panas, didalamnya juga ada antibiotik alami dari kunyit, sehingga bagus untu antisipasi gejala lain saat anak demam.
BalasHapusTapi memang transfer panas skin-to skin selain membantu menurunkan panas juga dapat meningkatkan bounding anak dengan ortunya. Biasanya sih sang ayah yang peluk anak dengan bertelanjang dada, bahkan saat panasnya tinggi sang ayah ikut berendam di dalam bathup sama anak :) .
Semoga Allah Melindungi putra-putri kita , sehat- sehat terus ya dek....., Aamiin.