Sudah baca 15 fakta mencengangkan tentang rokok yang tidak banyak orang ketahui? Coba mampir sejenak agar lebih paham apa yang akan kusampaikan berikut.
Adakah yang sebelas bulan terakhir bekerja menggebu-gebu demi menyambut bulan puasa? Aku sedang menerapkan kebiasaan tersebut tahun ini. Walau rasanya begitu tertatih-tatih, tapi semua demi bulan puasa yang lebih bermakna. Aku ingin bulan puasa ini benar-benar fokus dengan ibadah dan ibadah.
Sebenarnya keinginanku itu berawal dari cerita sedihku di bulan puasa yang sudah lalu. Kenapa? Aku sering tak konsentrasi beribadah karena dikejar-kejar kebutuhan materi. Maaf, imanku memang cetek banget.
Jujur saja, aku selalu kepikiran, bagaimana ya uang untuk orang tua dan mertua, mikir parsel, belum lagi kalau Kakak ingin beli baju, sampai soal uang tempel untuk saudara?
Bagiku yang seorang ibu rumah tangga, semua pengeluaran di atas butuh dana yang ekstra. Kalau nggak, sumpah, ibadah rasanya hanya jumpalitan. Apalagi soal parselan untuk kedua orang tua. Ini nih yang paling kusoroti.
Sebenarnya ya nggak wajib sih, tapi namanya tradisi, pun tak setiap hari bagi-bagi parsel, kan? Makanya ku-upayakan untuk memberikan parsel yang benar-benar bermanfaat dan tidak membawa mudarat. Seperti contohnya tidak lagi memasukkan rokok dalam list isian parsel.
Dulu, pertama kali ngasih parsel, wajib hukumnya memasukkan rokok satu slof (isi sepuluh bungkus) dalam parsel. Bayangkan satu slof rokok itu bisa sampai seratus ribu lebih, kalau untuk bapakku dan bapak mertua berarti sudah memakan dana dua ratus ribu lebih. Bukankah ini sangat boros? Dua ratus ribu hanya jadi asap dan abu?
Sampai akhirnya saat mertuaku batuk tak sembuh-sembuh lah yang mengubah kebiasaanku itu. Beliau sudah sepuh banget, kurus, Ya Allah, kasian banget. Aku merasa bersalah, "Ini pasti gara-gara rokok yang kuberi?", batinku.
Sebenarnya, aku juga nggak habis pikir, apa sih enaknya merokok? Padahal sudah jelas kalau rokok itu bisa mengakibatkan serangan jantung, stroke, penyakit paru obstruktif kronik, emfisema, dan kanker. Baik itu untuk perokok aktif maupun kita perokok pasif yang hanya terpapar bau asapnya saja. Mengerikan, bukan?
Pun, rasa-rasanya, dengan adanya peringatan Hari Tembakau Sedunia yang diperingati setiap 31 Mei (tidak merokok selama 24 jam secara bersama-sama) dan menempelkan gambar-gambar penyakit yang mengerikan di bungkus rokok kok ya belum ada efek jera ya bagi pengguna? Bagaimana mau ada perubahan juga sih ya, lha ada gambar-gambar itu kalau harganya masih murah meriah, siapa yang nggak tergiur untuk tetap beli? Apalagi bagi mereka yang sudah kecanduan. Makanya aku dukung #RokokHarusMahal dan #rokok50ribu karena #rokokmemiskinkan.
Setiap tahun, sebenarnya cukai di Indonesia itu ada kenaikan, tapi tak seberapa. Dan inilah penyebab tidak adanya efek yang berarti terhadap penurunan jumlah perokok di Indonesia, terutama warga miskin. Ngomong-ngomong soal cukai rokok, sudah tahu belum apa bedanya cukai rokok dan pajak? Apa hubungannya dengan harga rokok di pasaran?
Sederhananya tuh gini,
Cukai rokok itu pungutan yang dipungut negara terhadap rokok dan produk tembakau lainnya, termasuk, sigaret, cerutu, serta rokok daun sedangkan untuk pajak rokok adalah pungutan atas cukai yang dipungut dan disesuaikan per daerah. Misalnya seperti ini.
Coba lihat kalau kenaikan cukai sampai 300%, apa harga rokok per bungkus masih kurang mahal?
Inilah yang diharapkan. Cukai rokok naik, otomatis harga rokok pun akan naik. Tapi, naiknya jangan hanya satu sampai 10 persen saja. Nggak berasa ntar. Signifikan. Setuju?
Kalau ada yang tanya, uang cukai rokok itu kemudian untuk apa? Akan lebih baik, hasil dari cukai tersebut larinya ke dana JKN (atau lebih dikenal BPJS). Ini sejalan dengan hasil survey yang dilakukan dan dilaporkan di Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia bahwa 1.000 orang dari 22 provinsi dengan tingkat penghasilan di bawah Rp 1 juta sampai di atas Rp20 juta, sebanyak 82% responden setuju jika harga rokok dinaikkan untuk mendanai JKN.**
Nah, kenapa tak menggunakan momen puasa ini untuk berhenti merokok dan membelanjakan uang yang kita miliki ke hal lain? Tak makan, tak minum, dan tak merokok kurang lebih selama 14 jam saja bisa. Kenapa tidak dilanjutkan saja berhenti merokoknya meskipun puasa nanti telah berlalu? Sayang lho sudah 1 bulan kok.
Ah, kan setelah buka puasa bisa merokok. Adakah yang nyeletuk demikian? Semua tergantung niat. Kalau niat sudah kuat, insya Allah bisa. Atau ya aku percaya, perokok itu kan seperti orang yang terkena narkoba. Kalau sekejap berhenti, pasti beraaaaat banget. Bagaimana kalau buat aturan ketat saja di bulan puasa ini?
Misalnya, satu rokok satu juz. Jadi, kalau yang perokok pengen merokok satu batang harus membayar dengan tadarus 1 juz alquran. Bagaimana, setuju?
Bukan bermaksud untuk membanding-bandingkan alquran dengan rokok ya? Melainkan kalau rokok membawa mudarat, kenapa tak dibayar dengan sesuatu yang bisa jadi bekal di akhirat nanti. Kebiasaan ini bisa dilakukan sampai nanti setelah bulan puasa dan dibarengi dengan niat berhenti merokok. Kemudian kalau mulai berkurang merokoknya, tadarusnya tetap dijaga. Bisa konsisten?
Yuk, manfaatkan bulan puasa ini untuk meraup amal ibadah sebanyak-banyaknya. Hitung saja kalau 30 hari tidak merokok, dikalikan dua puluh ribu, enam ratus ribu bisa lho untuk sangu mudik. Atau mau dipakai untuk zakat dan berbagi dengan orang tidak mampu? Sungguh saat kita bisa berbagi dengan sesama itu menentramkan hati. Bukan berbagi asap, yang nikmatnya hanya sekejap, tapi mudaratnya nular ke mana-mana.
Nah, kalau kamu nih, setuju nggak kalau cukai rokok dinaikkan? Maunya berapa persen? Yuk, kita dukung kenaikan cukai rokok dengan cara yang mudaaaah banget, dengan menandatangani petisi di change.org/rokokharusmahal!
Tulisan ini terinspirasi dari talkshow edisi 2 dengan tema Perempuan, Puasa, dan Rokok Harus Mahal yang merupakan program radio Ruang Publik KBR (Kantor Berita Radio) dan dihadiri oleh dosen UI sekaligus Wakil dari Komnas PT Krisna Puji Rahmayanti serta dokter Tresia Mahaputri Nusantari Maghfirah, MARS, MPM. Koordinator Divisi Pelayanan Majelis Kesehatab Pimpinan Pusat Aisyiyah.
*https://www.cermati.com/artikel/amp/inilah-perbedaan-pajak-dan-cukai-rokok-serta-cara-menghitungnya
**http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/08/160822_indonesia_rokok_naik
***
Adakah yang sebelas bulan terakhir bekerja menggebu-gebu demi menyambut bulan puasa? Aku sedang menerapkan kebiasaan tersebut tahun ini. Walau rasanya begitu tertatih-tatih, tapi semua demi bulan puasa yang lebih bermakna. Aku ingin bulan puasa ini benar-benar fokus dengan ibadah dan ibadah.
Sebenarnya keinginanku itu berawal dari cerita sedihku di bulan puasa yang sudah lalu. Kenapa? Aku sering tak konsentrasi beribadah karena dikejar-kejar kebutuhan materi. Maaf, imanku memang cetek banget.
Jujur saja, aku selalu kepikiran, bagaimana ya uang untuk orang tua dan mertua, mikir parsel, belum lagi kalau Kakak ingin beli baju, sampai soal uang tempel untuk saudara?
Bagiku yang seorang ibu rumah tangga, semua pengeluaran di atas butuh dana yang ekstra. Kalau nggak, sumpah, ibadah rasanya hanya jumpalitan. Apalagi soal parselan untuk kedua orang tua. Ini nih yang paling kusoroti.
Sebenarnya ya nggak wajib sih, tapi namanya tradisi, pun tak setiap hari bagi-bagi parsel, kan? Makanya ku-upayakan untuk memberikan parsel yang benar-benar bermanfaat dan tidak membawa mudarat. Seperti contohnya tidak lagi memasukkan rokok dalam list isian parsel.
Dulu, pertama kali ngasih parsel, wajib hukumnya memasukkan rokok satu slof (isi sepuluh bungkus) dalam parsel. Bayangkan satu slof rokok itu bisa sampai seratus ribu lebih, kalau untuk bapakku dan bapak mertua berarti sudah memakan dana dua ratus ribu lebih. Bukankah ini sangat boros? Dua ratus ribu hanya jadi asap dan abu?
Sampai akhirnya saat mertuaku batuk tak sembuh-sembuh lah yang mengubah kebiasaanku itu. Beliau sudah sepuh banget, kurus, Ya Allah, kasian banget. Aku merasa bersalah, "Ini pasti gara-gara rokok yang kuberi?", batinku.
Sebenarnya, aku juga nggak habis pikir, apa sih enaknya merokok? Padahal sudah jelas kalau rokok itu bisa mengakibatkan serangan jantung, stroke, penyakit paru obstruktif kronik, emfisema, dan kanker. Baik itu untuk perokok aktif maupun kita perokok pasif yang hanya terpapar bau asapnya saja. Mengerikan, bukan?
Pun, rasa-rasanya, dengan adanya peringatan Hari Tembakau Sedunia yang diperingati setiap 31 Mei (tidak merokok selama 24 jam secara bersama-sama) dan menempelkan gambar-gambar penyakit yang mengerikan di bungkus rokok kok ya belum ada efek jera ya bagi pengguna? Bagaimana mau ada perubahan juga sih ya, lha ada gambar-gambar itu kalau harganya masih murah meriah, siapa yang nggak tergiur untuk tetap beli? Apalagi bagi mereka yang sudah kecanduan. Makanya aku dukung #RokokHarusMahal dan #rokok50ribu karena #rokokmemiskinkan.
Kenapa tidak dengan cara menaikkan cukai rokok secara signifikan saja?
Setiap tahun, sebenarnya cukai di Indonesia itu ada kenaikan, tapi tak seberapa. Dan inilah penyebab tidak adanya efek yang berarti terhadap penurunan jumlah perokok di Indonesia, terutama warga miskin. Ngomong-ngomong soal cukai rokok, sudah tahu belum apa bedanya cukai rokok dan pajak? Apa hubungannya dengan harga rokok di pasaran?
Sederhananya tuh gini,
Cukai rokok itu pungutan yang dipungut negara terhadap rokok dan produk tembakau lainnya, termasuk, sigaret, cerutu, serta rokok daun sedangkan untuk pajak rokok adalah pungutan atas cukai yang dipungut dan disesuaikan per daerah. Misalnya seperti ini.
Cara hitung di atas bersumber dari cermati.com* |
Coba lihat kalau kenaikan cukai sampai 300%, apa harga rokok per bungkus masih kurang mahal?
Inilah yang diharapkan. Cukai rokok naik, otomatis harga rokok pun akan naik. Tapi, naiknya jangan hanya satu sampai 10 persen saja. Nggak berasa ntar. Signifikan. Setuju?
Kalau ada yang tanya, uang cukai rokok itu kemudian untuk apa? Akan lebih baik, hasil dari cukai tersebut larinya ke dana JKN (atau lebih dikenal BPJS). Ini sejalan dengan hasil survey yang dilakukan dan dilaporkan di Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia bahwa 1.000 orang dari 22 provinsi dengan tingkat penghasilan di bawah Rp 1 juta sampai di atas Rp20 juta, sebanyak 82% responden setuju jika harga rokok dinaikkan untuk mendanai JKN.**
Gunakan momen puasa untuk berhenti merokok
Nah, kenapa tak menggunakan momen puasa ini untuk berhenti merokok dan membelanjakan uang yang kita miliki ke hal lain? Tak makan, tak minum, dan tak merokok kurang lebih selama 14 jam saja bisa. Kenapa tidak dilanjutkan saja berhenti merokoknya meskipun puasa nanti telah berlalu? Sayang lho sudah 1 bulan kok.
Ah, kan setelah buka puasa bisa merokok. Adakah yang nyeletuk demikian? Semua tergantung niat. Kalau niat sudah kuat, insya Allah bisa. Atau ya aku percaya, perokok itu kan seperti orang yang terkena narkoba. Kalau sekejap berhenti, pasti beraaaaat banget. Bagaimana kalau buat aturan ketat saja di bulan puasa ini?
Misalnya, satu rokok satu juz. Jadi, kalau yang perokok pengen merokok satu batang harus membayar dengan tadarus 1 juz alquran. Bagaimana, setuju?
Bukan bermaksud untuk membanding-bandingkan alquran dengan rokok ya? Melainkan kalau rokok membawa mudarat, kenapa tak dibayar dengan sesuatu yang bisa jadi bekal di akhirat nanti. Kebiasaan ini bisa dilakukan sampai nanti setelah bulan puasa dan dibarengi dengan niat berhenti merokok. Kemudian kalau mulai berkurang merokoknya, tadarusnya tetap dijaga. Bisa konsisten?
Yuk, manfaatkan bulan puasa ini untuk meraup amal ibadah sebanyak-banyaknya. Hitung saja kalau 30 hari tidak merokok, dikalikan dua puluh ribu, enam ratus ribu bisa lho untuk sangu mudik. Atau mau dipakai untuk zakat dan berbagi dengan orang tidak mampu? Sungguh saat kita bisa berbagi dengan sesama itu menentramkan hati. Bukan berbagi asap, yang nikmatnya hanya sekejap, tapi mudaratnya nular ke mana-mana.
Nah, kalau kamu nih, setuju nggak kalau cukai rokok dinaikkan? Maunya berapa persen? Yuk, kita dukung kenaikan cukai rokok dengan cara yang mudaaaah banget, dengan menandatangani petisi di change.org/rokokharusmahal!
Tulisan ini terinspirasi dari talkshow edisi 2 dengan tema Perempuan, Puasa, dan Rokok Harus Mahal yang merupakan program radio Ruang Publik KBR (Kantor Berita Radio) dan dihadiri oleh dosen UI sekaligus Wakil dari Komnas PT Krisna Puji Rahmayanti serta dokter Tresia Mahaputri Nusantari Maghfirah, MARS, MPM. Koordinator Divisi Pelayanan Majelis Kesehatab Pimpinan Pusat Aisyiyah.
*https://www.cermati.com/artikel/amp/inilah-perbedaan-pajak-dan-cukai-rokok-serta-cara-menghitungnya
**http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/08/160822_indonesia_rokok_naik
Seandainya iya wah yang merong2 banyak mba. Bapakku uda insap sih gr2 kena TB. Aq malah bersyukur banget bapak kena penyakit itu krn uda jengah banget sama bau rokok walaupun bapak ga pernah merokok di dalam rumah.
BalasHapusUdah sampai ada kalkulasinya gitu ya Mba untuk cukainya. Semoga bisa memberikan pencerahan bagi pemegang kebijakan yaa
BalasHapusMgkin cara ini bisa dibilang cara ampuh bikin org mikir dua kali buat beli rokok. Terutama yg kelas menengah ke bawah. Tp soal bisa ngurangin jumlah perokok atau ngggak, mungkin bisa, cuma kayaknya nggak signifikan. Soalnya di sini mah ngerokok itu udh jadi semacam lifestyle gitu. "Nggak ngerokok nggak keren" *hiks. Jd menurutq ttp hrus ada tindakan lebih lanjut, misal konsisten ngasih edukasi soal rokok dsbg. Ya minimal jumlah perokok di bawah umur berkurang.
BalasHapusMakasih share tulisan kecenya ya, Mbak. Jadi tau soal percukaian nih.
Alhamdulillah saya bukanlah seorang perokok dan saya mendukung 1000 persen gerakan #RokokHarusMalah ini. Salam kenal ya Kak...
BalasHapus