Ada nggak sih yang sepertiku, dulu saat si kecil masih bayi lebih sibuk menikmati tumbuh kembangnya secara langsung dan tidak rajin mendokumentasikannya lewat kamera HP?
“Ibu nih ya, kalau jadi mom di zaman now, pasti HP penuh dengan foto kamu.” Sindir ibuku yang tak kuindahkan.
Baru deh sekarang, saat Kak Ghifa sudah mau 3 tahun, aku tersadar, ternyata di HP dan notebookku tak banyak foto Kakak yang tersimpan. Coba cek di HP kamu, ada berapa banyak foto si kecil? Menggenapi angka 200 foto saja susah kulakukan.
***
Suat hari saat aku lagi ngelesi muridku, kupandangi lemari kaca yang ada di belakang meja belajar Dek Enggi (murid lesku). Aku tertarik dengan tumpukan album photobook. Saat kutanyakan, foto siapa di sana? Dek Enggi dengan senang hati mengambil dan memperlihatkan album photobook yang berisi gambar dirinya di masa bayi sampai usia sekitar 3 tahunan.
Dek Enggi bercerita banyak tentang satu per satu foto yang ada di album bersampul merah marun itu. Dengan runtut dia memamerkan pose-posenya yang polos dan lucu. Tentu semua yang disampaikannya adalah tiruan dari cerita sang ibu. Matanya begitu berbinar-binar. Semangatnya tergugah. Sesekali dia malu-malu saat menceritakan fotonya. Selebihnya dia terlihat sangat bahagia bisa berbagi cerita masa kecilnya.
Album photobook Kak Ghifa |
Tiba-tiba, terselip penyeselan dalam diriku. Kalau kupikir-pikir, dulu semasa sekolah aku hobi banget mendokumentasikan apa-apa yang kualami bersama teman-teman. Bahkan, bisa dibilang aku ini adalah tukang foto mereka. Kenapa saat sudah ada kakak, aku malah melewatkan momen indah ini begitu saja? Rasa-rasanya kalau beralasan sudah lelah bekerja kok ya terlalu BIASA. Sedih lho rasanya, karena semua tidak bisa diulang kembali.
Seorang Chief Mum, Carrie Lupoli, berpendapat bahwa orang tua sangat disarankan untuk membuat dokumentasi di lima tahun awal kehidupan si kecil. Karena dokumentasi ini akan sangat membantu untuk menjaga agar tumbuh kembang si kecil bisa diperhatikan dengan baik. Tentu dokumentasi ini bisa dalam wujud video, foto, maupun tulisan dalam buku jurnal ya.
Sebagai seorang ibu, aku sangat setuju dengan pendapat Carrie Lupoli. Sebenarnya, akan lebih sangat tampak kegunaannya apabila ketiga cara di atas bisa dilakukan secara bersamaan, yaitu lewat video, tulisan, dan foto. Dari ketiga cara tersebut sudah kulakukan semua sih. Tapi, ya belum maksimal banget. Saat ini yang paling mudah kulakukan ya dengan cara mengambil gambar Kakak setiap ada kesempatan. Aku tak mau melewatkannya momen emas ini lagi.
Menemui kebahagiaan Dek Enggi dan membaca pendapat dari Carrie Lupoli, muncul keinginan kuat dalam diriku untuk selangkah lebih maju dalam mendokumentasikan tumbuh kembang Kak Ghifa. Yaitu, dengan membuat album photobook. Sebenarnya ini juga ditopang dengan ketergiuranku dengan iklan di instagram yang gencar sekali menampilkan album photobook yang keren-keren hasilnya. Salah satunya kamu pasti tahu kalau sering main instagram, yap, ID Photobook.
Model large, beginilah salah satu potret album photobook Kak Ghifa |
Hal yang membuatku tertarik untuk memilih ID Photobook sebagai tempat cetak foto online adalah harga cetak foto lebih terjangkau. Yaitu, mulai dari 99 ribu sampai 350 ribu sesuai album foto yang kita pilih. Soalnya aku pernah cetak foto di studio dekat rumah, harga per lembar untuk ukuran foto 4R saja seharga 3 ribu. Misalnya aku mau mencetak 80 foto untuk satu albumnya, artinya 80 x 3 ribu = 240 ribu. Itu belum termasuk beli albumnya yang agak tebal bisa sampai 250 ribu. Jatuhnya jadi lebih mahal, kan?
Selain itu, saat kuperhatikan dengan betul, ternyata ID Photobook menawarkan desain kayak majalah. Tentunya ini akan lebih ringkas, batinku. Pun, saat baca testismoni yang sudah pakai jasa dari ID Photobook pun cetak foto dari HP ini hasil photobooknya berkualitas. Makin yakinlah aku untuk segera mengirim foto Kak Ghifa yang sudah berhasil kukumpulkan.
Cus deh, aku langsung mengais-ngais foto Kakak seadanya yang tersimpan di HPku, HP ibu, dan di notebookku. Karena aku mau pesan dua album (square dan large), aku harus mengumpulkan foto sebanyak 61 foto (square) dan 80 foto (large) dengan resolusi minimal 300 - 400 pixel agar hasilnya nggak pecah-pecah.
Model square |
Setelah satu minggu menunggu, akhirnya album photobook Kakak sampai juga. Lumayan cepat juga. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana hasilnya? Nah, berikut reviewku untuk dua album yang kupesan.
Kemasan
Saat album photobook Kakak sampai rumah, bungkusnya itu dobel-dobel. Pertama plastik, kemudian karton coklat bertuliskan ID Photobook, terus ada bubble wrap, baru kotak hitam yang di dalamnya ada albumnya.
Album photobook ini memang benar-benar seperti majalah. Lebih ringkas dan tidak tebal tanpa mengurangi kualitas kertasnya yang semi premium. Jadi, kalau mau dipamerkan ke saudara jauh, album photobook ini nggak berat dan memakan tempat yang banyak. Cukup dimasukkan ke tas juga beres.
Desain
Sepertinya aku yang salah pilih tema deh. Soalnya pas lihat hasilnya kok kurang ramai ya. Hahaha. Kalau yang suka tampilan ceria memang mending pilih tema seperti traveller atau colourfull. Oiya, satu koreksi dariku nih ya, kalau bisa nih setiap foto diperhatikan betul-betul sikonnya. Soalnya ada satu foto kakak baru sakit tapi di sampingnya ada tulisan Happy Day. Menurutku ini sangat fatal banget. Semoga ke depannnya makin baik ya. Agar tidak mengecewakan pelanggan.
Kualitas Cetak
Di atas aku sebukan minimal foto yang kita kirim minimal resolusinya 300-400 pixel ya. Kenapa? Karena ada fotoku yang resolusinya di bawah itu hasilnya agak pecah. Tapi, ya nggak sampai jelek banget sih. Yang lainnya, bagus-bagus hasilnya. Apalagi kamera HP zaman now kan hasilnya juga keren-keren ya? Aku berharap dengan perawatan yang baik, disimpan di kotaknya setelah dilihat, album photobook kakak akan tetap bagus sampai dia besar. Soalnya ada yang cerita, meskipun sudah 1 tahun pesannya, tapi cetakannya masih seperti baru.
Itulah pengalamanku memakai jasa dari ID Photobook untuk mendokumentasikan (sedikit) tumbuh kembang Kak Ghifa. Harapanku hanya satu, semoga photobook ini awet, agar kelak kakak bisa bercerita tentang satu per satu cerita dari masing-masing foto yang terpajang di sana. Aku juga nggak akan berhenti di sini untuk tetap mengabadikan momen-momen berharga dengan Kak Ghifa. Aku nggak mau kalau nanti menyesal untuk kedua kalinya. InsyaAllah nanti mau pesan lagi dan nggak kapok.
Sebenarnya aku bingung lho mau cetak yang mana dulu, antara momen lebaran seperti kemarinatau foto-foto di masa kuliah dulu juga banyak tersimpan di notebookku. Hahaha. Kamu kalau mau bikin photobook jangan sungkan untuk intip-intip sosial medianya ID Photobook lho. Jangan bingung, nanti gimana kirim fotonya? lha wong cuma dikirim lewat WhatsApp juga bisa!
Facebook ID Photobook
Instagram ID Photobook
Youtube ID Photobook
Udah lama naksir sama id photobook, apik2 ya model albumnya
BalasHapusIya ya... Aku aja sekarang nyariin foto kakak dan adek di masa kecil mereka udah banyak yang ilang. Mau deh bikin kek gitu
BalasHapusiya nih, dari kemarin pengen buat yang seperti ini..
BalasHapussambil intip2 budgetnya berapa hehe
Wah lucunya sebulan yang lalu sempet jalan-jalan ke idnya photobook pengen cetakin fotonya akmal gendhis juga hihihi
BalasHapusMbaaa, akupun ngalamin salah caption utk album photobook yg aku pesen. Sejak tau ttg photobook aku rajin banget pisahin foto2 travelingku berdasarkan negara. Supaya rapi jadinya. Naaah, pas yg negara kamboja, aku tuh pergi ke museum pembantaian yg notabene tempatnya sediiih banget. Ada foto2 korban, cara menyiksanya, tengkorak2nya, tapi kok yaaa caption yg ditulis semuanya happy. Ada gambar bayi sedang dibunuh, diksih captionnya "the best moment in my life"
BalasHapusAku sampe bengong... Mbok ya mikir juga gitu yaaa.. Udh jelas fotonya ttg penyiksaan, ya jgn pake caption gembira.
Tapi itu doang sih yg aku kecewam sisanya baguuus. Foto2nya rapi, albumnya rapi, memuaskan secara keseluruhan.
Eh btw, aku jg ga punya banyak foto anak di hp :p. Malah kebalik ama papinya anak2, dia yg suka fotoin anak2 dr bayi ampe gede.
Hahaha. Ada temennya ya. Temen jarang motret anak dan temen albumnya ada bagian yang salah kaprah.
HapusEh aku kok malah tertarik sama dik Enggi yg udah bisa bercerita di usia 3th hihihi.. Pasti sering distimulus sama mamanya ya pake album foto
BalasHapusMbak say, Dek Enggi itu kelas 6 SD, Mbak. Foto2nya itu sampai usia 3 tahun
HapusWah keren juga yah..jadi kepikiran untuk mengumpulkan foto kebersamaan kelg nih.. TFS, Ika..
BalasHapusAku udah lama juga pengen ini..hahaha... Malah bisa dibolang aku belum pernah cetak foto intan dari bayi...
BalasHapus