Saat membaca judul tulisan ini, pertanyaanku adalah, kamu sudah tahu apa itu SDGs? Kalau belum tahu berarti sama denganku. Saat pertama lihat pengumuman tema ini di instagram @kbr.id, aku buru-buru searching di internet. Ternyata, SDGs itu adalah sebagai berikut.
Sumber dari wikipedia |
Intinya, SDGs itu adalah target 193 negara yang ingin dicapai dalam kurun waktu dari tahun 2015 sampai nanti tahun 2030. Pencapaian itu diantaranya ada 17 poin. Yaitu,
- Tanpa kemiskinan
- Tanpa kelaparan
- Kehidupan sehat dan sejahtera
- Pendidikan berkualitas
- Kesetaraan gender
- Air bersih dan sanitasi layak
- Energi bersih dan terjangkau
- Pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi
- Industri, inovasi dan infrastruktur
- Berkurangnya kesenjangan
- Kota dan komunitas berkelanjutan
- Konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab
- Penanganan perubahan iklim
- Ekosistem laut
- Ekosistem daratan
- Perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh
- Kemitraan untuk mencapai tujuan
Sampai sini, sudah mulai paham ya larinya ke mana pembahasan postingan ini?
Pada episode keempat, dengan tema Kemiskinan, Dampak Rokok Murah, dan Capaian SDGs, program radio Ruang Publik KBR #rokokharusmahal, hadir narasumber di studio maupun via telepon;
- Dr Arum Atmawikarta, MPH, Manager Pilar Pembangunan Sosial Sekretariat SDGs Kementerian PPN/Bappenas.
- Tulus Abadi Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, dan
- Jamal dari Koalisi Bersatu Melawan Kebohongan Industri Rokok.
Dari kanan, Dr Arum kemudian Pak Tulus bersama Mbak Arin Swandari. |
Menurut Jamal, khalayak umum seringkali menganggap kalau pengendalian rokok dan SDGs hanya berkaitan dengan capaian poin 3, yaitu kehidupan sehat dan sejahtera. Padahal apabila dikaji secara dalam dan menyeluruh, justru pengendalian rokok dan SDGs erat kaitannya dengan beberapa poin. Misalnya kemiskinan, kesehatan, pendidikan, dan bisa jadi poin yang lainnya pun ikut terseret.
Sangat menarik. Karena obrolan ini tidak hanya membicarakan skala di Indonesia saja. Melainkan, secara tidak langsung sebagai cerminan bagaimana perubahan dunia ini ke depan.
Agar lebih rinci dan mudah dipahami, berikut aku rangkumkan hasil obrolan narasumber sekaligus tanggapannya terhadap SMS/WA/telepon pendengar setia KBR yang juga sangat mendukung program #rokok50ribu, bahkan banyak yang meminta jangan hanya lima puluh ribu rupiah.
Pertama,
5 Juni 2018 lalu, di Istana wakil presiden telah diadakan pertemuan yang dihadiri oleh tamu pemerintahan dan non pemerintahan, baik itu LSM, akademisi, pebisnis untuk membicarakan pelaksanaan SDGs di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mencapai tujuan SDGs harus ada kerjasama dari berbagai pihak. Tak bisa kalau menurut A tujuan ini harus dilaksanakan, tapi ternyata C tidak mengindahkan cara tersebut. Kita doakan semoga ke depan makin lebih baik.
Dua,
Kenapa pengendalian rokok dan SDGs mempengaruhi lebih dari satu poin tujuan yang ingin dicapai dalam kurun waktu lima belas tahun? Karena apabila seseorang memutuskan untuk merokok, sama halnya dia membentuk siklus hidup yang tak hanya memiskinkan diri sendiri, tapi juga yang lainnya. Misalnya, orang merokok kemudian kecanduan. Dia akan menghalalkan segala cara untuk membeli rokok. Uang makan, uang susu, atau uang pendidikan anaknya sampai dikorbankan demi bisa membeli rokok. Lama-kelamaan rokok terus menerus, tubuh mulai berontak, sakit. Dia mulai mengeluarkan biaya untuk berobat. Kalau sudah seperti itu dia mulai nggak bisa kerja, nggak produktif. Sudah nggak produktif, tapi harus tetap mengeluarkan biaya untuk berobat. Alamat apa ini kalau nggak jatuh miskin?
Tiga,
Menurut kajian organisasi terkemuka di Jerman, sebelas dari tujuh belas capaian SDGs tidak akan terwujud apabila rokok tidak dapat dikendalikan. Nah, ini membuktikan betapa rokok sangat sangat merugikan. Bukan hanya untuk diri sendiri, orang sekitar, bahkan bisa jadi penyumbang tidak majunya negara ini. Kamu, perokok, masih tetap ngotot mau merokok?
Empat,
Tujuh tahun terakhir, perokok di Indonesia cenderung naik dan proporsi perokok pria dewasa di Indonesia mencapai angka 67%. Angka yang tak sedikit, bukan? Tentu kamu, perokok, jadi penyumbang angka di atas. Jadi, kapan mau berhenti merokok?
Lima,
Yang membuatku melongo adalah angka 67% di atas, penyumbang utamanya adalah warga Indonesia yang pekerjaannya sebagai buruh, petani, dan nelayan. Betapa ini sangat menunjukkan bahwa penduduk dengan ekonomi menengah ke bawah memang jadi konsumen empuk bagi industri rokok di Indonesia.
Aku nggak bisa menyalahkan secara penuh kalau mereka begitu gandrung dengan rokok. Karena salahnya negara kita juga tidak adanya pengendalian dalam penjualan rokok. Dalam artikelku sebelumnya, tentang 1001 Cara Perempuan Dukung #RokokHarusMahal, jelas sudah kusampaikan kalau harga rokok di Indonesia itu termurah di dunia. Pun bisa dibeli secara eceran. Kemudian kalau kamu tahu ya, di daerah-daerah ada lho rokok lokal baik itu yang legal maupun ilegal dengan harga perbungkus sangat murah. Jadi, mereka gandrung, kecanduan, kemudian di luar sana menyediakan rokoknya secara murah meriah. Siapa yang bisa menolak?
Enam,
Rokok itu kena cukai. Dan aku berharap cukai rokok naik secara signifikan. Karena apa? Harusnya barang yang terkena cukai itu tidak dijual secara bebas, alias terbatas. Kalau kata Mas Tulus, ini sangat lucu dan menggelikan. Ada apa dengan negara kita? Semoga dengan adanya peran serta dari berbagai kalangan, akan ada titik terang atas perkara rokok ini.
Tujuh,
Iklan bahaya rokok baik di televisi atau di bungkus rokok sejatinya diperuntukkan untuk mereka yang belum mencoba rokok dan perokok pemula. Karena ditemukan kasus di lapangan, hampir 90% anak sekolah melihat iklan rokok di mana saja. Baik itu di televisi, di jalan, atau bahkan yang marak saat ini adalah di depan sekolah-sekolah mereka. Hal ini menunjukkan keberhasilan industri rokok dalam menggiring perokok pemula. Ya Allah, betapa jahatnya mereka, bukan? Sedihnya lagi anak-anak lebih hapal jingle lagu iklan rokok dibandingkan bunyi sila Pancasila. Hiks hiks.
Delapan,
Masalah rokok sangatlah kompleks. Tidak serta merta kita bisa menutup industri rokok begitu saja. Dibutuhkan kerja sama oleh berbagai pihak atau lintas bidang untuk menyadari bahaya rokok. Hal ini jadi fokus 5 tahun ke depan dari SDGs.
Sembilan,
Di Malaysia, orang yang melanggar peraturan merokok di tempat umum akan dikenai denda 100 ringgit. Bagaimana di Indonesia? Semoga ke depannya kebijakan ini pun ada di Indonesia ya? Aamiin.
Sepuluh,
Apakah dengan menaikkan harga #rokok50ribu akan mengurangi pembelanjaan rokok di keluarga miskin? Berdasarkan pengalaman empirik di dunia kalau harga rokok mahal itu bisa mengurangi pembelanjaan rokok di keluarga miskin. Akan tetapi, hal itu harus diperhatikan lagi pada undang-undang cukai negara kita. Karena di undang-undang, cukai rokok itu baru 52% dari harga rokok. Pun implementasinya baru 38%. Seandainya cukai ini dinaikkan secara signifikan, besar kemungkinan warga miskin atau menengah ke bawah akan kesulitan memenuhi keinginannya untuk merokok karena harga rokok yang mahal.
Sebelas,
Isu rokok tidak hanya pada tujuan kesehatan, tapi juga berkaitan dengan kemiskinan, pendidikan, dan seterusnya. SDGs jadi salah satu wadah untuk mendukung penanggulangan penggunaan rokok. Akan tetapi yang lebih penting adalah daya dukung segala pihak untuk mensukseskan tujuan SDGs.
Dua belas,
Rokok yang mahal memberikan cukai yang tinggi kepada negara. Ini yang tidak disadari oleh banyak masyarakat. Kebanyakan orang yang tahu harga rokok mahal, yang diuntungkan adalah industri rokok. Padahal saat ini pendapatan keuangan negara hasil cukai baru 152 triliun, seandainya cukai rokok dinaikkan, pendapatan negara melalui cukai rokok bisa mencapai angka 250 triliun. Angka yang signifikan, bukan?
Tiga belas,
Catatan penting adalah harus adanya pengawasan dalam perdagangan. Salah satunya adalah dihapusnya kebiasaan menjual rokok secara eceran dan menjual tidak sesuai dengan bandrol yang tertera atau harga jauh lebih murah dari bandrol.
Jadi, dapat disimpulkan kalau rokok mahal, itu akan mendukung SDGs untuk mencapai tujuannya, bukan? Tidak hanya pada poin kemiskinan saja. Melainkan poin lain juga ikut serta.
Dari sekian banyak yang telepon untuk ikut serta memberikan saran dan kritik atas program #rokokharusmahal ini, dapat kutarik kesimpulan bahwa untuk mencapai tujuan SDGs yang diharapkan tidak hanya peran pemerintah dan nonpemerintah yang kusebutkan di atas. Melainkan juga butuh peran serta lingkup kecil seseorang. Misalnya keluarga dan guru di sekolah.
Aku sebagai guru SD, wali kelas 1 SD pula sangat setuju pernyataan tersebut. Karena sering kali kutemui kejadian kalau anak sekolah lebih mau mendengarkan perintah gurunya dibandingkan orang tua. Kalau guru di sekolah saja memberi contoh untuk merokok, bagaimana muridnya nggak meniru? Ibarat kalimat nasihat, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Nah, lho. Mau?
Seperti di postinganku Langkah Kecilku Sebagai Guru untuk Menyelamatkan Generasi Bangsa dari Bahaya Rokok, kuceritakan langkah kecilku untuk mendukung pencegahan murid-muridku mencicipi rokok. Ke depan, aku berencana akan melakukan langkah ini secara berkelanjutan. Dalam waktu dekat, saat masa orientasi siswa baru di kelas 1, di hari pertama setelah pengenalan diri dan sekolah, aku akan menampilkan layar bergambar bahaya rokok. Tak sampai di situ, aku akan mengusulkan kegiatan ini kepada kepala sekokah untuk mengisi kelas-kelas lain juga. Semoga apa yang kulakukan ini mendapat dukungan penuh dari semua guru. Karena yang kutakutkan adalah adanya perlawanan dari beberapa guru yang merokok di sekolah.
Terakhir, kalau kamu belum bisa berbuat banyak untuk mendukung kampanye #rokokharusmahal, kamu bisa lho hanya dengan menandatangi petisi di change.org/rokokharusmahal. Saat ini sudah ada 4400an orang yang menandatangi petisi ini dengan target 5000 orang. Yuk, tanda tangani sekarang juga! Aku sudah lho, kamu kapan? Jangan biarkan industri rokok saja yang kampanye rokok di luar sana. Kita jangan mau kalah untuk kampanyekan pula bahaya rokok dan #rokokharusmahal!
Sangat menarik. Karena obrolan ini tidak hanya membicarakan skala di Indonesia saja. Melainkan, secara tidak langsung sebagai cerminan bagaimana perubahan dunia ini ke depan.
Agar lebih rinci dan mudah dipahami, berikut aku rangkumkan hasil obrolan narasumber sekaligus tanggapannya terhadap SMS/WA/telepon pendengar setia KBR yang juga sangat mendukung program #rokok50ribu, bahkan banyak yang meminta jangan hanya lima puluh ribu rupiah.
Pertama,
5 Juni 2018 lalu, di Istana wakil presiden telah diadakan pertemuan yang dihadiri oleh tamu pemerintahan dan non pemerintahan, baik itu LSM, akademisi, pebisnis untuk membicarakan pelaksanaan SDGs di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mencapai tujuan SDGs harus ada kerjasama dari berbagai pihak. Tak bisa kalau menurut A tujuan ini harus dilaksanakan, tapi ternyata C tidak mengindahkan cara tersebut. Kita doakan semoga ke depan makin lebih baik.
Dua,
Kenapa pengendalian rokok dan SDGs mempengaruhi lebih dari satu poin tujuan yang ingin dicapai dalam kurun waktu lima belas tahun? Karena apabila seseorang memutuskan untuk merokok, sama halnya dia membentuk siklus hidup yang tak hanya memiskinkan diri sendiri, tapi juga yang lainnya. Misalnya, orang merokok kemudian kecanduan. Dia akan menghalalkan segala cara untuk membeli rokok. Uang makan, uang susu, atau uang pendidikan anaknya sampai dikorbankan demi bisa membeli rokok. Lama-kelamaan rokok terus menerus, tubuh mulai berontak, sakit. Dia mulai mengeluarkan biaya untuk berobat. Kalau sudah seperti itu dia mulai nggak bisa kerja, nggak produktif. Sudah nggak produktif, tapi harus tetap mengeluarkan biaya untuk berobat. Alamat apa ini kalau nggak jatuh miskin?
Tiga,
Menurut kajian organisasi terkemuka di Jerman, sebelas dari tujuh belas capaian SDGs tidak akan terwujud apabila rokok tidak dapat dikendalikan. Nah, ini membuktikan betapa rokok sangat sangat merugikan. Bukan hanya untuk diri sendiri, orang sekitar, bahkan bisa jadi penyumbang tidak majunya negara ini. Kamu, perokok, masih tetap ngotot mau merokok?
Empat,
Tujuh tahun terakhir, perokok di Indonesia cenderung naik dan proporsi perokok pria dewasa di Indonesia mencapai angka 67%. Angka yang tak sedikit, bukan? Tentu kamu, perokok, jadi penyumbang angka di atas. Jadi, kapan mau berhenti merokok?
Lima,
Yang membuatku melongo adalah angka 67% di atas, penyumbang utamanya adalah warga Indonesia yang pekerjaannya sebagai buruh, petani, dan nelayan. Betapa ini sangat menunjukkan bahwa penduduk dengan ekonomi menengah ke bawah memang jadi konsumen empuk bagi industri rokok di Indonesia.
Aku nggak bisa menyalahkan secara penuh kalau mereka begitu gandrung dengan rokok. Karena salahnya negara kita juga tidak adanya pengendalian dalam penjualan rokok. Dalam artikelku sebelumnya, tentang 1001 Cara Perempuan Dukung #RokokHarusMahal, jelas sudah kusampaikan kalau harga rokok di Indonesia itu termurah di dunia. Pun bisa dibeli secara eceran. Kemudian kalau kamu tahu ya, di daerah-daerah ada lho rokok lokal baik itu yang legal maupun ilegal dengan harga perbungkus sangat murah. Jadi, mereka gandrung, kecanduan, kemudian di luar sana menyediakan rokoknya secara murah meriah. Siapa yang bisa menolak?
Enam,
Rokok itu kena cukai. Dan aku berharap cukai rokok naik secara signifikan. Karena apa? Harusnya barang yang terkena cukai itu tidak dijual secara bebas, alias terbatas. Kalau kata Mas Tulus, ini sangat lucu dan menggelikan. Ada apa dengan negara kita? Semoga dengan adanya peran serta dari berbagai kalangan, akan ada titik terang atas perkara rokok ini.
Tujuh,
Iklan bahaya rokok baik di televisi atau di bungkus rokok sejatinya diperuntukkan untuk mereka yang belum mencoba rokok dan perokok pemula. Karena ditemukan kasus di lapangan, hampir 90% anak sekolah melihat iklan rokok di mana saja. Baik itu di televisi, di jalan, atau bahkan yang marak saat ini adalah di depan sekolah-sekolah mereka. Hal ini menunjukkan keberhasilan industri rokok dalam menggiring perokok pemula. Ya Allah, betapa jahatnya mereka, bukan? Sedihnya lagi anak-anak lebih hapal jingle lagu iklan rokok dibandingkan bunyi sila Pancasila. Hiks hiks.
Delapan,
Masalah rokok sangatlah kompleks. Tidak serta merta kita bisa menutup industri rokok begitu saja. Dibutuhkan kerja sama oleh berbagai pihak atau lintas bidang untuk menyadari bahaya rokok. Hal ini jadi fokus 5 tahun ke depan dari SDGs.
Sembilan,
Di Malaysia, orang yang melanggar peraturan merokok di tempat umum akan dikenai denda 100 ringgit. Bagaimana di Indonesia? Semoga ke depannya kebijakan ini pun ada di Indonesia ya? Aamiin.
Sepuluh,
Apakah dengan menaikkan harga #rokok50ribu akan mengurangi pembelanjaan rokok di keluarga miskin? Berdasarkan pengalaman empirik di dunia kalau harga rokok mahal itu bisa mengurangi pembelanjaan rokok di keluarga miskin. Akan tetapi, hal itu harus diperhatikan lagi pada undang-undang cukai negara kita. Karena di undang-undang, cukai rokok itu baru 52% dari harga rokok. Pun implementasinya baru 38%. Seandainya cukai ini dinaikkan secara signifikan, besar kemungkinan warga miskin atau menengah ke bawah akan kesulitan memenuhi keinginannya untuk merokok karena harga rokok yang mahal.
Sebelas,
Isu rokok tidak hanya pada tujuan kesehatan, tapi juga berkaitan dengan kemiskinan, pendidikan, dan seterusnya. SDGs jadi salah satu wadah untuk mendukung penanggulangan penggunaan rokok. Akan tetapi yang lebih penting adalah daya dukung segala pihak untuk mensukseskan tujuan SDGs.
Dua belas,
Rokok yang mahal memberikan cukai yang tinggi kepada negara. Ini yang tidak disadari oleh banyak masyarakat. Kebanyakan orang yang tahu harga rokok mahal, yang diuntungkan adalah industri rokok. Padahal saat ini pendapatan keuangan negara hasil cukai baru 152 triliun, seandainya cukai rokok dinaikkan, pendapatan negara melalui cukai rokok bisa mencapai angka 250 triliun. Angka yang signifikan, bukan?
Tiga belas,
Catatan penting adalah harus adanya pengawasan dalam perdagangan. Salah satunya adalah dihapusnya kebiasaan menjual rokok secara eceran dan menjual tidak sesuai dengan bandrol yang tertera atau harga jauh lebih murah dari bandrol.
Jadi, dapat disimpulkan kalau rokok mahal, itu akan mendukung SDGs untuk mencapai tujuannya, bukan? Tidak hanya pada poin kemiskinan saja. Melainkan poin lain juga ikut serta.
Dari sekian banyak yang telepon untuk ikut serta memberikan saran dan kritik atas program #rokokharusmahal ini, dapat kutarik kesimpulan bahwa untuk mencapai tujuan SDGs yang diharapkan tidak hanya peran pemerintah dan nonpemerintah yang kusebutkan di atas. Melainkan juga butuh peran serta lingkup kecil seseorang. Misalnya keluarga dan guru di sekolah.
Aku sebagai guru SD, wali kelas 1 SD pula sangat setuju pernyataan tersebut. Karena sering kali kutemui kejadian kalau anak sekolah lebih mau mendengarkan perintah gurunya dibandingkan orang tua. Kalau guru di sekolah saja memberi contoh untuk merokok, bagaimana muridnya nggak meniru? Ibarat kalimat nasihat, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Nah, lho. Mau?
Seperti di postinganku Langkah Kecilku Sebagai Guru untuk Menyelamatkan Generasi Bangsa dari Bahaya Rokok, kuceritakan langkah kecilku untuk mendukung pencegahan murid-muridku mencicipi rokok. Ke depan, aku berencana akan melakukan langkah ini secara berkelanjutan. Dalam waktu dekat, saat masa orientasi siswa baru di kelas 1, di hari pertama setelah pengenalan diri dan sekolah, aku akan menampilkan layar bergambar bahaya rokok. Tak sampai di situ, aku akan mengusulkan kegiatan ini kepada kepala sekokah untuk mengisi kelas-kelas lain juga. Semoga apa yang kulakukan ini mendapat dukungan penuh dari semua guru. Karena yang kutakutkan adalah adanya perlawanan dari beberapa guru yang merokok di sekolah.
Aku saat bercerita bahaya rokok kepada anak-anak dengan tampilan penyakit akibat rokok di layar |
Semoga beneran rokok harganya melonjak biar perokok pada mikir..
BalasHapus