Menaklukkan Wali Murid yang Terlalu Memanjakan Anak - Ini adalah cerita tentang Kanaia di awal semester satu. Terlalu lama ngendon di draft, akhirnya bisa selesai juga. Menuliskan cerita tentang serba-serbiku mengajar ternyata membuatku lebih waras. Cerita ini bisa jadi catatanku yang bisa kubuka kembali suatu hari ketika aku menemui masalah yang sama. Pun, saat aku butuh semangat kala jiwa dan raga begitu lelah menghadapi kenyataan kalau ternyata menjadi guru itu tidaklah mudah.
***
“Bu, tolong dimaklumi ya kalau Kanaia sering rewel di kelas. Ibunya biar di dalam (kelas) saja.”
Begitu kira-kira isi pesan WhatsApp ayah Kanaia. Aku kaget. Bagaimana bisa aku membiarkan ibu Kanaia di dalam kelas terus-terusan sementara aku sedang mengajar? Aku merasa ruang gerakku seperti terbatas. Terlebih lagi saat pelajaran berlangsung, Kanaia dan ibunya sering ngobrol di waktu yang tidak tepat. Alhasil, konsentrasi muridku yang lain juga jadi terganggu.
“Soalnya Kanaia itu punya indra keenam, Bu. Dia bisa melihat makhluk halus. Jadi, sering takut masuk kelas.”
Pesan ayah Kanaia lagi. Membaca pesan itu, mataku mendelik. Oh ya? Aku sedikit tak percaya. Tiga tahun lamanya aku mengajar di kelas satu, tak ada masalah demikian. Tahun lalu ada juga anak yang punya kelebihan yang sama, tapi semua aman-aman saja.
“Huuuuuuh....,” aku buang napas.
Oke, mungkin inilah ujianku di awal tahun ajaran baru 2018 ini. Mau nggak mau aku harus mencari cara, bagaimana agar Kanaia tidak harus ditunggui ibunya di dalam kelas?
Pendekatan kepada Kanaia pun kulakukan. Kutelusuri setiap jengkal kepribadiannya. Apakah benar anak ini manja? Tidak percaya diri? Kesulitan mengikuti pelajaran? Sampai perkara, benarkah dia melihat makhluk halus di dalam kelas? Hihihi. Aku jadi merinding sendiri.
“Kanaia takut sama Bu Ika ya?” tanyaku kepada Kanaia yang sedang duduk di pangkuanku. Dia menggeleng.
“Terus, apa yang membuat Kanaia takut masuk ke dalam kelas? Padahal sebulan awal sekolah, Kanaia anak yang pemberani,” gadis berkulit putih itu tak menjawab juga. Diam, malu-malu menatapku.
Aku lega saat Kanaia mengaku tidak takut kepadaku. Berarti bukan aku penyebanya dan pasti ada penyebab yang lain. Sehari dua hari, sampai satu bulan, aku berusaha bersabar dan membiarkan ibu Kanaia di dalam kelas. Tapi, lama-kelamaan, muridku banyak yang protes.
“Bu, Kanaia sama ibunya berisik! Aku nggak suka. Aku nggak bisa belajar.”
Tidak tahu kenapa, gara-gara protes itu emosiku seperti terbakar. Aku merasa murid yang kulayani sudah protes, mengapa aku hanya tinggal diam menanti nasib? Apa aku tak bisa melakukan sesuatu yang lebih? Kalau terus-terusan seperti ini, apa jadinya kelasku?
Kudekati lebih intens ibu Kanaia. Kukorek-korek semua informasi tentang Kanaia, baik itu lewat obrolan langsung maupun pesan WhatsApp. Sampai akhirnya aku menemukan titik terang, siapa yang sebenarnya bermasalah.
“Bu Ika, itu mbok ya o ibu Kanaia disuruh pulang. Anak sudah masuk kelas ya harusnya pasrah sama gurunya. Sudah dua bulan sekolah kok masih ditunggui.” keluh wali murid lain.
“Pas njenengan tidak masuk karena diklat di Purwodadi, saya kan ngajar di kelas satu. Eh, ibunya mau keluar kelas, tapi malah di depan pintu sambil da-da-da-da bawa es teh. Terus Kanaia lari sambil nangis. Saya patah hati. Lha baru action di depan anak-anak, kok malah ada yang ngeloyor keluar. Haduh. Ini jelas ibunya yang bermasalah. Bukan anaknya. Calistung nyatanya juga bisa, kan?” curhat teman guru lainnya.
Aku makin terbakar emosi. Harga diriku sebagai guru seperti diinjak-injak. Kuberi saran dengan cara halus tak paham. Selalu Kanaia yang dibuat alasan, “Nanti kalau sampai rumah, pasti saya dimarahi, Bu.”
Sampai suatu hari, tepatnya hari Minggu, ibu Kanaia kirim WhatsApp yang isinya beliau pusing mengatasi Kanaia. Anak semata wayangnya mengancam esok hari tidak mau berangkat sekolah dengan alasan SD pulang siang tidak seperti di TK.
Entah setan apa yang merasuki diriku, saat itu juga kubalas pesan ibu Kanaia dengan bahasa yang kasar.
“Oalah, Bu, ini jelas yang bermasalah Anda. Bukan Kanaia. Anda saya beritahu secara halus tidak paham. Sebenarnya yang bodoh itu Anda. Bukan Kanaia. Anak Anda seperti itu bukan karena melihat makhluk halus di kelas. Tapi, karena Anda terlalu memanjakan Kanaia. Anda yang tidak tega-an. Sayang dengan anak itu bukan berarti semua yang diminta anak dituruti. Jelas kalau sekolah tidak boleh pakai lipstik, kenapa Kanaia sekolah pakai lipstik? Kenapa sekolah bawa mobil-mobilan dan HP? Satu bulan lebih Anda saya beri kesempatan. Tapi, apa? Anda yang mencetak Kanaia seperti sekarang ini. Punya anak yang cerdas malah Anda rusak sendiri. Pokoknya saya tidak mau tahu, bagaimana caranya besok pagi Anda tidak boleh masuk kelas, pulang! Serahkan urusan Kanaia kepada saya. Kalau tidak pulang, bawa pindah anak Anda ke sekolah lain yang memperbolehkan wali murid masuk ke dalam kelas seharian.”
Iya, aku sampai semarah itu. Sebenarnya ada rasa sesal dalam hati. Tapi, kupikir kejadian ini sudah sangat merugikan banyak pihak, terutama muridku yang lainnya.
Esok harinya, setelah upacara bendera, masuklah guru mata pelajaran lain. Ibu Kanaia masih dengan percaya diri ikut masuk. Astagfirullah.
Kupersilakan ibu Kanaia keluar. Kanaia langsung menangis meronta. Muridku yang lain spontan menutup telinganya. Kututup pintu kelasku dan ku-usir ibu Kanaia.
“Silakan pulang! Nanti saat jam pulang, silakan dijemput kalau njenengan mau Kanaia jadi anak yang mandiri.”
Di belakangku, Kanaia sudah tak bisa dikendalikan lagi. Menangis sambil guling-guling di lantai. Kubiarkan.
“Maafkan Bu Ika. Ini demi Kanaia juga kalian agar bisa belajar dengan lebih nyaman.”
Semua terdiam. Satu per satu mereka mulai menurunkan tangannya. Meskipun merasa terganggu dengan suara tangisan Kanaia, mereka tetap semangat mengikuti pelajaran.
Sementara itu Kanaia masih tetap berguling-guling di lantai. Bajunya kotor semua. Kutunggu beberapa saat sampai tangisnya mulai melemah.
Kudekati, kutawarkan sebuah pelukan. Kanaia memelukku. Saat itu juga tangisku ingin pecah. Aku tahu Kanaia anak yang manis. Dia tak seperti yang diceritakan ibunya.
Kugendong Kanaia menuju tempat duduknya. Ku-usap dadanya perlahan.
“Sabar. Nanti ibu Kanaia pasti ke sini lagi untuk jemput. Kamu bilang nggak takut kan sama Bu Ika? Kenapa kamu menangis? Diam ya. Kalau nangis terus, kasian temanmu. Nanti nggak bisa belajar. Bu Ika sudah pernah bilang, Kanaia itu anak yang cerdas. Kalau anak yang cerdas nggak usah ditunggui ibu terus.”
Kanaia masih berada dalam pelukanku. Dadanya sesekali masih terguncang. Lama-kelamaan tangisnya mulai berhenti.
“Bu, mimik,” pinta Kanaia.
Seketika aku ingin tertawa. Capek dia nangis terus. Kanaia tetaplah Kanaia.
Semenjak kejadian itu, setiap pagi aku selalu mendapat jatah menggendong Kanaia agar mau masuk kelas dan ditinggal ibunya. Sekitar seminggu kemudian, alhamdulillah Kanaia lulus dari ujian ini. Dia tak lagi ditunggui ibunya. Di dalam kelas pun dia bisa berbaur dengan teman-teman yang lainnya. Sesekali aku mendengar saat ada teman yang menggodanya, “Kanaia, kamu nggak nangis lagi? Nanti biar digendong Bu Ika lagi. Kayak anak bayi. Hahahaha.”
Aku yang mendengar ikut terkekeh. Dasar anak-anak.
***
Perjuanganku belum berakhir. Lepas dari perkara ibunya, Kanaia jadi sangat nge-fans kepadaku. Hahaha. Kalau aku tak ada di depan matanya, dia tak mau masuk kelas.
Saat jam olahraga, aku harus ngejogrok di depan kelas mendampinginya. Padahal ada guru olahraga tersendiri. Kalau aku tidak berangkat, dia guling-guling di depan kelas.
"Bu Ika mana? Bu Ika, Kanaia maunya sama Bu Ika."
Hahaha. Ternyata gini ya punya fans berat. *garuk-garuk tembok*
Alhamdulillah, saat tulisan ini tayang, Kanaia sudah jadi anak selayaknya teman-teman yang lain. Dia tetap nge-fans denganku, tapi sudah tidak berlebihan. Dia sudah tidak bergantung kepadaku. Palingan, seperti kejadian hari ini.
"Bu, ibuku mana? Aku belum sarapan." Aku pun memberi kabar ibunya dan 5 menit kemudian ibunya sudah membawa bekal makanan. Mendengar suara motor ibunya dia langsung cengengesan.
Atau saat pulang sekolah, "Bu Ika piye toh, ibuku kok belum jemput?!"
Blaik.
Hahaha.
Untung saja ada WhatsApp.
Waa... aku mbrebes mili bacane. Ada juga temen anakku yang ortunya gitu Mbak. Wali murid yang lain sampai guemess.. pol mbak., Hehehe, lika liku ngajar memang penuh warna ya
BalasHapusWaah banyak drama juga sama anak2 ya Ikaa. Seru dijadiin buku nih xixixi.
BalasHapusMasyaALlah.... kusuka gaya Bu Ika waktu nasihatin ibuknya Kanaia. harus digituin deh.
BalasHapusKadang memang ada orangtua yang modelnya begitu, ya. btw kalau urusan indra ke-6 itu mungkin sebaiknya disaranin untuk ruqyah, Mbak. aku pernah dengar dan tanya ke ustadz kalau sebenarnya indra ke-6, indigo dll itu nggak ada, adanya seseorang yang kena pengaruh jin. allahua'lam
Hooh, Mbak. Aku sudah saranin ibunya demikian. Tapi, soal kebenaran memang punya indra keenam atau nggak aku kurang tahu. Soalnya dia ya tidak memunculkan gerak-gerik yang mencurigakan di kelas. Cuman takut, nangis ditinggal ibunya saja itu.
HapusJadi ingat pas Nadia masuk SD dulu gurunya langsung pesan tidak ada ortu yg boleh nunggu. Begitu anak masuk kelas silakan ditinggal. Bismilah kalo ibunya ikhlas anaknya juga akan ikhlas nangis sebentar aja. Dan ternyata bener anak2 nangis cuma bentar bis tu lanca aja.
BalasHapusMasyaallah bu guru ika perjuangan mu. Kalo aku jd muridmu mungkin aku bakalan ngefans juga hahahha
Menjadi guru, terutama anak SD memang perlu banyak stok sabar ya mbak.
BalasHapusKadang memang ortunya yang nggak tega ninggalin anaknya, padahal anaknya mestinya gpp, jadi ikut terpengaruh deh.
Syukurlah si Kanaia sudah nggak minta ditungguin lagi.
Jadi guru tantangannya dobel, ya. Harus berhubungan dengan murid dan orang tua. Bersyukur kalau orang tuanya bisa kerjasama. Kalau yang seperti itu juga saya rasanya tepok jidat :D
BalasHapusSerunya menjadi guru ya Mba, ada ada aja hal yg bikin teraduk2 apalagi klo udah ada hubungannya sm orang tua. Kanaia cerdas, jgn takut lg ya di kelas
BalasHapusSuka deh dengan cara Ibu Guru yang satu ini untuk menghadapi wali murid yang "beda" hehe.. memang menjadi Ibu Guru itu sekaligus jadi psikolog ya bu secara sadar maupun tidak sadar, guru itu sering jadi tempat curhat siswa maupun orangtua siswa.. berkah ya bu guru.. InshaAllah semakin bahagia
BalasHapusKebayang mbak betapa heboh dan kudu sabar sepanjang waktu. Ibu saya juga guru SD kelas 1. Kl pas mudik, saya dapat hadiah cerita2 curcolan ibu wkkk .nano nano deh. Luar biasa sabarnya jenengan. Kl saya yang jadi guru kelas 2, mungkin udah ikut nangis 😂
BalasHapusBu Ika, aku pengen ikut kelasmu hahahah pengen dipeluk dipukpuk wakakak
BalasHapuslucu ya kisah anak2, bu Ika memang punya kesabaran yang luar biasa.
Wah aku jadi terharu membacanya. Jadi guru memang nggak mudah ya mbak. Harus mengerti persoalan anak satu persatu
BalasHapusKadang lucu juga ya Bun kalau melihat kisah anak-anak
BalasHapusLucu banget yah anak-anak itu. Namanya juga masih anak-anak hehe
BalasHapusAku mau jadi Kanaia aja biar bisa digendong Bu ika hehe
BalasHapusMemang nggak mudah ya Bun kalau menjadi guru. Tidak hanya memahami muridnya saja akan tetapi juga memahami wali muridnya juga hmm
BalasHapusAku pun jadi ingat ada ibu2 yang memanjakan anaknya bahkan ikut lomba pun yang kerjakan adalah gurunya. Wah bahasanya mba Ika frontal juga pas balas whatsapp ke ortunya ya. HIhih
BalasHapusMungkin karena sudah sangat numpuk-numpuk emosiku ya, Mbak. Beberapa guru di sekolahku sudah turun tangan juga tapi nggak ada efek. Entah setan dari mana yang tiba-tiba merasukiku. Astagfirullah...
Hapusmbak ... aku makjleb lho dengan omonganmu ke ibunya yang sampai se-panjang-lebar itu. Tapi kesel juga ya. Kalau memang ga percaya dengan guru atau sekolah itu, yawes ga usah sekolah di situ. Eh malah ikut emosi jiwa :))
BalasHapusModel wali muridku yang satu ini memang seperti itu, Mbak, setelah kupahami sampai hari ini. Pas akhir semester 1 kemarin, beliau malah berterima kasih kepadaku karena Kanaia sudah jadi anak yang mandiri. Oiya, kapan-kapan kuceritakan tentang Kanaia dan teman-temannya yang masih suka ngedot.
HapusHffft..baca tulisan mbak ika serasa jd ortunya langsung. Bener2 merasuk. Mmg hrs jd pendengar yg baik ya...
BalasHapusAntara ngakak dan sedih juga ya. Ternyata mmg kudu tega kalo anak sekolah yawis pasrahkan saja sama gurunya
BalasHapusKerasa banget keselnya dpet ortu murid kaya gtu. Ngapain atuh nyekolahin anak kl ga percaya mah ya. Huhuhu. Tapi lagi2 tiap baca cerita mba aku aku pengen anakku masuk sd di sekolah mba aja wkwkwkw. Tp jauh hiks
BalasHapusAhahaha, terkadang jadi guru memang begitu, selain muridnya juga kadang lebih susah hadapi wali murid.
BalasHapusDuh jd jnget si bungsu dulu seminggu minta aku masuk ke dalam.kelas...eh keterusan..aku capek akhirnya kupindah saja sekolahnya krn memang sklh yg ini aku jg ga sreg pas liat metode pendidikannya. Beda agama yg punyanya jd ngajarin cara makan semua agama bergilir tiap hrnya...wah bagus dr segi lain dr segi agamanya jauh....sy coba masukin ke SD aja...sptnya anakku ga menikmati nyanyi2 anak TK..eh blm sehari sdh mau ditinggal....
BalasHapussalut banget sama mbak guru *bahasa apa inih mbak guru? hehe
BalasHapusaku gak kepikiran lho kok bisa sih si ibu itu beralasan anaknya punya indra keenam
luar biasaaa ya ibu2 jaman now, kebanyakan nonton youtube apa ya -__-"
Seru banget ceritanya. Perjuangan banget jadi guru. Bukan cuma menghadapi karakter anak, tapi juga wali murid. Keren deh pokoknya.
BalasHapusmemang Ya menjadi Guru itu sekaligus jadi org tua pengganti buat anak. Guru sering jadi tempat curhat siswa. berkah ya bu guru.. InshaAllah pahala
BalasHapushahahah Kania bikin gemezz deh, ya ampun jadi guru itu banyak lika-likunya yah mba, kudu punya jiwa yg besar sprti mba ika. Duh jaid kangen pengen jadi relawan mengajar lagi
BalasHapusGuru kelas 1 itu juara loh kaena selain harus sabar menghadapi murid kadang harus menghadapi ortu murid juga ya hihihi.
BalasHapusAku sempat lihat tuh ada ortu yg maunya masuk di kelas tapi pihak sekolah agak ketat gak bolehin masuk trus gak boleh terlihat ada di luar juga soalnya mengganggu jadinya
Jadi inget ki Nganti saiki ada loh orangtua yang nungguin anaknya sekolah padahal dia udah kelas dua. Terlalu manja banget.
BalasHapusMasyaAllah Bu Ika idola banget. Harus penuh sabar ya menghadapi anak dan yang pasti ortunya juga. Saya terlarut baca cerita Kanaia. Ditunggu bukunya ya, Bu. *eh hehehe.
BalasHapusMba ikaaa... aku juga ngefans deh sama dirimu. Saingan beratnya kanaia... keren mbak. Bisa tegas ya dirimu. Aku kok gabisa setegas itu.. jos mba ika
BalasHapusDuhhh ngena banget ceritanya , mendengar cerita ini saya jadi intropeksi nih sebagai ortu dan sebisa mungkin kalau dah di sekolah ya tugas guru.
BalasHapusMasyaAllah aku tuh selalu kagum sama guru yang mau peduli juga sampai ke orangtua murid. Emang kalau gak ditegasin banyak orang tua anti tega haha aku jg kadang
BalasHapusHadjuuh~
BalasHapusAnaknya pinter cerdas sholiha gitu yaa...mashaAllah~
Senang sekali aku baca Teacher Lyfe-nya mba Diyan.
Seruu yaa...
Sekaligus menengangkan.
Karena bagaimanapun, yang dihadapai adalah berbagai jenis kepribadian.
Perjuangan guru SD emg luar biasa ya. Kanaia smoga jd ank yg mandiri dbwh bimbingan bu ika ya dek.
BalasHapusya ampuuun mba..aku gemes dengan Ibu seperti itu...padahal ini pelajaran paling penting untuk semua anak-anak. Harus Mandiri yaaa Mba. Love the way you treat her well..
BalasHapusKalau di mantan ((MANTAN)) sekolah anakku dulu, semua ortu gak boleh nungguin dan itu gak bisa diganggu gugat hehe. Haha skrng gak ada ibu, malah bu guru yang jd jujugan yaa. Seru ngikutin cerita2 bu guru :D
BalasHapusYa Allah, terharu banget bacanya Ika, perjuangan jadi guru ya..semoga Allah memberi kemudahan selalu ya aamiin..
BalasHapushaha kok saya bacanya geregetan ya mbak xD bagus mbak, dirimu bisa tegas sebagai guru, aku setuju bahwa tidak berarti semua yang diminta anak itu harus dituruti :D
BalasHapusBu Guru ...panjangnyaaaa ususmu... Hehe... Salut utk Bu Guru Ika.. Sukses selalu ya..
BalasHapusWhoaaa Bu Ika,
BalasHapusCeritanya seru banget. Jadi nge fans nih. Boleh kan nambah fans Bu Ika?
Keren cara mengatasi masalahnya. Hal2 begini emang seru untuk dijadiin bahan sharing.
Thank you for write this story mbak.
Hahaha saya senyum-senyum mba baca ini pernah ngalamin ini malah sampai pertengahan semester
BalasHapusSeru banget ya mbak..aku juga pernah punya pengalaman dibuntutin dan didusel2 siswa dulu tapi belum seheboh Kanaia..emang dunia anak2 membuat gurunya makin kreatif
BalasHapusJadiii, bener gak sih Mbak Kanaia ini bisa lihat yg gak kita lihat? Beneran punya indera keenam gitu ya? Teruuss, penasaran juga deh Mbak, waktu Mbak balas WA Ibunya Kanaia dengan panjang lebar marah gitu, Ibunya ikutan marah juga kah?heheheh.
BalasHapusGemeesss ya punya wali murid seperti itu :D
Sejauh pengamatanku dia biasa saja, Mbak. Maksudnya tidak menunjukkan gerak-gerik yang aneh. Kalau muridku yang dulu2, dua kali punya murid demikian, dia sesekali tampak kaget nggak jelas, kadang takut2 nggak jelas.
HapusTentang ibunya, sumpah, setelah marah2 itu aku gimanaaa gitu, agak takut kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Eh, malah, ibunya minta maaf kepadaku. Terus pas kumpulan ambil rapot, ibunya mengucapkan terima kasih di depan wali murid yang lain karena anaknya sudah mandiri, nggak seperti yang dulu.
Wkwkwkwkwkwkwk, aku ngakakkkkk. Hahahaha, ya Allah segitunya ngefans sama Bu Ika ya. Hahahahah.
BalasHapusAku salut dg caa mbak mengatasi masalah ini. Keren banget, kata-katanya menumbuhkan percaya diri anak. Salam hormatku untkmu, bu Guru.
Oalaahh... ada aja ya problematika guru kelas 1 SD. Luar biasa nih bisa menaklukkan Kanaia dan ibunya. Ternyata anaknya ngga kenapa2 ya, orang tuanya aja yang ga bisa memandirikan anaknya.
BalasHapusJustru dulu aku yang sering dapet tuduhan ibu raja tega karena anakku menangis meraung-raung aku tetep balik kanan untuk pulang. Itu kejadian pas anak lanang masih TK. Hihiii... serba salah ya. Tegas pada anak dikatain tega, super care pada anak jadinya anak manja. :))
Sekelebat bayangan terpental puluhan tahun yang lalu dimana merasakan hal yang sama persis kondisi menghadapi berbagai sikap para ortu murid.Keep spirit y mba Diyanika
BalasHapus