“Tin tin…tin tin tin…,” laki-laki berjaket oranye yang ada di depanku itu menyapa segerombolan anak SD.
“Assalamualaikum, Pak.” Kompak, anak-anak itu menyapa beliau sambil melambaikan tangan.
Bulu romaku seketika berdiri.
Aku baru ingat, laki-laki berjaket oranye ini adalah guru purnabakti yang sering bersimpangan denganku ketika berangkat ke sekolah. Ternyata, dulu, beliau mengajar di SD ini to, batinku.
Satu yang membuatku kagum kepada sosoknya, yaitu berkali-kali, beliau membunyikan klakson motornya setiap kali bertemu dengan (mantan) anak didiknya. Tak pandang bulu, baik itu anak didik yang sudah duduk di kelas tinggi maupun rendah, semua dengan kompak menyapa kembali gurunya.
Seketika, aku menebak, ini guru pasti sangat diidolakan oleh anak didiknya. Pun, beliau juga tidak jaim. Nyatanya sepanjang jalan, beliau selalu menyapa mereka sekalipun ada yang tidak menjawab sapaannya, karena tidak mengetahui kehadirannya.
Aku, berstatus guru juga, ketika bertemu dengan anak didikku yang sudah lulus saja kadang malas menyapa. Biar mereka dulu lah. Iya, kalau mereka masih ingat aku sebagai gurunya. Kalau tidak? Begitu pikirku.
Ah, laki-laki berjaket oranye ini begitu inspiratif. Kuyakin, Indonesia sangat butuh guru sepertinya. Guru yang sangat peduli kepada anak didiknya, meskipun kepedulian itu dalam hal yang sering kita anggap sepele.
Guru yang Peduli itu, Harus!
Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama yang pernah menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta pernah berujar dengan tegas, "Kalau tidak peduli terhadap murid-muridnya, saya minta diberhentikan saja sebagai guru. Kalau guru tapi hatinya enggak mau jadi guru, ngapain? Mending ngurus kuburan aja. Saya masih bisa cari guru les."
Kesan ungkapan Ahok begitu arogan. Tapi, memang harus demikian, bukan? Karena guru memang harus peduli kepada anak didiknya. Peduli secara fisik maupun psikisnya.
Karena guru yang peduli itu,
Tahu apa yang dibutuhkan oleh anak didik.
Tahu bahwa tugasnya tidak hanya menyampaikan materi pembelajaran.
Tahu karakteristik anak didik.
Tahu di mana dia berada.
Paham apa yang harus dipelajari dan dibutuhkan oleh anak didiknya.
Bisa menjadi panutan dan mengayomi anak didik.
Mampu menciptakan kegembiraan.
Mampu menciptakan keamanan dan kenyamanan.
Mau mengabdikan diri.
Memiliki loyalitas tinggi di dunia pendidikan.
Memberikan harapan untuk mereka yang 'bermasalah'.
Dan guru yang peduli akan mampu menarik hati anak didiknya sehingga akan memudahkan proses pembelajaran. Bukankah saat anak didik 'tertarik' dengan gurunya, itu akan memudahkan anak-anak untuk memahami apa yang disampaikan oleh guru?
Menjadi guru yang peduli itu memang tidak mudah. Banyak godaan. Diremehkan. Dicaci maki. Dikira cari muka. Padahal guru yang peduli rela berkorban lelah jiwa dan raga untuk secercah harapan untuk generasi gemilang negeri ini.
Benar kata seorang sahabat, Mas Ulil namanya, guru yang peduli di SD Inpres Kulur, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, "Kita harus tetap semangat jadi guru yang peduli. Tetap dipaksa untuk ikhlas. Wajib. Bukan seberapa besar yang kita dapat, tapi seberapa besar yang kita beri, dengan kesungguhan hati. Idealnya, kita mencontoh yang baik. Akan tetapi, jika di sekitar kita tidak ada contoh yang baik, berarti kita sendiri yang melakukan kebaikan itu. Syukur-syukur akan dicontoh yang lain. Bukan mengharapkan ke-ria-an, tapi mengharap kebaikan itu menular sehingga kita tahu ada yang berjuang bersama-sama untuk melakukan kebaikan itu, bukan hanya kita sendiri."
Apakah kita termasuk guru yang peduli itu? Aku? Ah, masih jauh dari kata peduli. Tapi, yakin, kita pasti bisa!
Mas Ulil bersama anak didiknya. Tetaplah jadi guru yang peduli. Di mana pun kita berada. Yes?! Foto dokpri Mas Ulil |
Berilah Papua Guru yang Peduli, Peran Serta Pemerintah, dan Program Guru Pelosok
Kenapa Papua?
Menurut Lisa Duwiry -seorang aktivis muda yang berasal dari Papua- yang kulansir dari suara.com (2019), pendidikan di Indonesia memang sudah mengalami kemajuan. Akan tetapi, belum merata. Karena di Papua, hampir 40% anak-anak mengalami buta huruf. Bukankah angka tersebut sangat memprihatinkan?
Kepala Staff Kodam XVII/ Cendrawasih Brigjen TNI Irham Waroihan saat FGD di Markas Besar Angkatan Darat Jakarta menambahkan, bahwa pendidikan di Papua mengalami ketertinggalan bukan hanya perkara kurangnya sarana dan prasarana saja. Melainkan karena mindset warga yang belum menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama. Mereka berkeyakinan untuk apa sekolah, lebih baik pergi ke ladang agar bisa makan.
Anak-anak tetaplah anak-anak. Haknya sama. Seperti halnya berteduh di langit yang sama. Kenapa keadaan harus berbeda? Foto dokpri Mas Ulil |
Padahal, anak-anak Papua itu tidak bodoh. Mereka sama dengan anak-anak Indonesia lainnya. Mereka hanya kurang beruntung atas nama keadaan. Toh, kabar terbaru yang kulansir dari papuanews.id, ada anak muda asli Papua, yaitu Sherina Fernanda Msen, yang mengeyam pendidikan di Universitas Corban Oregon Amerika Serikat telah berhasil lulus dengan predikat Magna Cum Laude atau predikat kehormatan. Bukankah ini membuktikan, bahwa anak-anak Papua juga memiliki kesempatan masa depan yang gemilang, apabila memiliki keadaan yang sama dengan yang lainnya?
Satu lagi faktor penunjang ketertinggalan pendidikan di Papua, yaitu kurangnya tenaga guru. Mungkin, banyak guru yang belum terketuk pintu hatinya untuk mau menjadi guru yang peduli terhadap anak-anak Papua. Karena untuk mengajar di pedalaman sangatlah berat dan butuh modal yang besar. Ini tak sebanding dengan apa yang diterima oleh guru, sebut saja gaji.
Alhamdulillah, angin segar pun datang.
Langkah besar dan patut kita acungi jempol, dalam rangka bangun perbatasan jadi terasnya Indonesia di tahun 2019 ini (Mei 2019 mulai terjun), pemerintah mengirim 900 prajurit TNI-AD untuk menjadi guru pengganti setelah mengikuti pelatihan sebelumnya. Mereka akan menjadi guru bagi anak-anak Papua, selama belum ada guru tetap.
Langkah besar dan patut kita acungi jempol, dalam rangka bangun perbatasan jadi terasnya Indonesia di tahun 2019 ini (Mei 2019 mulai terjun), pemerintah mengirim 900 prajurit TNI-AD untuk menjadi guru pengganti setelah mengikuti pelatihan sebelumnya. Mereka akan menjadi guru bagi anak-anak Papua, selama belum ada guru tetap.
Merinding nggak sih, sebanyak itu lho prajurit TNI-AD mengabdikan dirinya. Kita (eh, kita) sudah melakukan apa untuk negeri ini?
Pemerintah memang tak sendiri, pun tidak bisa berjuang sendiri agar bisa mewujudkan perubahan untuk Indonesia yang lebih baik. Anak muda bangsa ini pun banyak yang tergerak hatinya untuk ikut serta membangun Papua dengan caranya. Satu diantaranya lewat program guru pelosok. Banyak sekali macamnya. Diantaranya:
- GGD (Guru garis depan), ini adalah program pemerintah, akan tetapi, kabarnya sudah ditiadakan. Tolong koreksi kalau aku salah informasi.
- Indonesia Mengajar, saat ini sedang ada pembukaan untuk yang ke 19. Siapa tahu ada yang mau ikutan?
- 1000 Guru
- Komunitas Jendela
- Indonesia Menyala
- Skholatanpabatas (STB)
- Sure Indonesia
- Akademi Berbagi
- Guru Penggerak Daerah Terpecil
- Komunitas Jalan Bagi
- Dan mungkin masih banyak lagi yang belum terekspos oleh media.
Semua program guru pelosok di atas diperuntukkan untuk anak muda Indonesia. Tidak harus yang lulusan guru. Kalau kamu tertarik salah satu di antaranya, kamu bisa cari informasi detailnya di sosial media.
Mimpiku untuk berbagi di pelosok negeri memang tidak terlaksana. Tapi, aku selalu mendapat kekuatan setiap kali melihat potret-potret kawan yang berjuang di sana. Foto dokpri Mas Ulil |
Dulu, saat aku masih kuliah dan baru kenal salah satu program guru pelosok, yaitu Indonesia Mengajar, aku adalah kompor bagi teman-temanku. Aku mengajak mereka untuk sungguh-sungguh kuliah, berjuang, agar kelak saat lulus kuliah bisa ikut program tersebut dan mengajar di pelosok negeri. Bertemu dengan anak-anak negeri yang belum beruntung.
Sayang, mimpiku itu pupus oleh tangis pilu ibuku, "Kamu anak satu-satunya, Bapak Ibu. Kalau kamu pergi, Bapak Ibu terus piye (bagaimana)?"
Alhasil, aku tetap di sini, dan berjanji akan tetap mengabdikan diriku sebagai guru. Mungkin memang tidak ke pelosok negeri. Saat ini di pelosok desa pun tantangannya begitu luar biasa. Bismillah, di manapun kita berada, wajib hukumnya untuk selalu berusaha menjadi guru yang peduli. Kamu, yang memiliki kesempatan untuk mengabdikan diri ke pelosok negeri, hajar terus!
Korindo dan Papua
Pernah mendengar Korindo? Adalah sebuah perusahaan non-publik yang berasal dari Korea. Perusahaan ini mulai masuk ke Indonesia pada tahun 1969 dan bergerak di bidang perkayuan di Kalimantan. Kemudian, perusahaan ini tidak hanya mengelola hutan industri yang luas di Kalimantan, tapi juga melakukan diversifikasi ke bidang lain, seperti industri berat (antara lain konstruksi turbin dan bus), keuangan, dan real estate.
Korindo termasuk dalam perusahaan terdepan di berbagai industri di Asia Tenggara. Visinya perlu diapresiasi, yaitu membangun hubungan yang harmonis antara kegiatan bisnis perusahaan dengan masyarakat dan pemangku kepentingan terkait lainnya, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian secara terus-menerus.
Kenyataannya, di tahun 1993, Korindo mulai masuk ke Papua. Sepak terjangnya di sana membawa angin segar bagi penduduk setempat, khususnya di bidang pendidikan, dengan memberikan beasiswa kepada 2.500 siswa dari SD-Universitas, pemenuhan fasilitas sekolah, pembangunan 20 gedung sekolah, 25 bus sekolah hingga menyiapkan honor bagi 179 guru-guru di daerah terpencil.
tampilan website korindo.co.id |
Terbaru, di tahun 2018 lalu, Korindo membangun dua asrama khusus pelajar yang berasal dari Kampung Taga Epe, Kampung Ihalik, Kampung Nakias dan Kampung Salam Epe Distrik Ngguti. Asrama ini letaknya dekat dengan perusahaan. Tujuannya, agar anak-anak dari karyawan bisa tetap sekolah dan jarak tempuh ke sekolah tidak terlalu jauh. Karena kebanyakan dari mereka tinggal di daerah pedalaman. Orangtua sibuk bekerja, anak-anak tetap sekolah.
Peran Korindo sangat besar di Papua. Tidak hanya fokus ke anak-anak Papua, selaras dengan visi yang diusung, Korindo juga mengedukasi warga setempat untuk menanam sayur dan menyediakan lahan untuk menanam padi. Tak heran kalau perusahaan ini menyabet berbagai penghargaan bergengsi.
Tentu banyak sekali peran Korindo untuk Papua di bidang lain. Kamu bisa cari tahu langsung di website atau akun sosial medianya. Terpenting, besar harapanku, banyak perusahaan-perusahaan lain yang juga tergerak hatinya untuk ikut membangun Papua lewat dunia pendidikan. Karena kita tahu, dengan pendidikan, SDM (sumber daya manusia) Indonesia yang lebih berkualitas bisa tercipta. Kalau SDMnya berkualitas, tentu akan memberikan efek ke bidang lainnya, seperti perekonomian warga yang meningkat.
Nah, untuk kita, yang saat ini belum bisa berkontribusi secara langsung untuk Papua, khususnya di dunia pendidikan, paling tidak, kita berusaha semaksimal mungkin untuk menjalani kehidupan kita saat ini. Ciptakan SDM yang mumpuni dalam diri kita. Ingat, bukan apa yang kita terima dari negeri ini, tapi apa yang sudah kita beri?
Potretku saat melayani anak-anak. Foto dokpriku |
PR besarku, kini, aku tak boleh lelah untuk menjadi guru yang peduli. Karena guru yang peduli sesungguhnya tidak hanya dibutuhkan di Papua saja. Di manapun. Untuk mencetak anak-anak bangsa yang berkualitas, baik itu di ranah akhlak ataupun intelektual. Bismillah, guru yang peduli untuk Papua, guru yang peduli untuk Indonesia.
Bahan bacaan:
https://megapolitan.kompas.com/read/2016/01/19/14015171/Ahok.Berhentikan.Saja.Guru.yang.Tidak.Peduli.pada.Muridnya
https://nasional.kompas.com/read/2012/11/26/0537173/pendidikan.perlu.guru.yang.serius.dan.peduli
https://mediaindonesia.com/read/detail/222642-pendidikan-di-papua-butuh-solusi-luar-biasa
https://www.idntimes.com/life/education/pinka-wima/program-guru-pelosok-yang-wajib-diikuti-anak-muda
https://www.korindo.co.id/beasiswa-korindo-untuk-anak-bangsa
http://www.rri.co.id/post/berita/385841/ruang_publik/csr_korindo_group_papua_bantu_pendidikan_anakanak_kurang_mampu.html
https://www.pasificpos.com/item/23932-bangun-asrama-pelajar-wujud-kepedulian-perusahaan
http://csr-indonesia.com/2016/11/02/ada-untuk-asiki-sekelumit-sejarah-47-tahun-korindo-di-papua/
https://papuanews.id/2019/05/05/satu-lagi-putri-asal-papua-berhasil-ukir-prestasi-di-amerika/
Adik tingkat aku juga GGD nya di papua. Tapi begitu selesai dia kembali lagi ke Jawa dan kayaknya ga lanjutin deh.. sayang ya memang.. akan tetapi ada juga temenku yang sampai skrg bertahan di papua sama suaminya.
BalasHapusItulah yanh disayangkan, Mbak. Jadi, kebanyakan program guru pelosok ini memiliki jangka waktu tertentu/berperiode. Padahal namanya guru kan selama dibutuhkan.
HapusMemang belum sepenuhnya merata ya mbak. Di tempatku aja masih kurang lho. Dan guru2 yg dikirim ke byk tempat di pelosok bener2 bikin aku salut
BalasHapusAku dl juga pengen ikut IM, Mbak. Tapi sama ibuk ga boleh. Khawatir anak cewek kalo sampe pelosok2. Skrg ya udah, jd guru buat anak aja di rumah :D
BalasHapusMantap banget, Bu. Begitu banyak pihak yg peduli dengan kualitas pendidikan di negeri kita. Semoga membawa ke arah yg lbh baik. Aamiin..
BalasHapusSemoga semakin banyak pihak yg terlibat aktif dalam pemerataan pendidikan ini, termasuk untuk daerah2 tertinggal ya Ika..
BalasHapusAku senang baca artikel ini. Ada optimisme dalam pendidikan di Indonesia, khususnya di daerah terpencil seperti Papua. Emang pendidikan itu hak semua anak. Selayaknya semua anak mendapatkan guru, terlebih guru yang peduli. Terima kasih juga untuk mbak Ika yang sudah berbagi. Semoga info ini berguna untuk siapa saja yang membaca, termasuk aku.
BalasHapusDulu guru-guruku di Jayapura kebanyakan pendatang yang sudah tinggal puluhan tahun di sana, semoga pendidikan Indonesia merata hingga pelosok ya..
BalasHapusJadi, memang benar kebanyakan dari luar Papua ya, Mbak. Kemarin ada pendaftaran CPNS, ini masih ada waktu sih pembukaannya, orang luar Papua juga dapat jatah.
HapusGapapa Ika ga ikut jadi guru di pelosok, dimanapun tetep butuh guru yang peduli seperti dirimu. Emang jodohnya jadi guru di Jawa, insyaAlloh ada temen2 lain yang bisa mengabdikan diri jadi guru di pelosok ya.
BalasHapusAamiin, Mbak. Di manapun berada ya. Salut, untuk mereka yang mau berbahi dan membangun Papua. Kemajuan Papua, kemajuan Indonesia.
HapusAku pernah ngerasain jadi guru di gunung, anak-anak didikku udah gede2 banget tapi banyak yang belum bisa baca. Andai dulu masih single, aku pasti lanjutin ngajar di sana.
BalasHapusBTW, nggak banyak guru yang bener-bener punya jiwa mengabdi dan mengajar dari hati (aku kayaknya bukan termasuk yg ini), padahal negara kita sedang butuh guru-guru semacam ini
Teman sekolah suamiku ada yang setia mengabdi di Papua.
BalasHapusSemoga Papua umumnya semakin banyak ditinggali guru-guru terbaik.
Semoga pula segera ada generasi Papua sendiri yang rela mengabdi bagi tanah kelahirannya. Aamiin
Mengapa aku tertarik ya meminta anakku menjadi guru di Papua meski mereka bukan lulusan guru nantinya. Aku ikutan bangga dengan keikutsertaan 900 prajurit TNI-AD menjadi guru pengganti di Papua. Nah, kalo Bu guru Ika menjadi guru di sekolah yang sekarang udah menjadi bukti kepedulian guru yang baik dan peduli pada murid-muridnya
BalasHapusNggak papa, Bu. Bisa kok yang bukan lulusan guru. Alhamdulillah, akan bertambah calon-calon pejuang untuk Papua.
HapusDi tangan gurulah letak kemajuan peradaban bangsa ya. Selain didikan orang tua tentunya.
BalasHapusLangkah Korindo untuk meningkatkan kemajuan pendidikan di daerah terluar memang pantas diacungi jempol. Hak anak2 di daerah terluar dan tertinggal pun perlu diperhatikan agar tak hanya Jawa saja yang mengalami kemajuan.
Redaksinya keren.
BalasHapusSudahkah pendidikan di Indonesia merata? Tentu saja belum. Masih banyak banget kesenjangan terutama dengan daerah 3T.
Itu adalah PR bersama, seluruh warga Indonesia, yang tentunya juga harus didukung oleh pemerintahan yang adil.
Tangan pertama untuk menjadikan generasi berpendidikan adalah guru. Namun kenyataannya, tak semua daerah dapat merasakan kehadiran guru seperti yang diharapkan (seperti keterbatasan jumlah guru).
Semangat Bu Guru. Jadi guru di daerah itu tidak mudah. Kami mengalami juga. Meski di perbatasan Kab. Bandung dan Kab. Cianjur, tapi karena akses masih sulit, pengorbanan kita rasanya gak sebanding dg gaji yg diterima. Tapi jika kita ikhlas dan tangguh, insyaallah semuanya jadi tabungan terbaik. Amin
BalasHapusAku senang sih kalau ketemu sama guruku sejak TK smpe SMA di jalan. Jika pas sama2 liatin ya nyapa. Makanya ada sensasi seneng gitu hehheee.
BalasHapusSkrg kayak jarang itu program guru yg digagas pemerintah ya mbak. Atau memang belum banyak peminatnya?
Aku aja ikut kelas inspirasi jauh2 dr rumah udah dilarang. Apalagi harus sampai ke Papua
Semoga para guru yang akan menjadi pendidik mereka anak2 yg di Papua bisa menjalankan tugasnya dengan baik amiin
Peminatnya banyak banget, Mbak. Cuman ya kan bergelombang. Jadi setahun pulang, ganti baru lagi. Tapi, yang dari pemerintah kabarnya baru dievaluasi. Ada juga yang cerita kalau sudah nggak ada. Sayang sebenarnya.
HapusGuru yang benar-benar tulus mengabdi untuk bangsa ini masih jarang, apalagi bila berbenturan drngan kepentingan dan kebutuhan.
BalasHapusSalut dengan perjuangan mbak Diyanika dan kawan-kawan ^^
Wow! 900 TNI yang akan menjadi guru bagi anak2 Papua sambil menanti para guru lainnya? Luar biasa. Kebayang betapa mulianya hati para TNI ini dalam membuka cakrawala anak2 didiknya nanti, mengedukasi mereka dengan berbagai pengetahuan dasar, umum juga bela negara.
BalasHapusSemoga niat mulia siapa pun yang berjuang di garis pemberdayaan pengetahuan bagi anak-anak di mana pun berada di seluruh pelosok negeri ini, dikancarkan dan dimudahkan, barokah. Aamiin. Jadi terharu....
Korindo? Baru dgr aku Mba. Dan salut dengan visi misi mereka. Semoga semakin luas wilayah kerjanya agar semakin meluas pula ‘sentuhan’ kebaikannya bagi wilayah sekitarnya ya!
Artikelnya inspiratif banget, Mba. Thank you for sharing!