Aku termasuk dalam tipe orang yang men-skip berbagai pemberitaan berkaitan tragedi Kanjuruhan. Terutama di instagram, duh, beritanya ada mulu, lengkap dengan foto dan videonya pula. Ngeri. Aku sampai meng-unfollow akun berita yang selama ini kuikuti. Ya, karena energi sedihnya kuat banget.
Eh, pas baca postingan Habib Ja'far, duh dek, otomatis mewek. Ikutan ngilu. Aku nggak mau ngebayangin bagaimana perasaan ibu yang dipamiti anaknya nonton bola, tapi pamitnya ternyata untuk selamanya.
Karena saat orang terkasih pergi secara tiba-tiba itu rasanya...
Tidak bisa diketik menjadi kata.
Ibuku, 11 Februari 2020 lalu meninggal dunia. Bisa dibilang sakitnya dari September tahun 2019, itupun beliau masih bisa beraktivitas seperti biasa dan menjalani terapi di rumah sakit. Seperti orang sehat, tak tampak sakit. Tapi secara mendadak, Desember beliau drop dan divonis kanker payudara stadium 3C yang dokternya berbisik, "Kemungkinan hidupnya tak lama lagi."
Aku yang saat itu melihat semangat ibu berobat, kemudian cerita perjuangan pengidap kanker yang bisa bertahan hidup, merasa kok gini, saat ibuku meninggal seminggu setelah kemo yang pertama.
Iya, kok gini sih cerita Allah untukku?
Apalagi di saat ibuku dinyatakan meninggal justru aku, anak tunggalnya, harus mengurus semua tetek bengek kepulangan ibu dari rumah sakit, lari ke sana-sini mengurus administrasi, menguatkan saudara yang meraung-raung di depan kamar IGD, dan duduk di sebelah sopir ambulance yang membawa jenazah ibuku.
Rasa di hatiku tidak bisa diketik menjadi kata. Air mataku tak tumpah sedikitpun.
Setelah 7 hari kematian ibuku, aku bermimpi tapi begitu nyata, ibuku berbisik di telingaku, "Ka, ibu di sini baik-baik saja."
Semenjak mimpi itu, tatkala aku cuci piring sendirian, memasak, aku menangis.
"Bu, ternyata ibu sudah meninggal." begitu bisikku.
Ya, saat orang terkasih pergi secara tiba-tiba, rasanya memang...
Tapi, hidup ini harus tetap kita jalani, bukan?
Sudah 2,5 tahun, aku pun masih belajar meng-ikhlaskan, ya kalau ada masanya melow, wajarlah, ya. Sedikit berbagi saat orang terkasih pergi secara tiba-tiba dan kita harus tetap menjalani semua kenyataan yang ada:
- Akui, iya aku sedih karena kehilangan dia (orang terkasih). Pengalamanku saat tak bisa menangis-sebut saja tak bisa mengakui kenyataan, saat ibu meninggal membuatku terlalu lama 'sembuh'.
- Terima kalau ini memang sudah takdir. Memang harus seperti ini jalannya. Memang ini yang terbaik untuk siapapun. Mau secara tiba-tiba atau merawat orang terkasih sakit yang bertahun-tahun, semua punya cerita dan akan tetap memberikan bekas-sedih di hati kita. Inilah takdir yang terbaik untuk kita.
- Cerita, jangan dipendam. Kalau tak ada teman atau orang yang bisa diajak cerita, tulis saja. Insyaallah itu mujarab.
- Datangi makamnya. Semenjak kematian ibu, aku tipe orang yang jarang sekali menangis. Tapi, saat ke makam, aku bisa menangis nggak karuan. Bukan tangisan duka, akan tetapi lebih bersyukur karena diberikan takdir yang bisa menguatkanku untuk melanjutkan hidup.
- Percayalah, bersama kesulitan itu ada kemudahan. Ada maksud dari Allah, itu pasti. Kalau diminta, aku tidak usah diangkat PNS asal ibu tidak meninggal secepat ini. Tapi, aku sadar, selama ini aku berdiri dengan kaki ibu dan saat Allah mengambil ibu, Dia ganti dengan kemudahanku untuk berdiri di kakiku sendiri.
Di penghujung postingan ini, aku ingin mengucapkan ikut berbelasungkawa bagi korban tragedi Kanjuruhan. Insyaallah korban yang meninggal diberikan tempat terindah di sisi Allah SWT. Untuk keluarga yang ditinggalkan insyaallah diberikan ketabahan dan kelapangan dada. Aamiin.
Hidup ini harus tetap dijalani. Terlepas keriuhan dalam pengusutan tragedi Kanjuruhan, ini semua sudah menjadi takdir. Siapapun yang menjadi tersangka, biarlah yang berwenang mengurus semua ini. Toh, jika pengadilan di dunia tidak berkutik, pengadilan yang sesungguhnya tidak bisa dihindari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar