“Kenapa anakku tidak seperti anak-anak pada umumnya, ya?”
Itulah pertanyaanku dengan ditemani rasa jengkel nan keheranan saat anakku yang pertama masuk PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini).
Bedanya apa dengan anak seusianya? Kalau anak-anak lainnya mau ditunggui di luar kelas, beda dengan anakku, yang nunggui harus di samping kursi tempat duduknya. Begitu terus sampai awal masuk TK. Dari murid satu kelas, hal itu hanya terjadi pada anakku. Bahkan, saat TK B, di saat teman-temannya pada menolak diantar sampai masuk kelas, anakku? Ya, harus drama dulu, nangis sambil gedor-gedor pintu kelas.
Lihat ke arah yang nganter sekolah |
Anakku Berbeda
Saat itu, pertanyaan yang muncul dalam diriku, yang notabene sebagai guru SD, kenapa anakku terlalu beda dengan teman-temannya? Kenapa?
Beda cerita saat anakku masuk SD. Dengan keputusan mantab, kumasukkan dia di sekolah tempatku mengajar. Belum ada sebulan, kupingku setiap hari dibikin panas.
“Anakmu itu lho Mbak, nggak punya sopan santun. Kalau ditanya diam saja. Giliran jawab malah membantah.”
“Anakmu, Mbak, ngomong kasar kepada ibu kepala sekolah.”
Saat pertama kali mendapat cerita dari teman guru tersebut, duh, rasanya darahku seketika naik sampai ubun-ubun. Aku langsung memanggil anakku ke kantor guru dan memarahinya habis-habisan tanpa mendengar cerita kejadian yang sebenarnya versi dia.
Lagi, saat kabar kurang mengenak-kan hati datang dari guru kelasnya tentang teman sekelas anakku, yang sama-sama anak guru, tapi beda tempat tugas,
“Si ini itu pinter kalau pelajaran Matematika, bla bla bla bla....”
Padahal sebelumnya guru tersebut baru selesai cerita kalau anakku dapat nilai 20 di mata pelajaran tersebut.
Aku dan anak pertamaku |
Ya Allah, rasanya, entahlah, bingung harus bagaimana. Sampai-sampai aku pernah mikir, apakah anakku tidak punya hal yang bisa dibanggakan? Guru yang satu bilang anakku nggak sopan, yang lain bilang anakku lemah di pelajaran Matematika. Kok rasanya lingkungan begitu mengintimidasi anakku, pun aku. Sebagai guru, aku sampai berpikir, bagaimana caranya menemukan ‘sesuatu’ dalam diri anakku sendiri? Jujur, aku juga malu.
Disadarkan oleh Nasihat Orang Lain
Hampir setiap hari mendapat celoteh dari teman guru mengenai kekurangan anakku, aku pernah berpikir, apakah keputusanku memasukkan dia di sekolah tempatku mengajar ini adalah keputusan yang salah? Tapi, nggak mungkin juga kalau tiba-tiba kupindah ke sekolah sebelah.
Setiap anak-anakku sudah terlelap, obrolan sebelum tidur antara aku dan suami tak jauh-jauh dari cerita anak pertamaku di sekolah.
“Kita harus bagaimana, ya, Abi? Aku takutnya kalau ini malah berakibat tidak baik dengan Kakak. Jujur, aku juga merasa tidak nyaman, malu juga, Bi. Kalau anak kita terus-terusan dicemooh seperti itu, bagaimana?”
Suamiku menjawab, “Kamu yang sabar, Kakak nggak perlu dimarahi. Diajak ngobrol baik-baik saja.”
Gelisah, pasti. Setiap hari aku jadi deg-deg-an juga. Hari ini bakal ada kabar buruk apa lagi tentang anakku dari teman sejawat?
Hingga suatu ketika, aku hanya berdua dengan teman guru yang sudah senior di kantor guru.
“Bu, menurut panjenengan, saya harus bagaimana, ya?”
Makan sendiri dan nggak pakai drama |
Kuceritakan semua yang terjadi. Belum selesai ceritaku, beliau langsung menjawab, “Alah, Mbak, sudah biarkan saja. Panjenengan fokus kepada Ghifari (nama anakku). Namanya anak-anak, apalagi kelas 1, ya, wajar seperti itu. Tugas kita sebagai guru, apalagi orangtuanya, ya memang membenahi. Kalau panjenengan dapat kabar seperti itu, jangan langsung dimarahi! Itulah anak-anak. Anak-anak saya juga dulu seperti itu, kok. Maklum. Diarahkan saja.”
Belajar Menghargai Anakku Apa Adanya
Semenjak obrolanku dengan teman guru senior waktu itu, semua mulai kubenahi. Pelan-pelanlah. Kusadari dan terima bahwa semua butuh proses.
Aku sadar betul, ternyata, selama ini jago menghadapi problem murid-muridku, tetapi menghandle masalah anak sendiri malah kelimpungan. Hihihi, tunjuk hidungku sendiri. Malu.
Nah, saat teman sejawat mulai mengeluarkan keluhan tentang anakku, aku cukup menjawab, “Oh, ya? Maaf, ya, Mbak. Nanti kuperingatkan.”
Apakah aku marah dengan anakku setiap kali teman guruku mengadu kekurangannya? Tidak. Tapi, kuajak ngobrol dengan baik-baik. Biasanya, saat mengantar dia pulang, di atas motor, kami ngobrol ngalor ngidul. Kalau tidak sempat, saat makan dan hendak tidur adalah pilihan waktu yang paling pas untuk mengulas kegiatan yang dilakukannya selama seharian.
Pertanyaan yang kuajukan tidak langsung menjurus ke inti masalah. Kupancing dia dengan pertanyaan yang simpel, biasanya dia akan bercerita panjang lebar. Kalau memang kurasa ada yang kurang pas, aku pun memberitahunya mana yang salah dan harusnya seperti apa.
Dari kebiasaan yang kulakukan, yaitu lebih sering mendengarkan ceritanya, ternyata ada perubahan dalam diri anakku. Bisa jadi dia merasa lebih dihargai. Hal yang paling terasa bedanya adalah sekarang kalau aku minta bantuan, nggak perlu deh ngulang tolong tolong sampai beberapa kali. Alhamdulillah.
Kedua anakku, teruslah saling menyayangi. |
Ada suatu momen yang baru-baru ini terjadi dan membuat hatiku hangat. Suatu Minggu, di rumah ada acara memperingati 1000 hari ibuku. Sore hari, saat semua orang sudah pada pulang, kemudian suami sedang ke rumah mertua, tinggal aku dan anak-anak, tiba-tiba ada empat orang tamu. Eh, si adik rewel minta gendong terus. Padahal aku hendak menyiapkan minuman untuk tamu. Tahu-tahu, Kakak dari belakang sudah membawa gelas sesuai jumlah tamu, kemudian dengan tergopoh-gopoh menuang cerek berisi teh.
Mataku terkesiap melihat momen itu. Bibirku sejurus mengucapkan terima kasih kepadanya dan Kakak menghampiriku, memeluk pinggangku, dan berkata, “Lha adik rewel, Ummi repot.”
Seketika mataku mengembun. Ternyata, anakku bisa juga seperti itu.
Menjadi Orangtua yang Sabar dan Full Senyum
Namanya juga anak-anak, mereka sangat unik, rasa ingin tahunya tinggi, dan banyak sekali idenya. Sekarang ini, anakku sedang gandrung banget dengan yang namanya barongan. Hampir setiap saat main ke rumah sepupu untuk main barongan. Selepas isya dia sudah mengantuk, akhirnya tugas sekolah tidak tersentuh.
Pagi hari, susahnya minta ampun kalau dibangunkan. Alasannya, “Masih ngantuk, Mi. Ngantuk.”
Huuuhhh... sabar. Aku harus cari cara agar dia memiliki tanggungjawab dan disiplin terhadap tugas sekolahnya. Tapi, yang pasti kusampaikan adalah anakku tahu kalau yang dilakukannya adalah salah dan harus diperbaiki untuk ke depannya. Bagiku sangat wajar kalau anak melakukan kesalahan. Asalkan dia juga tahu bahwa kesalahan itu harus dijadikan pelajaran berharga untuk masa depannya, nanti.
Berbeda cerita kalau urusan salat berjamaah di masjid (kecuali subuh) bersama abi. Baru dengar adzan sudah teriak-teriak, “Abi, ayo jamaah, jangan malas!”, kemudian wudhu dan mengganti baju dan sarung terbaiknya, pakai parfum, kemudian mengeluarkan sepedanya untuk berangkat ke masjid.
Ya, menjadi orangtua memang harus sabar, syukur-syukur bisa selalu full senyum agar tetap waras dalam menyikapi plah tingkah anak-anak.
Aku Harus Bisa Menjadi Orangtua yang Bijak
Aku menerima kalau saat ini anakku memang lemah di pelajaran Matematika terutama materi pengurangan dengan teknik meminjam. Kalau aku bijak, kenyataan tersebut harusnya tidak membuatku kemudian menjudge bahwa anakku tidak bisa pelajaran Matematika. Toh, ke depannya, kesuksesan anakku tidak dijamin hanya dengan nilai akademiknya yang bagus saja. Karena aku sendiri pun mengalaminya. Dari SD sampai kuliah selalu mendapatkan nilai yang terdepan, akan tetapi saat terjun di lapangan, justru bukan perkara nilai yang membuatku bertahan sampai sekarang. Melainkan kekuatan dari dalam atau sering disebut dengan inner strength yang kumiliki.
Agustus lalu, saat aku disibukkan dengan kegiatan perkuliahan onlineku, sayup-sayup kudengar nama anakku disebut oleh suporter lomba di lapangan sekolah. Dari kejauhan ternyata anakku masuk final dalam lomba memasukkan pensil dalam botol. Ternyata, karakter pemberani dalam diri anakku kini tumbuh dengan pesat. Dulu, kalau ingat saat dia masih TK, tentu sangat berbeda dengan sekarang. Tanpa aku ada di dekatnya, dia sudah berani tampil di depan umum. Good job, Kakak!
Dari berbagai literatur yang kubaca, inner strength itu kuartikan sebagai karakter yang kuat dan positif, seperti percaya diri, kebaikan hati, rendah hati, tekun, dan sebagainya. Nah, karakter itulah yang dibutuhkan seseorang untuk bisa bertahan dalam menghadapi tantangan dan rintangan di kehidupannya ke depan.
Banyak cara yang bisa dilakukan orangtua untuk mengembangkan inner strenght pada anak. Seperti anakku, yang ternyata semangat sekali mengikuti pelajaran olahraga di luar kelas.
"Kalau jam olahraga aku bisa main sepak bola, Mi, dengan teman-temanku." jelas anakku.
Wah, mendengar anakku suka main sepak bola tentu girang hatiku. Karena sepak bola menjadi salah satu olahraga yang bisa mengembangkan inner strenght anak-anak. Karena dengan bermain sepak bola anak-anak bisa belajar mengasah kemampuan motoriknya, melatih fokus, ketangkasan, percaya diri, kontrol diri, belajar mengambil keputusan, rasa empati terhadap sesama, latihan berkomunikasi dengan orang lain, bekerja sama dengan orang lain, dan belajar menerima kekalahan.
Nah, saat ini ada Sekolah Bola Online BISKUAT ACADEMY 2022. Sekolah bola online ini sudah ada sejak tahun 2019, didukunh oleh Kemenpora dan Kemendikbud Ristek, setiap tahun jumlah pesertanya selalu bertambah (kini mencapai 50.000 peserta), pelatihnya berlisensi internasional no ecek-ecek pokoknya, hadiah utamanya yang bikin ngiler, yaitu tur ke stadion sepak bola di Eropa, dan khusus tahun ini ada pelatihan bagi guru olahraga tingkat SD dan SMP.
Sudah lihat video berikut?
Tidak tergiur untuk mendukung anak untuk mencintai sepak bola? Karena kalau melihat video tersebut bukankah ini peluang bagus? Hanya bermodalkan biskuit, anak-anak bisa mengikuti Sekolah Bola Online dari BISKUAT ACADEMY 2022.
Apalagi cara mendaftarnya juga mudah sekali, kita hanya membeli biskuit Biskuat bertanda khusus di warung terdekat, kemudian lihat deh kemasan di baliknya. Di sana ada kode promo yang bisa kita daftarkan lewat WA.
Anakku saja langsung gercep lho! Memang sehari-hari dia memang suka membeli biskuit andalan dari Mondelez Indonesia tersebut. Tak hanya anakku, aku pun suka rasa cokelatnya yang nggak enek di mulut.
Yuk, bermodal biskuit, kita dukung anak-anak untuk mengembangkan inner strenghtnya dalam bidang non akademik, khususnya sepak bola. Siapa tahu, pemain sepak bola handal dari Indonesia adalah lulusan dari BISKUAT ACADEMY 2022 nantinya. Aamiin.
"Artikel ini diikutsertakan pada lomba KEB X Biskuat Academy"
Sumber bacaan:
https://temposiana.com/inner-strength-anak-bantu-si-kecil-dapatkan-kesuksesan-di-masa-depan/
https://lifestyle.kompas.com/read/2021/09/28/105105220/pentingnya-inner-strength-untuk-dorong-potensi-anak
Giginya si kecil, gemes liat anak cowok jadi pengin punya satu, hehe. Dalam mendukung perkembangan anak memang orang tua berperan penting apalagi dengan biskuat yang jadi camilan favorit mereka. Terima kasih sharingnya!
BalasHapus